Selasa, 03 Juni 2014

Bu Tarigan Menggugat

Setahun lalu, saya mendapati Isminarti Tarigan, tengah meriung bersama koleganya di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Perempuan paruh baya berjilbab yang ramah ini, tengah menunggu kedatangan Akil Mukhtar dan delapan Hakim Konstitusi yang akan menyidangkan gugatan judicial review atas Undang Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang mereka ajukan. Saya cukup lama kenal Isminarti. Perempuan Jawa bermarga, eh, bersuamikan pria Batak itu, adalah aktivis Koperasi Wanita Jawa Timur yang tergabung dalam Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur. "Undang Undang ini bertentangan dengan prinsip dan jatidiri koperasi. Paling mendasar itu adalah kepentingan anggota, kumpulan orang-orang, dan bukan kumpulan modal," papar Isminarti menyoal salah satu "sesat" Undang Undang No 17 itu. Menggugat Undang-Undang memang bukan pekerjaan mudah. Pemerintah dan DPR-RI yang mneginisiasi UU itu turut pula sebagai "tergugat". Ibarat menggugat pemerintah dan parlemen sekaligus. Dan Rabu (28/6) lalu, saya membayangkan Isminarti Tarigan dan kawan-kawan tengah menengadahkan tangan sembari mengucap syukur, mungkin sujud syukur. Gugatan mereka dikabulkan hakim MK yang kali ini diketui Hamdan Zoelfa, pengganti Akil Muchtar yang tengah meringkuk di penjara akibat skandal suap pemilukada. Selamat, Bu Tarigan! Selamat untuk kawan-kawan aktifis koperasi bermartabat!

Kamis, 09 Mei 2013

Pinjami Aku Judul, Pak Sapardi..

Mei masih ranum dan hujan beringsut turun kuyup kata kata sampai begitu payah untuk dieja sementara teteduhan begitu sukar disua hingga sayap sayap burung yang melintas menawarkan jeda bagi pori pori buat bernafas (membaca "Hujan Bulan Juni", Sapardi Djoko Damono)

Senin, 11 Juni 2012

Mang Ikin dan Keteknya

Matahari yang menyundut ubun-ubun menjadikan kulit Mang Ikin kian legam. Wajah paruh baya bertubuh ceking itu tampan dengan kumis tipis melintang. Hanya sorot matanya saja yang terus muram di sepanjang siang, pekan ketiga awal Maret itu. “Dak pasti jumlah penumpang yang naik ketek sekarang. Kadang limo, kadang sepuluh,” ujar laki-laki asal Seberang Ulu, Palembang, sembari mengemudikan perahu ketek dengan kecepatan rendah menyusuri tepian Sungai Musi. Siang itu, akhir Maret, saya dipandu Bang Atok, seorang guru di sebuah SMA di Plaju menyusuri tepian Musi menuju Pulau Kemaro. Mang Ikin biasa mangkal di dermaga kecil persis di samping pasar 16 Ilir yang legendaris. Lusinan ketek ditambatkan di situ. Berbagi tempat dengan belasan warung apung yang menyajikan menu pindang patin. Ketek, perahu kecil berukuran lebar tak lebih satu setengah meter dan panjang lima meter, adalah moda angkutan sungai yang lazim melaju di permukaan sungai berair keruh itu. Ia tak ubahnya angkutan kota atau taksi yang meraja di jalur aspal. “Tiap hari habis empat liter solar, dak tentu jam kerjanyo,” imbuh Mang Ikin. Jemarinya yang mulai menua menghela setir ketek yang bentuknya persis kemudi kendaraan roda empat. Ada semacam meja kecil di bawah setir ketek tempat menaruh kopi dalam gelas plastik besar. Juga ada beberapa butir bawang merah. “Ada penumpang bawa bawang merah, saya minta beberapa untuk di bawa pulang,” sergah Mang Ikin merespon tatapan saya yang penasaran. Ia sedikit tersenyum mengikuti ombak sungai yang mengalun. Mang Ikin hanyalah satu dari ratusan penarik ketek yang pernah meraja di sepanjang sungai sepanjang 750 kilometer itu. Sungai terpanjang di Sumatera. Dilihat dari ketinggian udara, anak-anak sungainya menjalar kemana-mana. Seperti serabut akar tanaman tomat yang tercabut dari tanahnya. Hampar muka airnya coklat muda dan agak kotor dengan serpihan sampah di mana-mana. Sama coklatnya dengan lambung ketek Mang Ikin yang bilah-bilah kayunya mulai menua. Puluhan sopir ketek lainnya beroperasi di dipelataran Benteng Kuto Besak, (BKB). Seperti dituturkan Mang Ikin, pendapatan dari menarik ketek terus berkurang saban tahun. Terlebih menyusul kehadiran dua armada kapal yang lebih besar milik Pemerintah Kota Palembang. Kapal Putri Kembang Dadar dan Kapal Segentar Alam. Musi memang masih menjadi salah satu ikon parawisata di Kota Palembang. Kota dengan perkembangan infrastruktur yang lumayan pesat. Sayangnya, seperti tergambar pada Mang Ikin, perubahan pesat itu tidak berdampak signifikan bagi para penarik ketek. "Dak yakin ado perubahan lebih baik jiko dak diperhatikan pemerintah. Masyarakat lebih memilih kapal besar daripada ketek”, papar Ikin datar. Dengan membawa pulang uang hasil menarik ketek sebesar Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu perhari, ini jelas tak memadai untuk menjaga asap dapur tetap ngebul. Angka itu belum termasuk uang solar, sarapan dan makan siang yang angkanya bisa separuh dari pendapatan. Mang Ikin mengaku, lebih dari sepuluh tahun menarik ketek, ia tak bergabung dalam organisasi atau paguyuban apapun. Apalagi koperasi. “Semua jalan sendiri-sendiri,” ujar Mang Ikin lirih sembari bibirnya mengembuskan asap rokok. Asap pecah, menyatu dengan hawa terik dan lembab tepian Musi yang pilih menyimpan kisahnya sendiri.

Jumat, 29 Juli 2011

Happy English di Planet Satwa





Seruas jalan beraspal kasar dan berlubang di kawasan Gedong Panjang, Penjaringan, Jakarta Utara, itu tak henti mengepulkan debu. Sengat mentari begitu terik. Atap pos ronda, pagar, dan pohonan berpupur debu. Di satu sudut kolong jembatan yang pengap dan sumpek, kerumunan orang yang mayoritas anak-anak duduk lesehan. Lainnya berdiri berdesakan.

“Siapa yang mau pegang ulaaar..!,” Bintang Dwi Nugroho Respati separuh berteriak melalui corong megaphone di tangannya.
Sayaa..! Sayaa…!” Sejumlah bocah usia SD itu pun merangsek maju.

Teguh Prasetyo Budi yang siang itu memegang seekor Boiga dendrophilla sepanjang hampir dua meter, hanya senyum-senyum begitu jari-jari mungil para bocah mulai meraba tubuh ular berbisa menengah yang juga dikenal sebagai ular cincin emas itu. Wajah kanak-kanak yang riang.

Ya, Ahad (24/7) lalu menjadi hari yang cukup istimewa bagi tak kurang dua ratusan anak yang mayoritas tinggal di sekitar jalan tol Gedongpanjang, Penjaringan, Jakarta-Utara. Orang tua mereka berasal dari beragam latar belakang sosial ekonomi. Buruh serabutan, pedagang kecil, dan sebagainya.

Selain materi pengenalan satwa liar dari spesies mamalia yang disampaikan oleh Mbak Imenk dari Planet Satwa, rekan-rekan pecinta reptil depok yang tergabung dalam Deric Education, berperan besar dalam acara yang juga dihadiri host serial “Jejak Petualang” (TV 7), Herna Tyo. Tyo bahkan tak segan turun tangan membantu menyiapkan property dan alat peraga berupa aneka reptile dan satwa koleksi Deric Education maupun pribadi. Beruntung, acara hari itu juga kian ramai oleh dukungan sumbangan ratusan botol sirup dari kolega Happy English serta dari PT. Unilever berupa sampo, sabun, hingga deodoran. Tak ketinggalan majalah Flona dengan sumbangan berupa puluhan eksemplar majalah yang temanya relevan dengan materi edukasi hari itu.

Nah.., jadi kita tak perlu membunuhnya. Kita bisa menggunakan alat-alat sederhana seperti ini untuk mengusir ataupun mengendalikan ular yang masuk rumah,” terang Abas Nyak Agil Mamih sembari meraih sapu dan pengki. Dibantu Teguh Prasetyo Budi yang juga sesepuh Deric Education serta Roy, Averoes Oktaliza, Arby, Muhammad Nurwanta, dan pegiat Deric Education lainnya, bergantian materi penanganan ular dipaparkan di hadapan anak-anak yang sangat antusias itu. Empok-empok yang berdiri di belakang anak-anak tak kalah antusias. Sesekali mereka menutup mulut sembari mata mendelik melihat tangan seorang relawan Planet Satwa sengaja digigitkan pada seekor ular guna rekonstruksi penanganan gigitan ular. Aiiihhh..!

“Siapa yang mau digigiit..!,” seorang relawan berteriak. “Saiyyyyaaaaa….!,” beberapa anak maju ke depan dengan gagah berani. Giliran relawan Planet Satwa sejenak mati kutu. Hehe…dasar bocah.

“Mengenal dan mencintai satwa harus dimulai sejak dini. Ini yang ingin ditanamkan pada anak-anak Happy English, sebuah kelas bahasa inggris di kolong tol Penjaringan, Jakarta Utara, bersama dengan komunitas Planet Satwa,” papar relawan humas Happy English Nancy P. Martawardaja yang akrab dipanggil Ecy dalam rilisnya (26/7) terkait program edukasi bertajuk “Happy English Juga Sahabat Satwa".

Ecy mengimbuhkan, seringkali manusia tidak menyadari bahwa satwa berperan sebagai penyeimbang kehidupan. “Tidak ada suatu ciptaan apapun yang diciptakan oleh Tuhan tanpa maksud, oleh karena itu kami ingin anak-anak Happy English mencintai dan memperlakukan satwa dengan baik serta tidak melakukan penyiksaan”.

Anak - anak yang mengikuti program edukasi ini merupakan siswa Happy English yang biasa belajar di kolong tol Penjaringan. Anak - anak tersebut bukanlah anak anak jalanan, pengemis ataupun pengamen. Mereka bersekolah dan memiliki orang tua yang bekerja sebagai buruh ataupun pedagang kecil. Dalam keterbatasan fasilitas dan lokasi belajar, sedikitpun semangat mereka tak redup kala mengikuti kelas yang diadakan para relawan.

Kelas Happy English diadakan sebulan dua kali dengan tempat belajar berlantai semen beralaskan terpal. “Kami dari Happy English memiliki visi yang sama dengan Planet Satwa dalam memperlakukan satwa, kami ingin anak – anak mencintai dan menjadikan satwa sebagai sahabat mereka. Oleh karena itu, kami senang sekali bisa mendapat edukasi langsung dari teman – teman Planet Satwa, yang memiliki pengetahuan mumpuni tentang satwa “ terang Ecy.

Harapan Ecy dan kawan-kawan Happy English terkait tradisi memperlakuan satwa secara layak patut didukung. Pasalnya, untuk satwa liar, misalnya, tak sedikit dari anak-anak itu yang belum mengenalnya lebih dekat.

“Kamu pernah ketemu ular?,” tanya saya pada seorang peserta bernama Sadam (9). Bocah bertubuh gemuk itu hanya tersenyum sembari memainkan buku tulisnya. Tiba-tiba matanya berbinar. “Pernah!,” Sadam tersenyum.
“Ular apa?,” Saya menyelidik.
“Ular kobra!,” jawabnya mantap sembari menuding seekor ular kobra dalam boks kaca milik relawan Planet Satwa yang siang itu menjadi salah satu materi edukasi.
Oohoh, itu tho...

Menurut Abas Nyak Agil Mamih, inisiator Planet Satwa, selama ini pemahaman publik terkait satwa liar masih sangat kurang. Bahkan untuk hal-hal yang mendasar. “Dampak paling umum adalah munculnya persepsi keliru tentang satwa. Berikutnya, muncul tindakan atau perlakuan yang juga tidak tepat terhadap satwa liar yang masuk ke habitat manusia,” papar Agil dalam satu kesempatan. Karena itu edukasi dasar terkait satwa liar maupun domestik perlu diberikan sejak dini.

Agil, mantan pramugari maskapai penerbangan Garuda yang juga pengasuh satwa telantar, itu lantas mencontohkan tindakan kebanyakan orang saat mendapati ular masuk perkampungan. “Biasanya langsung dibunuh tanpa berpikir panjang kenapa sampai ular masuk rumah penduduk,” ujarnya prihatin. Biar begitu, Agil tak sepenuhnya menyalahkan tindakan warga mengingat tak semua orang paham dan mampu mengatasi ular atau satwa liar yang nylonong ke rumah penduduk.

Itu pula yang melatari Agil dan rekan-rekannya menggagas Planet Satwa, belum lama ini. Tercatat sejumlah kalangan pemerhati dan penyayang reptil, mamalia, unggas, dan banyak lagi, mendukung inisiasi Planet Satwa yang saat ini bermarkas di kediaman Agil di kawasan Rawajati Timur III/1, Jakarta. Planet Satwa mengakomodasi siapapun yang memiliki kepedulian terhadap satwa tanpa memandang latarbelakang organisasi setiap indvidu yang telibat. Serta bersama-sama mengedukasi dan memberikan advokasi publik terkait paradigma yang tidak tepat dalam penanganan satwa liar maupun domestik.

(credit photos : Happy English)

Senin, 25 Juli 2011

Mencari Judul ke Sawarna



Mas, judulnya apa yah, buat tulisan KJS ku?. Aku kasih judul ‘Kartini Jungle Survival 2010’ tapi kata Redpel (Redaktur Pelaksana,-pen.) ku kurang menarik..”

Selarik kalimat muncul di layar hape Saya, pagi pertengahan Juli lalu. Si pengirim pesan, Yulia Qim Deebraska, seorang sekretaris yang gemar blusak-blusuk hutan dan gunung untuk menyalurkan hobi sport luar ruangan. Qim merasa punya utang menulis kegiatan KJS yang diikutinya setahun silam.

Kartini hutan kali, yah? Heheh..
Kartini Tanpa Kebaya!
Bingung, ah!

Kebingungan “kreatif” Qim, juga saya alami. Bukan hanya sekali, mungkin ribuan kali. Menjadi lain ceritanya jika tengah mengikuti lomba mengarang, misalnya. Inspirasi judul tulisan gampang didapat dari sederet tema yang diajukan panitia lomba.

“Tema tulisan ditentukan sebelum mulai menulis, judul menyusul setelah tulisan selesai”… Pesan Yohannes Ratoem, guru mengarang saya di SMP dulu. Wejangan Pak Ratoem itu tampaknya masih saya praktekkan sekarang, biarpun tidak selalu.

“Kasih saja dulu judulnya, ntar ketemu idenya!,” sergah Tengku Taufiqulhadi, mantan Redaktur Internasional harian Media Indonesia, ketika mengajari saya menulis hasil reportase maupun features, sekian tahun silam. Lah? Judul ditulis duluan atau belakangan? Depan kena belakang kena. Dua-duanya bisa dilakukan sesuai pilihan. Semakin terbiasa orang menulis, soal judul bukan lagi perkara sulit…

Oke lah, Qim… Saya mau menulis perjalanan kecil ke Pantai Sawarna, Lebak, Banten. Mungkin kamu sudah pernah menghirup wangi anginnya. Lembut pasir kuning tembaga nya. Di salah satu ceruk pantai, sunyinya serasa menggetarkan.

Pagi 16 April itu, Tim Ogden dan Penny Davis sudah menunggu saya di depan bungalow Villa “QS”, masih di kawasan Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Ya, kami berniat trekking dari Pantai Pelabuhan Ratu ke Sawarna. Penny bekerja di Kedutaan Besar Australia. Tim, pacar Penny, datang langsung dari Australia atas ajakan Penny. Botol ketemu tutup, saya akan memandu mereka sehari penuh tepat ketika kantor tengah prei.

Keduanya ke Pelabuhan Ratu diantar Susilo, sopir Kedubes Australia. Laki-laki paruh baya asal Imogiri, Bantul, itu mengaku sudah belasan tahun nyopir di kedubes. “Anak saya kuliah, ya dari hasil nyopir ini, Mas..,” ujar Susilo sembari tersenyum. Kumisnya baplang, tapi wajahnya ramah cenderung kekanakan. Tipikal orang yang gampang akrab dengan siapa saja.

“Jadi, jam berapa kita akan mulai?,” ujar Penny mulai tak sabar sembari memilin rambut coklat muda sebahu yang dikucir ke belakang. Menyembul dari celah belakang topi kain warna khaki yang bertengger di kepalanya. Ia sudah siap dengan kemeja lengan panjang digulung sebatas siku, celana pendek warna hitam dan sepatu treknya. Cantik. “Jam 6.30 mulai jalan. Cuaca akan cerah cenderung panas. Habiskan dulu sarapanmu,” saya menukas. Di meja makan tak jauh dari resepsionis sarapan sudah siap. Sepiring nasi goreng, paha ayam dan telur mata sapi. “Delics, enyaak..,” Penny melirik saya sembari mesem.

“Hmm, kamu sudah pernah trekking sebelumnya?,” ujar saya kepada Tim. Mulutnya mengunyah irisan timun dan selada. “It’s my first!,” terang Tim nyengir. Oalaah, Mas

Kami menargetkan sampai Pantai Sawarna sebelum petang. Dari sana, mobil jemputan akan mengantar kembali ke Villa untuk menginap hingga keesokan hari sebelum kembali ke Jakarta. Trek yang akan dilalui kombinasi antara susur pantai dan menjelajah beberapa bukit kecil. Ada peta besar terpasang di dinding anyaman bambu, persis di samping meja resepsionis.

Sedikit molor dari rencana, kami baru start pukul 06.45. Diantar Susilo, kami harus bermobil sekira 15 menit dari penginapan. Targetnya salah satu pintu masuk perkebunan karet milik PT Perkebunan Nasional (PTPN) setempat.

Perjalanan singkat kami lalui menyusuri jalan setapak bertekstur kasar menyusuri kebun karet. Tak genap setengah jam ketika hampar laut kembali tampak, nun di bawah sono…
Tak sulit mencium bibir pantai terdekat yang berbatasan dengan hampar tanaman padi dan perkebunan kelapa milik warga. “Paddy field..! Paddy field..!,” setengah memekik Tim menunjuk hampar sawah yang tak begitu luas. Oho, rupanya baru pertama kali ia melihat dengan mata kepala sendiri rupa tanaman padi. Dasar ndeso!

Di bibir pantai dengan ceruk kecil menjorok ke laut, kami istirah sejenak. Saatnya ngopi kesiangan. Termos kecil berisi kopi dan teh panas sudah kami siapkan. Penny dan Tim minta teh, saya pilih ngopi.

Udara mulai panas menyengat. Tim dan Penny melepas sepatu. Angin laut serasa menampar pagi itu. Kepingan batu aneka warna di sekitar saya mengingatkan saya pada Pantai Kota Agung di Selatan Lampung. Saat Sekolah Dasar, di kala senggang saya dan teman-teman sesekali menyinggahi pantai landai itu. Naik truk dengan ongkos seratus rupiah seorang. Saat itu, rata-rata harga permen Rp 25 dapat lima butir.

Eii…! Ei..!…Noo..!,” pekikan Penny membuat saya terperanjat. Hah! Sejoli itu berlarian menjauh. Main kejar-kejaran di hampar pasir lembut berwarna kuning tembaga.

Ngopi, ngemil biskuit, mengunyah beberapa kerat buah pir dan apel. Perjalanan kami teruskan. O, ya, tak lupa saya pungut beberapa butir batu seukuran telur bebek. Warnanya menarik, merah saga dengan gurat biru setengah lingkaran. “Untuk apa batu itu, Prio?” Tanya Penny setengah menyelidik. “Oh, bebek saya belum bertelur. Menaruh ini di sarangnya mungkin akan memacunya untuk bertelur!,” jawab saya sekenanya. Penny berkacak pinggang mendekati saya. Matanya setengah mendelik, menampakkan mukanya yang kemerahan dengan totol-totol coklat hampir merata. Nyengir, saya menyingkir.

Hampir tengah hari. Lansekap mulai dominan oleh tebing-tebing tinggi dengan pepohonan mirip bonsai. Dilihat dari bentuk daun dan epidermis kulitnya sepertinya dari jenis Ficus benyamina. Gerumbul pandan laut tak lagi nampak.

Laut, debur ombak, pasir… Laut, debur ombak, pasir…begitu sampai kami mulai membuka bekal makan siang. Nasi, semur ayam, dan capcay goreng yang dikemas dalam boks plastik. Penny dan Tim tak mengeluh dengan menu itu.
Sahabat saya Krystyna Krassowska (KK) yang mengajari saya soal menu itu. Di tulisan berikutnya saya akan cerita soal londho edan yang satu ini.

“Ngapain kamu orang Indonesia menyajikan makanan orang asing untuk tamu-tamu kamu. Sajikan makanan khas kamu sendiri, doong! Mereka datang kan, mau belajar, mencoba sesuatu khas lokal” ujar KK suatu ketika. Saya manggut-manggut. “Tapi tanya dulu kalau mau pake sambel,” KK nyerocos lagi. Okay, mpok!

Mendekati pukul dua siang, kawasan Pantai Sawarna mulai nampak. Gulungan ombaknya besar, susul menyusul. Di kejauhan, beberapa surver mulai memainkan papan selancarnya.

Sejauh ini, kami sudah menempuh waktu tak kurang 7 jam. Dan memang tak terasa berlalu secepat itu. Kami putuskan untuk ke penginapan secepatnya, sore itu juga. Kami harus melewati perkempungan kecil sebelum sampai ke tempat Susilo menunggu dengan mobil jemputannya. Kampung bertabur home stay. Mirip pelosok gang sekitar Pantai Kuta dengan lalu-lalang turis asing yang menenteng papan selancar. Bedanya, di sini sesekali terdengar celetukan dalam bahasa sunda…

Kamis, 07 April 2011

Wawancara Mr. Mehta



Mr. Rajiv I.D. Mehta,
Development Director, ICA Asia Pacific

“Daya Cooperativisme Lebih Hebat dari Parpol!”


Menarik berdiskusi dengan Mr. Mehta. Sesekali, laki-laki dengan rambut ditumbuhi uban itu menepuk bahu lawan bicaranya manakala mencoba meyakinkan jawabannya. Hangat dan akrab. Tak ada jalur instant menuju ekonomi rakyat yang kuat dan berdaya manfaat. Kebijakan inkonsisten dari pemerintah disebutnya mengganjal penguatan ekonomi rakyat. “Kalau komunitas ekonomi rakyat, federasi koperasi, organisasi koperasi kuat dan solid, ini bisa lebih “menakutkan” sekaligus persuasi paling kongkret daripada partai politik terbesar sekalipun,” ujar
paruh baya yang yang berkantor di 9th Aradhana Enclave, RK Puram, New Delhi itu, dalam wawancara dengan Saya awal Juli setahun silam. Karena cukup menarik, fragmen wawancara ini saya “repost” di blog ini, ee.. siapa tahu ada gunanya. Monggo disimak.



Pemerintah Indonesia mengembangkan program kredit mikro dan kecil dengan lembaga perbankan nonkoperasi yang dikenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang debiturnya adalah kalangan usaha kecil dan koperasi. Pendapat Anda?


Saya kemukakan, strategi apapun yang tidak mencoba meletakkan diri pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tidak akan bertahan lama. Anda pasti tahu bahwa koperasi punya prinsip. Menolong diri sendiri, transparansi, kejujuran, keadilan, memiliki tanggung jawab yang sama untuk mensukseskan koperasi. Otoritas praktek pengelolaan dipegang oleh anggota. Itu tidak bisa disubtitusi oleh pihak lain, bahkan pemerintah.


Anda mau mengungkapkan bahwa program itu (KUR) tidak akan efektif?
Kita harus percaya, dan ini harus dipahami bersama, bahwa koperasi bisa pegang peranan sentral dalam perekonomian. Termasuk dalam mengatasi persoalan finansialnya melalui program-program yang lebih memungkinkan koperasi merepresentasikan kepentingan ekonomi anggotanya.


Di Indonesia ada Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk warga tak mampu. Dana diberikan langsung tanpa agunan dan tanpa cicilan. Tanggapan Anda?
Program pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat lokal yang paling miskin dan tidak beruntung sangat dibutuhkan. Tapi memang bentuknya berbeda, karena sebaiknya memang diikuti dengan pemberdayaan. Tidak diberikan dalam bentuk uang kemudian dibebaskan penggunaannya begitu saja. Kualitas pelayanan mitra kerja dan Otoritas Pengembangan Masyarakat Lokal, peningkatan bagi personel dalam hal kesehatan, pendidikan, pendapatan keluarga, serta keamanan pangan, merupakan bagian yang harus diintegrasikan. Dana sebanyak apapun tanpa pengorganisasian yang tepat akan sia-sia. Adanya penguatan kelompok swadaya masyarakat dan akses ke sumber-sumber pemberi pinjaman formal.


Apa salah satu indikator keberhasilan pemberdayaan untuk peningkatan taraf hidup?
Salah satunya adalah adanya penguatan kelompok swadaya masyarakat dan akses ke sumber-sumber pemberi pinjaman formal. Lainnya adalah terbinanya setidaknya 50 % Organisasi Berbasis Kemasyarakatan (Community Based Organizations) dan terselenggaranya kegiatan pengembangan melalui kerjasama dengan lembaga lokal di pedesaan. Itu semua tidak instant. Diawali dengan membantu dan memfasilitasi masyarakat dalam menerjemahkan rencana tindak lanjut masyarakat atau rencana-rencana pembangunan desa ke dalam rencana prioritas. Juga membantu masyarakat dalam penyusunan proposal proyek, mendapatkan persetujuan proyek dan dan. Proyek-proyek kecil berhasil terlaksana dengan dukungan yang baik.Serta tak bisa ditinggalkan adalah menyusun monitoring berbasiskan kemasyarakatan dan penjajakan implementasi proyek serta melembagakan kerangka pendokumentasian investasi proyek-proyek mikro. Meningkatnya pendapatan/ketersediaan pangan, kesehatan, gizi, tingkat pendidikan sebanyak 75% rumah tangga. Semua desa masing-masing memiliki paling sedikit satu organisasi kemasyarakatan. 80% basis komunitas melibatkan kaum perempuan sebagai peserta aktif dan memiliki peran penting dalam manajemen juga dalam kegiatan sehari-hari mereka. 80% LSM menunjukan kinerja dan pencapaian yang baik.


Kompleks sekali, Anda punya pengalaman pemberdayaan serupa program BLT?
Ya, pengalaman pemberdayaan warga paling miskin di Andhra Pradesh Utara, India, sering saya kemukakan dalam banyak forum. Tapi berbeda dengan kasus di Indonesia yang Anda kemukakan. Pemberdayaan itu tidak sederhana, bukan memberikan uang begitu saja. Program itu difokuskan untuk meningkatkan kesehatan, pendidikan, pendapatan keluarga dan terjaminnya ketersediaan pangan bagi 235 ribu rumah tangga di 4 distrik Andra Pradesh secara signifikan dan berkesinambungan melalui perkuatan organisasi berbasis yang memiliki kapasitas dalam hal perencanaan dan pengelolaan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Koperasi memiliki kapasitas untuk itu, terutama untuk sektor ekonomi dan pemberdayaan sumberdaya manusianya. Program peningkatan, pendidikan, dan peningkatan pendapatan keluarga tentu terlalu naïf jika hanya melalui pemberian bantuan dana begitu saja. Program itu sukses menyelenggarakan proyek-proyek mikro mengenai pendapatan, kesehatan, keamanan pangan, akses jalan, air dan sanitasi serta perlunya infrastruktur pendidikan bagi masyarakat setempat. Warga mendapatkan pelatihan dalam hal pendidikan, kesehatan, nutrisi , micro-finance dan ketersediaan mata pencaharian. Sedikitnya 1 proyek kecil dapat dituntaskan dengan berhasil di masing-masing kelompok masyarakat. Memberikan pelatihan bagi anggota kelompok swadaya dalam hal manajemen kelompok, manajemen kredit, layanan pengembangan usaha, dan aspek-aspek legal, dsb. Melaksanakan program untuk meningkatkan kepekaan bagi para bankir dan lembaga-lembaga pemberi dukungan dana. Menghubungkan kelompok-kelompok dengan lembaga-lembaga pemberi pinjaman yang ada.


Apa peran pemerintah terkait hal di atas?
Gerakan koperasi masih membutuhkan dukungan terkait kebijakan nasional yang konsisten dan terukur. Pemerintah lebih ke aspek regulator dan tidak terlibat terlalu jauh. Harus bebas dari pengaruh politik, dan koperasi harus mampu memperkuat kompetensi dan keuntungan komparatif.


Apa yang harus dilakukan, bahwa koperasi kompetitif dan memiliki keuntungan komparatif?
Banyak hal bisa dilakukan. Itu sudah bisa dilakukan di banyak negara. Koperasi harus secara agresif mampu memasarkan keuntungan atau kelebihan komparatif mereka yang berbeda dengan badan usaha lain. Krenanya, koperasi harus fokus pada peningkatan kapasitas anggota, manajemen, dan pengurusnya. Harus meningkatkan daya saing. Saya melihat criteria itu diadopsi oleh koperasi yang berhasil, tak itu di Swedia atau Vietnam.


Melihat trend ekonomi global, bagaimana peluangnya?
Harus diakui, perkembangan ekonomi saat ini semakin rumit. Dari teknologi, system berikut inovasinya. Permasalahan jadi lebih kompleks, termasuk ekses sosialnya. Tapi bisa anda simak, sebuah koperasi di Vietnam bahkan sanggup mendonasikan US$ 60 ribu per tahun untuk program-program sosial. Jumlah yang tak kecil untuk negara berkembang seperti Vietnam. Untuk membantu mengatasi kemiskinan, korban perang, bencana alam dan lain-lain. Kita bisa belajar dari situ, kompleksitas bisa memacu kita menjadi lebih kompetitif.


Masalahnya di Indonesia pemodal asing demikian menguasai sektor ini
Maka itu seperti saya katakana tadi, regulasi harus konsisten dan terukur. Pemerintah setidaknya bisa membaca trend global. Geraqkan koperasi harus bergerak untuk membangun argumen yang menguntungkan mereka.

Masalahnya, koperasi di Indonesia sangat lemah di sektor politis dibanding partai politik atau kelompok penekan dari pemodal besar?
Itu dia, tugas koperasi harus agresif mampu menawarkan kelebihan komparatifnya. Itu tak mudah. Sebab, koperasi harus bebas dari pengaruh politik sedangkan bisnis seringkali menjadi bagian integral, bahkan bisa mengarahkan. Melihat kondisi di Indonesia, yang masuk ke politik pasti akan berada dalam jaring laba-laba yang terkoneksi dengan pusaran politik praktis.
Kalau federasi koperasi, organisasi koperasi kuat dan solid, daya koperasi lebih hebat sekaligus persuasi paling kongkret daripada partai politik terbesar sekalipun, dalam mengambil keputusan publik.


Bisa mempengaruhi keputusan politik dong?
Jangan salah, petani-petani di Jepang memiliki basis representasi di partai LDP yang legendaris itu. Kebijakan PM yang tak sesuai bahkan bisa mereka gagalkan. Koperasinya tangguh, petaninya kuat, padahal sedikitpun mereka bukan (negara) agraris.


Lantas, apa faktor yang selama ini menjadi kendala dalam pengembangan koperasi di Indonesia menurut Anda?
Masalah sumberdaya manusia, permodalan, dan manajemen suplai, dan manajemen bisnis masih jadi kelemahan dominan. Ini bukan hanya problem Indonesia, kebanyakan negara-negara berkembang juga begitu.


Anda punya resep agar cooperatives movement di Indonesia memiliki posisi tawar kuat di ranah ekonomi dan politik?
Of course. Selalu mulai dari dalam. Perkuat internal koperasi dari level paling bawah (primary). Luruskan organisasi dan bisnisnya, dan jangan terjebak elitisme. Persoalan juga pada bagaimana koperasi mampu memainkan peran yang lebih besar dalam melawan kemiskinan dengan memimpin aksi nasional yang dapat diimplementasikan gerakan koperasi yang bermitra degan pemerintah dan kekuatan pembangun lain sebagai mitra. Ini juga terkait dengan program Millennium Development Goals (MDGs), sehingga diharapkan dapat mencapai kemajuan substantive untuk mengatasi problem kemiskinan, kelaparan, masalah penyakit, buta huruf, degradasi lingkungan dan perlawanan terhadap diskriminasi perempuan.


Secara internal cooperatives movement?
Memperkuat relasi dengan anggota itu sudah pasti. Membangun strategi konsolidasi bagi kelangsungan mekanisme intitusi koperasi untuk mencegah intervensi ekternal yang merugikan. Perlu juga mendokumentasikan praktek-praktek dan pengalaman yang baik untuk mempersiapkan road map bagi aksi yang akan datang dengan model pengalaman yang sukses di tiap negara.



Biodata
Mr. Rajiv I.D. Mehta
Bergabung sebagai direktur ICA Asia Pasifik sejak 2004, Mehta adalah jebolan pasca sarjana bidang biologi radiasi dan manajemen financial. Kariernya membentang 24 tahun di bidang pembangunan. Selama 21 tahun (1980-2001) ia kenyang berkecimpung di koperasi dan selama 3 tahun berikutnya (2002-2004) menjadi delegasi komisi Eropa di India bagi pengembangan koperasi dan NGO. Mehta mengkhususkan diri dalam program-program pelatihan pengembangan bisnis koperasi. Pernah juga berkiprah di ICA Asia Pasifik antara 1990 dana 2001.

"Betoorr.., Betoorr..,Tolong Bawa Saya.."



Tak butuh waktu lama untuk bersepakat harga dengan Usmandi Jambe. Laki-laki paruh baya berkulit legam yang tak henti mengembuskan asap rokok, itu akhirnya bersedia mengantar saya keliling pinggiran Kota Padang dengan ongkos Rp 20 ribu menggunakan betor. Betor, becak motor, bercat dominan hitam itu merupakan kombinasi antara sepeda motor, lazimnya produk Jepang, dengan body becak. Angkutan macam ini di beberapa daerah di Sumatera memang lazim. Kali ini saya mendapatinya di kawasan Simpang Siteba, Kota Padang.

Bicara nasib, Betor kreasi urang awak ini tak jauh beda dengan becak di pinggiran Kota besar pada umumnya, terpinggirkan. Pemerintah Kota Padang, yang harus diacungi jempol untuk perkara menata jalanan kota sehingga selalu tampak resik, itu melarang ‘betor” berkeliaran di dalam kota. Alhasil, saya harus puas keliling pinggiran kota mulai dari perempatan Siteba ke Gunung Sarik, kemudian melalui jalan tikus menyusuri Pantai Padang.

Becak motor van Padang ini memang maha perkasa, sanggup mengangkut 4-5 orang dewasa, belum termasuk si abang yang menyetir becak tentunya. Alhasil, hiruk pikuklah setiap betor penuh penumpang tengah melintas. Jika pun penumpangnya hanya seorang, muatannya dapat dipastikan bejibun. Seperti pada sebuah pagi, akhir Mei silam, terlihat seorang ibu menumpang betor yang sekaligus sebagai armada angkut belanjaan berupa 'segunung' daun singkong dalam buntelan kain.

“Sekarang Abang paling banyak bawa pulang Rp 25 ribu dari menarik betor, dulu bisa sampai Rp 75 ribu,” papar Usmandi. Bapak dua anak asli Siteba ini sudah lebih dari sepuluh tahun narik Betor. Untuk memenuhi kebutuhan harian, ekonomi keluarga Usmandi masih ditopang oleh istrinya yang memiliki kios buah di Pasar Siteba. Betor yang saya temui di pinggiran Kota Padang itu terlihat kaya dengan sentuhan modifikasi. Mulai dari sekedar hiasan tudung becak hingga stang motor yang diganti dengan setir mobil.

Betor, berikut rupa-rupa nasib penariknya, sebetulnya bukan monopoli Kota Padang. Di Aceh dan Sumatera Utara, becak motor juga memiliki tradisi panjang sebagai pelaku ekonomi rakyat yang seringkali terpinggirkan oleh arus modernisasi. Di kota-kota tersebut, becak motor memiliki ciri khas masing-masing. Di Pematang Siantar, misalnya, betor tampak unik dengan pemakaian motor besar tempo doeloe bermerek BSA (Birmingham Small Arms). Konon, betor di Siantar bahkan menjadi maskot.

Beda pula dengan becak motor di kota Padang Sidimpuan. DI sana vespa dimodifikasi sebagai betor. Potongan becaknya nyaris sama dengan betor di Siantar, hanya rodanya dibuat lebih kecil untuk mengimbangi ukuran roda vespa. Jadi, siapapun yang menumpang betor ini akan terlihat “ditelan” bodi becak. Di Tebing Tinggi, malah bikin heran, betapa tidak, motor-motor berharga belasan hingga puluhan juta rupiah berjenis sport pun disulap jadi betor. Sebutlah Honda Tiger, Suzuki Thunder, hingga Kawasaki Ninja. Eeng..ing..eeeng..