Minggu, 25 Oktober 2009

Antara Verry, “Sum” dan Mujinem


Sorot matanya nanar, rasa getun teramat sangat yang lama dipendam. ”…Terminal tiga itu…sarang perampok!” sembur perempuan bertubuh ramping itu dengan bibir agak bergetar. Tata cahaya di panggung minimalis itu meredup perlahan. Beberapa jenak, lantas, byarr! Lampu-lampu kembali berpendar terang. Tepuk tangan terdengar dari bangku penonton.

Malam, 12 Oktober itu, Bernadetta Verry Handayani tengah mementaskan teater dalam monolog “Sum ; Cerita dari Rantau”. “Sum” adalah oleh-oleh hasil riset Verry selama sepekan mengamati fragmen hidup sejumlah TKW di bandara, juga di kampungnya.
Banyak orang mahfum, biarpun dielu-elu sebagai ‘Pahlawan Devisa’, para TKW seringkali diperas setiba di negeri sendiri. Bandara Soekarno Hatta disebu-sebut sebagai salah satu ladang empuk praktik pemerasan para “pahlawan” itu. “Sarang Perampok!”

Dengan naskah ditulis oleh Andri Nur Latif, rekan Verry di Teater Garasi, “Sum” dipentaskan di halaman parkir kantor Komnas HAM sebagai bagian dari kampanye mendorong perlindungan perempuan pekerja migran alias TKW.

“Besok langsung ke Semarang, dipentaskan di sana,” papar Verry kepada saya, beberapa jenak saat mulai memerankan “Sum”. Menjelang pentas, ia tak henti menggerakkan tubuh. Meregangkan otot. Melompat-lompat.

Dibantu Bahrul Ulum, rekan Verry di Teater Garasi, sebuah microphone berukuran mini diselipkan di sisi kaus dekat leher.

Tak banyak properti di panggung 5m x 8 m beralas karpet merah itu. Seperangkat meja kursi kecil. Tape recorder, gentong keramik tanah liat, juga beberapa foto. Satu foto perempuan dipastikan dikenal hampir semua penonton di pentas itu. Marsinah.

Verry harus melupakan semuanya malam itu. Sebab ia akan menjelma “Sum”. Tak mudah.

Ayah Verry, Antonius Sukirno, terbaring lemah di kasur tuanya. Stroke menjadikan ritus geraknya teramat jarang keluar dari radius emperan rumah, kamar mandi, tempat tidur. “Maemnya masih bagus, masih bisa merepons omongan orang. Cuma, Bapak memang harus menenangkan hati, itu yang nggak mudah” ujar Ibunda Verry kepada Saya di rumahnya, sekitar dua pekan sebelum Verry mementaskan “Sum” di Jakarta.

Jika ada tugas ke Yogya, sesekali saya menyempatkan mampir ke rumah Verry. Menengok putri kecilnya, Lantannya Randya Gentari. Obrolan saya dengan Sukirno tak jauh dari perkara cuaca, atau Jogja pasca gempa. Kegiatan sehari-hari. Kadang politik.

Seingat saya, Sukirno simpati pada sebuah partai politik besar yang dikenal memiliki garis politik oposisi dengan pemerintah. Ia antusias ketika diajak bicara. Tak pernah mencoba berjarak. Saya lihat, ia biasa mengoleskan minyak angin atau balsem di sekitar leher dan hidungnya.

"Mbakyu mu memang begitu. Hobby. Mungkin hatinya di situ," Ujar Sukirno sembari membetulkan gagang kacamatanya. Entah, Sukirno menyesal atau mengerti pilihan putri keduanya itu untuk menggeluti teater. "Woo, ya. Mbakyumu sampai ke Jepang juga, kok. Mbuh, mau mentas di mana lagi nanti," imbuh Sukirno. Kulirik air mukanya ketika mengucapkan kata itu. Mata Sukirno agak melebar, ada binar samar di sana.

Kabar terakhir yang saya terima, Sukirno dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta.

Lantannya, biasa disapa Tanya. Saat ini belajar di sebuah sekolah alam di Yogya. “Lantanya itu kan nama bunga. Lantana, Lantana camara linnaeus” kata saya kepada Teguh Susilo Adjie. “Lah, Randya Gentari, kuwi artine ora nduwe gentar,” imbuh Adjie dengan mata separuh mendelik dan gigi menyeringai. Sepertinya ia memang tak gentar memberi puterinya nama itu.

Tanya atau Nyanya, tampaknya punya hasrat seni juga. Saya pernah melihatnya meliukkan tubuh mengikuti lantunan akapela dari mulut Bapaknya. Geraknya spontan, tapi tampak tidak ngawur. Persendian di lengan dan jarinya nampak lentur.

Ia juga gemar menggambar. Obyek rumah dengan kupu-kupu, burung, dan jemuran. Sesekali diimbuhi balloon, kotak dialog antar penghuni bidang gambar.

Menari, mungkin ini karena Adjie yang dulunya memang seniman tari. Saya pernah menyaksikan salah satu nomor tarinya di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta Timur. Saya tak ingat apa judul tariannya. Penata tarinya adalah Sutopo Tedjo Baskoro. Ia menari antara lain bersama Flory Fono.

Pernah juga menyaksikannya pentas di Taman Ismail Marzuki. Ia berduet dengan penari asal Jepang, Uki Naka, dalam satu nomor tari dengan koreografer Bagus Budi Indarto. Semua tari kontemporer.

Jika Nyanya terlihat luwes membawakan sebuah tarian, mungkin memang karena pengaruh Adjie. Tapi, saya tak mendapati gelagat apapun dari keluarga Adjie dalam hal tari. Dalam hal menggambar, lukis, mungkin ada. Kakek dan Ayahnya terampil dalam menggambar. Pamannya pelukis dan guru seni rupa.

Bisa jadi, Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo (PSBK) lah yang pertama kali membentuknya menjadi penari.

Saya duduk si tahun akhir sebuah SLTA di Prambanan, ketika Adjie minta agar saya mengambilkan formulir pendaftaran cantrik PSBK. Adjie tak berani pergi ke PSBK di Kasihan, Bantul, sendiri saja. Berikutnya, saya juga yang mengantarkannya untuk mendaftar sebagai cantrik, murid tari. Saat itu, empu tari Bagong Kussudiardjo (BK), masih hidup dan berkarya.

Tapi saya belum pernah menyaksikan Nyanya berakting, secara sadar atau dikondisikan.
Jauh sebelum melakonkan “Sum”, saya menyaksikan aksi teatrikal Verry pertama kali pada 1999. Di Gedung Taman Budaya Yogyakarta (sebelumnya Gedung Societet Militer). Pada awal Desember sepuluh tahun silam itu Ia memerankan tokoh Lucky dalam lakon “Sementara Menunggu Godot” (While Waiting for Godot). Aslinya Waiting for Godot, karya Samuel Beckett.

Disutradarai Retno Ratih Damayanti, semua karakter dimainkan aktor perempuan Teater Garasi. Verry jugalah yang menerjemahkan script karya besar Beckett itu dalam bahasa Indonesia. Saat itu saya masih kuliah semester akhir di sebuah PT di Yogya.
Saya tak pernah benar-benar paham lakon Godot. Tapi pernah membaca polemiknya di beberapa mimbar sastra dan “pasar wacana”, jauh sebelum saya menyaksikan pementasan Godot oleh Garasi.

Seorang rekan yang menyaksikan pementasan itu berpendapat, bahwa jalinan dialog antara Estragon (Gogo), Vladimir (Didi), Pozzo, Boy dan Lucky yang dibawakan aktor-aktor Garasi itu memikat. Lantas ia minta pendapat saya. “Absurd. Lebih dari itu saya kasihan pada Lucky, punggungnya pasti memar sebab membungkuk dari awal hingga akhir pementasan,” jawab saya. Selanjutnya, di sepanjang perjalanan menuju kost, teman saya itu tak bertanya lagi sepatah kata pun menyoal pertunjukan malam itu.
Lamat-lamat saja yang bisa ingat dari pementasa Godot oleh Garasi. Satu hal, saya juga seperti diajak menunggu tak tentu temu oleh biksu cilik Do Nyeom (Kim Tae Jin ?) dalam film Korea, "a Little Monk". Nyeom teramat sukar meraba deskripsi, seperti apa sebenarnya raut muka ibunya. Sedari kecil ia dititipkan di kuil yang dirimbuni pokok-pokok maple dan digurat selarik sungai berair bening itu. Mungkin Nyeom lebih beruntung, sebab ia masih bisa membayangkan rupa sang ibu lewat perempuan-perempuan yang pernah melintas di selasar kuil itu. Gogo, Didi, Pozzo? Mengandaikan eksistensi Godot di ceruk-ceruk kegalauan mereka sendiri.

“...Banyak hal yang kita tunggu tak akan pernah datang. Meski magnolia-magnolia mekar dan rontok, lagi dan lagi. Meski goresan di pohon maple makin tinggi dan tinggi..
“.. yang bukan milik kita tak akan pernah datang pada kita..
” “Do Nyeom, kau beruntung, mempunyai sesuatu yang kau cari..,” hibur Paman Penebang Kayu, sebelum Nyeom memutuskan minggat dari kuil. Menerabas kepekatan hujan salju. Mencari Godot nya sendiri.

Akting Verry bersama Garasi lainnya yang sempat saya simak adalah Repertoar Hujan (Rain Repertoire). Teater yang naskah dan penyutradaraannya dibesut Gunawan Maryanto itu saya saksikan di Gedung Bentara Budaya, di kawasan Palmerah Selatan, sekitar 2001.

Sependek yang saya ingat, Verry bermain, antara lain, dengan Jamaluddin Latif.
Minim dialog, kaya gerak. Di penggal adegan, saya dapati keduanya berduel menggunakan gerakan silat, kuda lumping, tari topeng, dan entah apa lagi. Mengingat kuda-kudanya, sepertinya formasi Bangau Putih. Atau malah ten kutzu dachi, juga hiba dachi, formasi yang pernah saya pelajari bersama Adjie saat kami masih di sekolah menengah.

Gunawan, dibandingkan Repertoar, saya lebih bisa menikmati puisi-puisinya. Juga sejumlah cerpennya. Terakhir, saya baca cerpennya di sebuah harian terbitan Jakarta berjudul “Mugiyono”.

Satu pementasan teater lagi saya lupa judulnya. Digelar di Pusat Kebudayaan Perancis, Yogyakarta.

“’Waktu Batu’, apik banget. Lah kamu, ora nonton,” ujar Verry suatu ketika. Kali ini dengan nada menyayangkan.

Mungkin sekitar dua malam “Waktu Batu” dipentaskan di gedung kesenian yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor saya di bilangan Cikini. Entah, berapa lusin lagi garapan awak Garasi yang absen saya tonton.

Tapi, dari yang sedikit itu, “Sum” adalah yang paling realis. Saya sempat ingin tanya, apakah lakon ini adalah pesanan sebuah institusi atau sebentuk partisipasi.
Ketika saya mulai duduk di kursi penonton menyaksikan Verry melakoni “Sum”, ingatan saya langsung melayang pada Mujinem.

Paruh baya, sulung dari tiga bersaudara kelahiran Dusun Adiluwih, Pringsewu, Lampung Selatan. Di kawasan eks transmigran asal Pulau Jawa itu, Mujinem tinggal bersama Ibunya, Suci dan kedua adik lelakinya, Mujiman dan Kukuh.

Perkenalan saya dengan Mujinem berlangsung sejak saya kanak-kanak. Gadis sederhana berparas manis, rutin membantu ibu di dapur dan warung kecilnya. Sesekali juga ke kebun. Tipikal gadis-gadis sebaya di kampung itu.

Sang adik, Mujiman, laki-laki tampan bertubuh tinggi, paling sering mengajak saya ke kebun yang cukup luas di belakang rumah. Rambutan, kelapa, pisang, dan vegetasi khas tegalan tumbuh rimbun di sana. Musim rambutan adalah saat paling dinanti, buahnya besar-besar dan nglotok.
Mujiman juga yang paling tahu melebihi siapapun bahwa saya menggemari kenthos. Itu istilah setempat untuk menamai bakal tunas yang menyembul di sisi dalam buah kelapa. Bentuknya membulat dengan warna putih kekuningan. Tekstur kenthos renyah dengan rasa legit yang khas. Berbutir-butir kelapa, umumnya berusia tua, telah dibelah oleh tangan kokoh Mujiman hanya untuk memenuhi hasrat saya mengudap kenthos.
Aksi Mujiman membelah kelapa tua untuk menemukan barang sebutir kenthos hanya bisa dihentikan oleh hardikan Suti, Bu Lik (tante) Mujiman. Hardikan itu melengking, yang anehnya selalu disertai telunjuk dan cemberut muka yang selalu mengarah kepada saya, putranya. Padahal saya hanya bertugas mengunyah kenthos, tak lebih.

Adapun Kukuh, laki-laki kekar tapi tak sejangkung Mujiman, lebih sering bermain dengan Teguh Susilo Adji, keponakannya yang relatif sebaya.
Di malam hari, Kukuh gemar mengeluarkan bunyi-bunyian aneh di samping dekat tempat tidur saya, itu jika saya menginap di rumahnya. Suara itu terdengar jelas, sebab dinding anyaman bambu (gedheg) selalu menyisakan banyak celah. Maka, suatu malam saya akan mendapati suara orong-orong, tokek, burung hantu, atau bahkan cekikik tawa kuntilanak.

Biarpun takut, saya tahu suara-suara itu keluar dari mulut Kukuh.

Kini, Mujiman terbilang sukses sebagai petani kakao. Pringsewu, dan sebagaian Lampung mengalami booming kakao lima tahun terakhir. “Kakao basah harganya Rp 14 ribu sekilo,” papar Mujiman ketika saya mengunjungi rumahnya dua tahun lalu. Sepekan dua kali Mujiman menghunus parang buat memotong buah berbentuk lonjong itu di kebun.
Sekali panen, Mujiman bisa menjemur setidaknya dua kuintal buah bahan baku utama industri coklat itu di emperan rumah. Mula-mula sepotong kayu dihantamkan pada permukaan buah kakao, dicongkel bijinya yang diselubungi lapisan lendir warna putih. Lantas dijemur. “Belum sampai kering saja sudah dibeli pemborong,” ujar Mujiman.
Kakao menjadikan mereka cukup makmur. Padahal, lebih dari dua dekade lalu, keluarga kecil Suci adalah konsumen oyek yang telaten. Oyek, penganan berbahan baku hasil parutan ubi kayu yang dikeringkan itu adalah makanan pokok pengganti beras di kawasan sulit air itu.

Suatu ketika, saya mendapati oyek yang ditanak layaknya beras itu disajikan bersama dadar telur bebek. Biarpun teramat lapar, jangan terlalu kenyang makan oyek. Buang air besar bakal menjadi ritus yang agak merepotkan. Sampai sepuluh tahun silam, jamban atau wc masih berupa kubangan kecil dengan air menggenang. WC cemplung istilah lainnya. Jaraknya dengan rumah tak selalu dalam hitungan langkah. Malahan bisa berada di tengah kebun, seratus atau duaratus meter dari pintu belakang rumah.

Berkat kakao, kini, di depan rumah Mujiman berdiri Warung sembako berukuran 5m x 7m. Setahun lalu, Mujiman bahkan bisa memberangkatkan Ibunya, Suci, ibadah haji di Mekkah.

Biarpun lebih makmur, saya tetap merasa ada yang hilang. Saya tak bisa lagi berharap biarpun hanya sebutir kenthos. Juga rambutan. Tanaman-tanaman yang selalu jadi motivasi utama saya mengunjungi tempat itu kini telah habis dibabat. Berganti dengan ratusan pokok kakao dengan tajuk merimbun. Mujinem, biarpun kini kampungnya lebih makmur berkat kakao, sepertinya belum berniat pulang. Sejak belasan tahun silam Mujinem telah menggantikan peran “Sum” dalam arti sesungguhnya. Jadi TKW di Arab Saudi.

Sepertinya Mujinem kerasan di Arab Saudi. Majikannya baik. “Ora tega ninggalke anakke majikanku suwe-suwe,” ujarnya ketika mampir ke tempat saya tinggal, di Depok, sekitar setahun lalu. Ia tak tega meninggalkan anak-anak majikannya terlalu lama.
Seperti dituturkan Mujinem, ibu-ibu warga Arab Saudi jarang sekali momong anak dengan ketelatenan khas umumnya emak-emak di negeri ini. Dari memandikan, mengganti popok, bikin susu, mengantar sekolah, hingga menidurkan, semua ditangani pembantu. Mujinem tak cerita, ke mana saja enyak-enyak Arab itu pergi begitu mereka tak di rumah.

Bisa jadi, saat di mana pembantu bisa lepas tangan adalah saat majikannya ‘membuat anak’ dan melahirkannya ke muka bumi.

Anak-anak Mujinem, saya mengenal puteranya, Sugeng Prantio. Lulusan Fakultas Kehutanan IPB. Anak yang cerdas dan mandiri. Hingga saat ini ia bekerja di sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam kampanye pemberdayaan masyarakat hutan lestari, The Forest Trust (TFT), di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Jika “Sum” digambarkan sebagai ‘mengenaskan’, saya tak melihat sedikit pun tergambar hal itu di kerut wajah Mujinem. Sayang, saat itu saya tak tanya, apakah ia juga pernah mengalami “perampokan” di terminal tiga, seperti yang pernah dialami “Sum” dan kawan-kawan.

Sekilas, di gurat wajah Mujinem yang mulai menua, memang bisa dilihat raut kepasrahan. Menjadikannya gampang rindu untuk kembali ke rumah majikan di Arab Saudi daripada pulang ke kampung sendiri.
Atau, gemerincing rial tetaplah daya tarik yang sukar ditampik. Tak mudah didapat jika hanya mengandalkan sepetak dua kebun kakao di kampung sulit air. Belasan tahun jelas bukan waktu sekejap. Di tengah humbalang kisah derita TKW yang lazim tersaji di koran-koran.

Berubah modus, perampok seringkali tetaplah perampok. Di terminal berapa saja. Dan Mujinem hanya lebih beruntung daripada “Sum”. Bernadetta Verry Handayani dan garasi kembali menegaskan itu lewat pementasannya. Malam lalu.

Senin, 12 Oktober 2009

Ganji Ayu di Matsuri, Apem Terbang di Yaqowiyyu




Ganji yang satu ini sungguh membuat saya kesengsem. Bukan cuma senyum lebar di gurat wajah manisnya yang memesona, tapi kombinasi gerak memukul taiko (gendang) kecil seukuran rebana yang berpadu rancak dengan gerak tubuh dan langkah kakinya juga enak disimak. Ia satu dari empatbelas ganji yang sore itu mendapat jatah membawakan tarian Okinawa Esia, salah satu acara “Jakarta- Japan Matsuri 2009(JJM 2009)” yang berakhir ahad, 11 Oktober lalu.
Di habitatnya, Kota Okinawa, Festival Eisa digelar untuk menandai datangnya musim panas. Festival digelar sejak awal Juni. Lazimnya, tarian dengan instrumen taiko berbagai ukuran itu dibawakan oleh 20-30 penari yang sekaligus berperan sebagai pemukul taiko alias Ganji.
Lah, ganji ayu yang saya lihat dalam formasi penari Okinawa Esia itu pentas di salah satu sisi Lapangan Monas saat Jakarta memasuki musim hujan. Jadi, kebalikan dengan musim pergelaran serupa di Perfektur Okinawa sono. Alhamdulillah, biarpun digelar saat awal musim penghujan, cuaca di Jakarta sepanjang sore itu ndilalah cerah belaka. Entah, berapa pawang hujan yang disiagakan agar “Saudara Tua” bisa maksimal mementaskan fragmen budaya dari negerinya. Sesore itu hidung saya tak menghirup bau kemenyan..


Sayang, pagelaran tari Okinawa Eisa hari itu berlangsung teramat singkat, tak sampai sepuluh menit. Panggung semi terbuka berukuran 12 x 6 meter itu juga terlampau sesak oleh ratusan penonton yang berjubel merubunginya. Saya jadi kesulitan mengambil sudut yang pas untuk memotret Ganji ayu dan kawan-kawannya saat beraksi membawakan tarian Eisa Okinawa. Untuk jarak sedekat itu, saya hanya membawa kamera dengan lensa 200 milimeter. Ditambah lagi, Melly San, istri saya, sudah melayangkan sikutan kecil ke arah rusuk. Pertanda saya harus menjauhi panggung untuk menuju stand-stand lain yang juga dijubeli pengunjung. Gagal sudah rencana saya menuntaskan gairah yang masih meluap untuk mengabadikan lebih banyak lagi aksi mBak ganji…dan kawan-kawan.
Di sudut berbeda, keringat Odajima San terus mengucur dari wajahnya yang bulat. Handukkecil warna hijau yang tersampir di lehernya yang kekar nyaris kuyup. Ia adalah satu dari lebih dari selusin calon pembawa arak-arakan mikoshi. “Ini salah satu bentuk persembahan kepada Tuhan,” papar Odajima San kepada saya melalui percakapan yang diterjemahkan Erizawati, rekan saya, atau tepatnya sohib Melly San. Erizawati dan Melly San satu angkatan saat kuliah pada jurusan Sastra Jepang di Universitas Bung Hatta, Padang, pertengahan 90an.
Sungguh beruntung hari itu kami mengajak serta Erizawati. Kemampuan berbahasa Jepangnya jempolan. Gadis minang bertubuh mungil ini punya sertifikat level 1 ( skala 1-4) atau level tertinggi dalam kemampuan berbahasa Jepang. Erizawati, Melly Chan dan juga beberapa rekannya memanggilnya Iwat, pernah beberapa tahun belajar di Jepang. Makanya Erizawati alias Iwat cukup cas-cis-cus bercakap maupun menulis dalam Hiragana dan Katagana. Pengalaman kerjanya sebagai penerjemah di beberapa perusahaan memungkinkannya bolak-balik ‘melancong’ ke Jepang. Setelah resign dari pekerjaan penerjemah pada sebuah perusahaan di Batam, kini ia bekerja di sebuah perusahaan lain di Cikarang, lagi-lagi sebagai penerjemah. Kata Melly San, gajinya lumayan gede. “Lebih lagi masih single, keponakannya saja dibelikan Mio,” ujar Melly San kepada saya suatu ketika. Hingga tulisan ini selesai diposting, Iwat tampaknya masih senang melajang. Kalau tak ada aral melintang, kami merencanakan untuk menulis (adaptasi) sebuah novel penulis Jepang. Iwat sempat semalam menginap di rumah saya di kawasan Cagaralam, Depok. Tampaknya ia kangen ngobrol dengan Melly San. Masih menurut Melly, Iwat cenderung pendiam jika tak menemukan orang atau topik percakapan yang menurutnya menarik. Tapi, seharian menginap di rumah, saya sesekali mengamati Iwat bercakap dengan Qen Ghifary Wisanggenie (4,5 tahun) putra saya. Padahal, diantara kakak dan para keponakan Qen dikenal suka usil dan biang ribut.
Beberapa jam sebelum kami berangkat menonton JJM 2009 di kawasan Monas, Erizawati masih sempat memberikan saya halaman prolog, serta dua bab dari terjemahan novel yang jadi proyek kami. “Berapa lama kamu menerjemahkan ini,” kata saya sembari membaca paragraf demi paragraf prolog dan dua bab yang terlihat mengalir dan wajar lazimnya bukan hasil terjemahan itu. “Beberapa jam saja, kulakukan sepulang kerja,” ujar Erizawati enteng. Sekilas bisa dilihat novel yang ditulis berdasar kisah nyata itu. Mungil. Kertas tipis halus warna kekuningan, mirip kertas yang dipakai Majalah TIME, dengan size tak lebih dari 15 x 25 sentimeter. Tebalnya kira-kira dua sentimeter dengan aksara Jepang di lembar-lembarnya.
“Ya, di Jepang Mikoshi biasa diadakan pada musim panas,” imbuh Mishima San, rekan Odajima. Mishima San juga tampak berkeringat, kacamata hitamnya kontras dengan warna kulit mukanya yang kuning cerah. Ketika Erizawati, Mishima San dan Odajima Shan bercakap, gesture tubuh mereka beberapa kali terlihat terbungkuk-bungkuk. Batin saya, kalau Erizawati menguasai bahasa etnik India, saat bercakap seperti hari itu, pasti kepalanya yang menggeleng-geleng seperti aktor-aktris Bollywood berdialog. Punggungnya nganggur.
Sekilas, bentuk Mikoshi menyerupai miniatur kuil yang diletakkan pada dua bilah kayu panjang yang berfungsi sebagai tandu. “Kuil” mini itu dominan dengan warna merah dan emas. Di Jepang, tak jarang Mikoshi dilapisi emas dan aneka asesoris. Orang Jepang percaya ada Dewa yang tinggal disitu. “Beratnya satu ton dan 250 kg,” ujar Mishima San sembari menunjuk dua mikoshi itu. Satu ton? Salah duga, saya kira cukup enteng. Ukurannya saja tak lebih tinggi dari 1,5 m dan lebar 1,5 m. Mikoshi satunya lagi malah berukuran hampir separuh dari yang pertama. Sore itu saya melihat keduanya terongok tak jauh dari panggung utama festival. Diberi tali tambang pembatas warna putih dan dijaga setengah lusin petugas keamanan berseragam biru. Banyak juga pengunjung yang menjadikannya latar belakang untuk berfoto. Saya juga memotretnya dari beberapa sudut. Iseng saya amati, rata-rata pengunjung yang berfoto dengan latar belakang mikoshi berpose dengan jari tangan membentuk huruf V, victory. Saya tak yakin, mereka barusan memenangi kuis atau lotre.
Di sisi depan mikoshi ada sebotol sake dan beberapa gelas plastik. “Apakah para pemanggul mikoshi dibiarkan teler dulu sebelum mulai mengaraknya,” Tanya saya iseng. “Ah, tidak, tidak! Mereka tidak boleh mabuk saat memikulnya,” sergah Mishima San. Ooo..

Melihat sebotol sake, bir khas jepang hasil fermentasi beras, membuat saya membayangkan lagak langkah Jacky Chan dalam film kungfu Drunken Master, yang tetap sakti biarpun dalam keadaan teler. Ternyata, mabuk bagi pemikul mikoshi haram hukumnya.
Saya melihat lusinan pemikul Mikoshi sedang bersiap. Macam-macam model pakaian mereka, agak susah mendeskripsikannya di sini. Mereka terdiri dari orang tua hingga anak-anak (umumnya sebagai pengiring). Laki-laki maupun perempuan. Hari itu, cukup mudah membedakan mereka yang “warga” Jepang asli maupun partisipan lokal yang “kejepang-jepangan”. Warna kulit mereka khas. Dan, terus terang ini yang membuat saya cukup bergairah menikmati Matsuri : gadis-gadis Jepang yang rata-rata cantik. Ketika saya mengungkapkan ini dihadapan Melly San dan Erizawati, spontan mereka menjawab bersamaan “Wuooo….”. Wisanggenie yang kecapekan dan saya gendong di punggung memilih diam saja. Dari pengalaman bergaul dengan Wisanggenie selama ini, nampaknya dia tahu maksud kata-kata saya barusan. Tapi, sepertinya hari itu Wisanggenie ada di pihak kaum laki-laki.
Sinar matahari sore itu boleh redup, tapi tidak demikian dengan semangat seorang laki-laki berkewarganegaraan Jepang bertubuh tegap itu. Ia tengah memandu latihan gerak langkah duapuluhan gadis cilik (5 – 12 tahunan) yang akan berperan sebagai pengiring arak-arakan mikoshi. “Satu..! dua..! tiga..! ampat..! Ulangi-ulangi..! Yak, mulai, satu..! dua..! tiga..!,” teriaknya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih. Dasar anak-anak, “Ee, tunggu! Tunggu! Kesini..! Saya kira kamu dibawa kucing garong!” ujarnya mengingatkan bocah-bocah yang memakai dandanan unik yang sering mencelat keluar dari barisan itu. Beberapa pengunjung tertawa melihat polah pemandu yang kocak plus tingkah bocah-bocah cilik dengan dandanan bak dewi-dewi khayangan dengan tongkatnya yang bergemerincing. Beberapa bocah berusia paling muda terlihat paling sering ngeloyor keluar barisan sebelum satu tahapan latihan usai. Mereka menuju emaknya masing-masing yang ikut menyaksikan latihan. Dewi-dewi khayangan mungil ber make up menor dengan bibir bergincu merah menyala itu rupanya kehausan, minta disuapi makanan kecil atau es buah. Maklum, bocah-bocah Indonesia asli, Pelatih San!

Yaaqowwiyuu…
Melihat arak-arakan Mikoshi hari itu mengingatkan saya dengan arak-arakan serupa, yang rutin digelar di salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Bedanya, yang diarak bukannya miniatur kuil layaknya Mikoshi, melainkan gunungan kue apem. Dan entah, berapa ratus kilogram beratnya. Ritual Yaqowwiyu namanya.
Digelar dikawasan Jatinom, sekitar 20 kilometer utara Klaten. Arak-arakan pemanggul gunungan apem, penganan tradisional berbahan tepung beras dan gula merah itu, digelar setiap Bulan Sapar dalam kalender Jawa. Setelah didoakan, tumpukan ribuan potong apem itu disebarkan ke ribuan pengunjung yang menyemut. Mereka percaya apem yang mereka peroleh akan membawa berkah.
Tradisi ini konon digelar menandai kepulangan Kyai Ageng Gribig, seorang ulama penyebar ajaran Islam asal Jatinom seusai berhaji di Mekah. Kabarnya, beliau menenteng oleh-oleh kue apem untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabatnya. Belum jelas benar, apakah apemnya made in Mekah atau racikan sang kyai sendiri. Yang jelas, sang kyai kekurangan stok apem akibat pincangnya supplay and demand. Alhasil, beliau memerintahkan pengikutnya untuk memproduksi lebih banyak apem untuk dibagikan pada hari Jum'at Pon.

Jangan samakan karakter warga Jepang yang biasa disiplin dan tertib dengan masyarakat Indonesia, terlebih di era Kyai Gribig sekian abad silam. Tumpukan kue apem berwarna coklat muda itu harus dibagikan dengan cara dilemparkan melalui panggung yang tinggi. Maklum, budaya antri belum ada.
Anehnya, biarpun sekarang budaya antri sudah mulai terlihat, setidaknya di depan teler bank, supermarket, atau di loket-loket bioskop Kota Klaten dan sekitarnya, panitia tradisi apeman tampaknya menolak keras mengubah metode pembagian apemnya. Tak ada ide, misalnya, pembagian apem melalui sistem kupon, paket pos, atau sekedar membuat barisan antrian. Alhasil, wuss…wuss…wuss.. Ribuan orang berebut kue berdiameter tak lebih dari sepuluh sentimeter berketebalan rata-rata dua sentimeter itu ke manapun ia dilemparkan. Apem terbang.

“Ketidakdisplinan” khas warga Indonesia ini anehnya tak pernah diprotes oleh siapapun. Termasuk Komnas Ham, Komnas Perempuan dan Anak, tak juga Kontras. Bayangkan, laki-perempuan, anak-anak hingga nenek-nenek berebut apem dengan gairah yang sama, tapi dengan tenaga dan daya tangkap apem yang berlainan. Tak terhitung kisah nenek-nenek atau mbakyu-mbakyu yang terinjak-injak hingga semaput, sementara hak-hak mereka sebagai warga negara (Jatinom) untuk mendapatkan barang sebiji apem malah luput. Belum lagi bocah-bocah cilik yang menangis hiteris terjepit massa, bahkan hilang sesaat sebab ditinggalkan orangtua mereka yang berjibaku berebut apem.

Seperti halnya Mikoshi, tradisi Yaqowwiyu alias apeman kental dengan nuansa religius. Seperti dikatakan Odajima San dan sohibnya, Mishima San di atas, Mikoshi adalah sebentuk bakti rakyat Jepang pada Tuhan mereka. Yaqowwiyu? Kalimat yang bermaknai Allah Yang Mahakuat, itu konon diucapkan Kyai Ageng Gribig pada saat membagi kue apem….

Jumat, 09 Oktober 2009

Tebing Siung#1


Ada deru di situ
Pada angin pada gelombang
Pasir dan kulit kerang
Dan ombak yang selalu patah sebelum sampai tepi kakimu
Begitu berulang tanpa enggan semusim pun
Dan ketika cakrawala redup
Sisa unggun api mencelup surai cemara
Geliat akar pandan dan remah cangkang serangga
Menjalankan sebuah lakon pada layar cadas purba
dan sampai unggun padam dan api memudar
Uap garam menggantung menyisakan tanya
Babad apakah yang tergelar semalam
(Siung, Dec 08)

Menari Angin

Mari menari seperti angin
Kembalikan kita kepada ingin
Tak sepoi tak letup
Kesiur benak kembali setangkup

Kaukah itu
Menyulur kepada reranting kering
Merayapi anak-anak daun tepian dinding
Tempat kita menuliskan
aksara seribu ingin
Dengan kapur barus yang kau tabur seperti pelukis gila
Menggurat sepasang wajah
Menari tanpa jeda
Entah apakah kita


gondangdia
11/02

Wisanggenie#3

Aku tahu kau menunggu
Biarpun jemariku lengang buatmu
Senja itu
Mainan atau gula-gula
Durian atau apa saja
Tapi aku tahu
Kau menunggu
Tidakkah itu lebih berharga dari apapun?
Selamat sore,
Anakku

(05-08)

Mudah Rindu

Aku lakilaki yang mudah rindu
Kepada hasrat tak tentutuju
(10/07/08)

Wisanggenie#2


(Ayaah..aku mandi bolaa..
Kata suara di seberang sana
pekik girang menghumbalang
dan entah kata apa lagi

tapi segera saja berkelebat warna warna pelangi
melintas ingatan
apakah aku pernah mengulumnya
seperti sekeping sugus
dari sang karib
yang entah kini di mana
biar
selarik warnalah aku
bagi pelangimu)
9/10

Kamis, 08 Oktober 2009

Ode Garba#1

: melly chan

gumpal awan itu akhirnya mengendap di perutmu
tumbuh bersama pusaran waktu
matamu masih juga nanar
seakan galau menantikannya berembus keluar
menjelma sepotong bulan
atau jatuh sebagai rintik hujan
yang akan membasuh wajahmu
atau hanya sebuah goncangan
selaksa lindu,
yang sowan di kampungmu

(gondangdia, 08/10)

Wisanggenie#1

sudah senja, nak
dan aku masih juga gugup
sebab langit tak memberiku warta
kepada siapa benak harus didedahkan
kepada gelap
atau menunggu yang berarti siksa

lihat, mentari lindap sudah
gelap datang
gulana terulang

nak, tuntun ayah pulang

Selasa, 06 Oktober 2009

Hujan senja itu tak memberiku pilihan
Tak menawari jawab dan hasrat
Sementara di tanah pijakan tak kutemu teteduhan
Kuputuskan menekuri alir kali yang melaju
dituntun waktu
seperti anjing setia kepada tuannya
di balik setumpuk batu di tepi pelimbahan itu alir kali bermuara
pecah jelma kepingan kaca
memantulkan raut wajahku
dan raut wajah seekor anjing
entah siapa tuannya

Depok, Nov 08

Ketika hujan Reda 3

Suatu ketika tuhan datang kepadaku dalam jelmaan hujan
yang tak kunjung reda
dari senja ke senja
tak memberi jeda bagiku dan matahari sekedar bertatap muka
tentu menggigil aku tak terkira
dan berharap dia berhenti sejenak saja
memberiku kesempatan untuk tak bersamanya
tapi dia ngeyel
menaburiku dengan rintik yang kian menderas
seperti serbuk gula di atas sekeping donat
taruhan : ketika hujan reda
aku pasti disantapnya

depok, 09

Ketika Hujan Reda 2

Sesenja itu hujan masih turun
Seperti tak sudi ditamui kemarau
Yang mengetuk pintu rumahnya dengan sopan santun
Pergi!
Hardiknya masih dengan petir berulangkali
Tapi kemarau tak hilang sabar
Menunggu dalam penantian hati teramat jembar
Menjadikan hujan kian gusar
Meludahkan halilintar
Aku jengah juga sebetulnya
Tapi tak bisa berbuat apa
Sebab sering sajakku hadir dengan awalan :
ketika hujan reda

(5-08)

Ketika Hujan Reda1

Ketika Hujan Reda1

Separuh bulan mengunjungimu di tengah malam
Menyelinap di sela jalinan ranting anggur yang kau pangkas dalam sepekan
Ada kabut menyelimuti tepinya
Pendarnya ragu
Seperti benakmu
Tak ada awan secabikan sebab hampar langitlah awan-awan itu
Yang sebentar lagi menjelma jawaban : mengapa bulan selalu sendirian

Depok, 0ct 09 (Yk, Nov 08)