Kamis, 23 Desember 2010

Sepotong Jumat di Cut Mutiah







Om..koran, Om..gopek..!”

Bocah laki-laki yang belum genap tujuh tahun itu menyodorkan lipatan koran bekas kepada saya. Bercelana hitam selutut dan kemeja batik warna biru pudar, copot satu kancingnya. Menampakkan bulatan pusarnya. Di tas sekolah bergambar Spiderman, masih menumpuk lipatan koran bekas yang dibanderol gopek (Rp 500,-) per “eksemplar”.

Fuad namanya. Mengaku berumah di Gang Ampiun, tak jauh dari Pasar Cikini, Jakarta Pusat. Saban jum’at, Fuad jalan kaki sekitar tiga kilometer dari rumahnya menuju Masjid Cut Mutiah. Keluar Gang Ampiun, Fuad menyusuri Jalan Cikini Raya, persis di depan Stasiun Cikini. Kaki kurusnya segera saja menapaki trotoar menuju kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM). Di emperan nan jembar depan TIM, kawan “seprofesi” Fuad telah menunggu. Tak genap limabelas menit jalan kaki, mereka sudah berhadapan dengan Masjid Cut Mutiah yang kuno dengan cat dominan putih.

Koran-koran bekas, tiap lipatan berisi rata-rata dua lembar (4 halaman koran) itu dipakai alas duduk orang-orang yang akan salat jum’at di beranda masjid yang dulunya bekas kantor Mister Pieter Adriaan Jacobus Moojen, nun lebih tigabelas dekade silam. Entah, sudah berapa penggal jumat saya habiskan di sini. Ini memang salah satu lokasi jumatan yang nyaman dan terdekat dengan kantor saya. Selain di masjid belakang Kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Biarpun sudah membawa sajadah dari kantor, saya terima juga tawaran Fuad. Selembar uang seribuan bertukar dengan koran bekas. “Makasih, Om!,” balas Fuad Datar. Perawakannya yang ceking lantas menghilang diantara kerumunan orang. “Koran, Om.. Cuma gopek..!”

Ada lusinan bocah sebaya Fuad di pelataran masjid itu. Selain koran bekas, sebagian menawarkan potongan kertas kecil bertulis angka-angka. Ini untuk pengunjung masjid yang enggan menanggung resiko pulang salat jumat dengan kaki cakar ayam. Sandal atau sepatu sama belaka ongkos titipnya, seribu perak. Rak-rak kecil tempat menyimpan sandal dan sepatu tersusun rapi di bawah tangga masjid.

Berapa kira-kira turn over jasa penitipan sandal dan sepatu itu? Jika limaratus pasang sandal dan sepatu saja yang diparkir di sana, ada perputaran uang setidaknya Rp 500 ribu setiap jumat. Ini belum termasuk lebih tigaratus sepeda motor yang ongkos penitipannya Rp 2.000. Saya belum tahu, bagaimana mereka membagi-bagi kue “bisnis”nya. Berapa persen pula yang masuk ke kas masjid.

Di masjid-masjid yang menggelar salat jumat lazimnya akan kembali sepi begitu ritual usai. Sebaliknya, keramaian masjid berarsitektur Art Noveau ini justru mencapai puncak setelah imam salat jumat menyudahi rakaat terakhirnya. Mugkin lebih limaratus orang menghambur keluar dari ketiga lantai yang bisa dipakai salat. Menuruni anak-anak tangga nan sempit. Angin semilir menampar wajah melalui jendela-jendelanya yang lapang.

Di beranda masjid, hampir tak ada sudut yang tersisa dari serbuan lapak-lapak kecil yang digelar seadanya. Di beranda depan, di sisi kiri dan kanan, hingga luber di sepanjang jalan Cut Mutiah. Persis di halaman depan masjid, tingkat okupasi pedagang tiban terhadap ruang publik itu hampir paripurna. Jika anda tengah melongkok pedagang pisau pemotong aneka sayuran jangan kaget jika saat bersamaan pantat anda bersinggungan dengan pantat pengunjung yang tengah menyimak promosi penjual minyak pelebat jenggot.

Di emperan depan yang sedikit lebih luas dari lapangan basket, saya mencatat ada lebih dari 30 pedagang tiban. Macam-macam barang dijajakan di sana. Mulai dari pakaian anak, VCD bajakan, es cendol, klep pengaman tabung gas, obat sakit gigi, minyak lintah, hingga tahu gejrot.

Dipilih ! Dipilih! Dipilih..!” teriakan itu bersahutan dari satu lapak ke lapak lainnya.

Siang yang pikuk. Biarpun tak beli apapun, saya suka saja salat jumat di pasar, eh, Masjid Cut Mutiah. Malahan lebih nyaman duduk beralas koran atau sajadah sembari menunggu dimulainya shalat jumat di emperan masjid yang bisa menampung seribuan jamaah itu. Juga karena beberapa pokok angsana dan palem botol yang tumbuh meraksasa menghadirkan hawa silir tak terkira. Tajuknya rimbun, puluhan burung senang nangkring di sana. Bersiul. Juga buang kotoran dan menimpa tubuh atau kepala orang-orang yang ada di bawahnya. Pluk!


Sepotong ingatan saya, inilah beberapa komoditas yg dijual di halaman masjid Cut Mutiah, saban jumat :

1. Kemeja casual dan batik ( Rp 30 ribu – Rp 75 ribu berbagai merk)
2. Jam tangan aneka merek (mulai Rp 25 ribu. Jam Casio G-Shock yang di dealer resmi paling murah di atas Rp 400 ribu, di sini cukup Rp 80 ribu! Jangan konfrontasi soal asli tidaknya sama Si Abang bakul jam)
3. CD/VCD/DVD bajakan (Rata-rata Rp 5 ribu sebiji. Ketika Film “Eat, Pray n Love” yang setting pengambilan gambarnya sebagian di Bali itu blom diputar di bioskop, saya mendapati DVD nya beredar di sini. Gambarnya lumayan. Tapi jangan ditiru, nonton DVD palsu! )
4. CD pria (Celana Dalem. Mulai Rp 18 ribu per pack isi 3 potong).
5. Majalah anak (Bobo lawas, Ipin dan Upin, buku mewarnai, Rp 5 ribu isi tiga buku)
6. Batre hape ( belum pernah tanya harganya)
7. Kartu perdana dari beberapa operator telpon (Mulai Rp 5 ribu. Penjual dengan armada bermobil di luar kompleks masjid pramuniaganya biasanya cantik-cantik)
8. Minyak urut plus jasa pijat (Mulai Rp 10 ribu. Plus pijat tambah ongkos semau si pemijat. Lihai si Abang Pijat ini, sambil jualan dan klaim aneka manfaat, jari jemarinya yang kekar sibuk mengurut bagian tubuh “pasien” pria yang telanjang dada. Anehnya, sering saya dapati dari jum’at ke jum’at “pasien” yang diurut sama belaka )
9. Minyak lintah (Diklaim manjur untuk rupa-rupa sakit kulit, Rp 20 ribu per botol)
10. Kacamata terapi (warna-warni dengan lubang garis horizontal mirip teralis jendela kaca nako, Rp 25 ribu sebiji)
11. Ayam-ayaman pegas (Rp 10 ribu seekor. Warna dominan kuning ayam dan coklat ayam. Dari pengalaman saya beli dua kali untuk anak saya, sistem mekanik pegasnya sangat tidak awet. Sepuluh kali putaran biasanya si ayam mogok jalan)
12. Pisau dapur ( Si Abang biasa demo ketajaman si pisau dengan memotong lembaran koran. Tak jelas apakah ini pisau dapur atau pisau kertas. Mulai Rp 5 ribu sebuah)
13. Tahu gejrot (Rp 5 ribu per porsi. Ini favorit saya. Pas legit kuahnya dengan aroma bawang dan tekstur cabai rawit yang kuat.)
14. En cincau ( Rp 3 ribu segelas)
15. Kue rangi (Rp 5 ribu sebungkus isi 8 potong)
16. Gemblong manis ( Beli berapa biji saja boleh, Rp 5 ribu sebungkus isi 8. Mutu ketannya kurang bagus, kemungkinan besar dicampur tapioka).
17. Juadah bakar (Rp 1.000,- sepotong. Enak dimakan agak sedikit gosong. Menyamarkan kurangnya porsi tepung ketan)
18. Air nira dalam tabung bambu (Rp 3 ribu segelas)
19. Obat-obatan pabrikan aneka merk (obat china juga jamu jawa. Belom Tanya harganya)
20. Celana jeans dan pantaloon (mulai Rp 65 ribu)
21. Sabuk kulit sintetis (mulai Rp 25 ribu termasuk ongkos menambah lubang sabuk . Salah satunya saya pakai hingga sekarang dan belum ada tanda kerusakan hingga tiga bulan terakhir)
22. Sandal karet dan plastik (mulai Rp 15 ribu sepasang)
23. Sepatu kulit (mulai Rp 45 ribu)
24. Sarung hape ( Rp 10 ribu)
25. Casing hape ( Tidak pernah tanya harga. Hape saya awet bertahun tak pernah ganti)
26. Kredit mobil Suzuki (DP Rp 20 juta saja, angsuran mulai Rp 2,5 juta/bln)
27. Kaus dewasa dan anak (mulai Rp 10 ribu)
28. Pompa angin manual (bola, sepeda, sepeda motor, mulai Rp 15 ribu)
29. Kacamata baca (mulai Rp 10 ribu)
30. Perlengkapan sulap (belum pernah tanya harga, tak pernah suka disulap)
Di luar halaman masjid
1. Sate padang ( Rp 8 ribu per porsi isi 8 tusuk. Kuahnya lumayan gurih tapi dan potongan daging satenya lumayan anyep)
2. Celana dalam GT Man ( mulai Rp 25 ribu per pack isi 3 biji. Saya heran kok tak ada GT Woman)
3. Hape murah ( mulai Rp 260 ribu, biasanya BB!)
4. Kredit sepeda motor (mulai Rp 460 ribu/bulan tergantung nominal DP)
5. Burung dan kelinci (harga mulai Rp 50 ribu/ekor, burung pentet. Kelinci lokal asal Bogor mulai Rp 25 ribu seekor. Pecinta burung jangan kesini karena akan dibuat sedih melihat kemasan pembungkus burung yang serupa kantung gorengan dengan sejumlah kecil lubang ventilasi)
6. Rujak potong dan buah iris (Rp 2 ribu sepotong buah, rujak iris Rp 7 ribu seporsi)
7. Bakso Malang (Rp 7 ribu semangkok)
8. Gudeg Jogja (tak pernah niat tanya harga, sebab selalu dibuatkan Emak jika kebetulan pulang kampung)
9. Laksa Bogor (Rp 6 ribu seporsi dengan tahu putih besar, serpihan oncom yang gurih plus harum daun kemangi. Salah satu favorit makan siang saya usai jumatan. Sayang, air untuk cuci mangkoknya kurang terjaga kebersihannya. Satu ember 10 liter dipakai mencuci lebih dari dua lusin mangkok).
10. Lapak –lapak lainnya niscaya luput dari pandangan mata saya..

Selasa, 12 Oktober 2010

“Cinta pada Gigitan Pertama…Aouuww..!”





“Uhh..! Aaww..!”
Aji Fajri meringis menahan ngilu ketika Aji Rachmat mengurut berulangkali telunjuk kirinya yang mulai membengkak. Sore itu, tak banyak darah yang bisa dikeluarkan. “Bengkaknya lokal saja, kok. Tak menjalar terlalu jauh. Biarkan sistem imun tubuh bekerja. Daya tahan tubuh kamu bagus! ,” ujar Aji sembari sesekali mencelupkan jari telunjuk Fajri dalam segelas air panas untuk menghindari darah membeku. "Aww..aww..!"

Ya, darah Fajri harus dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Biarpun hanya “keserempet” taring seekor Naja naja sputatrix kurang dari satu jam sebelumnya, tetap saja tak bisa disepelekan. Selain menimbulkan luka kecil tak jauh di ruas pertama jari telunjuk, dua benjolan nyaris sebesar kelereng tampak menyembul di ruas jari pertama dan kedua telunjuk kiri Fajri. “Kamu harus perbanyak makan makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup,” Aji menambahkan.

Fajri beruntung. Jika saja bisa kobra terinjeksi maksimal ke aliran darahnya maka ceritanya akan lain. Tanpa penanganan yang tepat, gigitan seekor kobra bisa membunuh manusia dewasa tak sampai hitungan jam. Racun bisa seekor kobra menyerang darah dan sistem syaraf korbannya dalam sekali gigit.

**

Cuaca kawasan Situgintung, Ciputat, tangerang, cerah ketika Basic Training Muscle (BTM) Sioux, kembali dihelat untuk yang kedua kalinya tahun ini. “Ini BTM yang ke empat sejak 2008,” ujar Timmi Fibrin mencoba memastikan.

Seperti halnya BTM yang pernah saya ikuti, sekitar enam bulan sebelumnya, materi training dasar tak banyak berubah. Sekitar 17 peserta baru plus belasan muscle yang berniat up grading kemampuan, mendapatkan materi biologi ular, identifikasi ular, teknik handling ular, dan penanganan gigitan ular.

Dibandingkan dengan BTM yang digelar Maret silam, grouping dan rotasi sesi pelatihan terbilang efektif membantu peserta menyerap semua materi pelatihan. Materi Biologi Ular disampaikan Winniarlita Owien dan Ichsya ul Ulum. Dilengkapi Mamih Agil dan Aji Rachmat.

Bang Nandee yang mengisi sesi identifikasi ular, datang dari Bekasi berdua dengan “istri kedua” nya, seekor Raja Kobra (Opphiphagus hannah) yang dibuntel kain sarung. Entah, apakah selama perjalanan menuju Situgintung Si Raja bersin-bersin. Saya dan Rera jadi ikan remora yang memunguti remah-remah pengetahuan yang disebar Nandee. Dosen Bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan di Jakarta Timur, ini terlihat fasih mengurai klasifikasi beberapa spesies ular berikut jenis dan nama latinnya.

Mengenal klasifikasi ular serta berlatih identifikasi, memang penting. Dimensi ekologis juga masuk di dalamnya. Mulai dari habitat hidup hingga tipe aktifitas. Makanan dan cara berburu mangsa. Identifikasi fisik meliputi bentuk bentuk dan warna kulit hingga bentuk kepala dan tipe gigi (menentukan tingkat bisa).

Konflik-konflik antara manusia dengan ular, selama ini lebih dikarenakan kurangnya pemahaman manusia pada dunia ular dan karakternya. Dengan pemahaman yang memadai, kerugian yang ditimbulkan baik oleh manusia maupun ular akibat 'miskomunikasi', bisa diminimalkan. Ketakutan-ketakutan psikologis dan efek biologis dapat segera ditangani dengan benar.

Sebenarnya, sesi klasifikasi dan identifikasi ular bisa dikemas lebih menarik lagi. Saya punya pengalaman kecil yang bagi saya cukup berkesan terkait hal ini. Bukan ular memang, tapi klasifikasi dan identifikasi tumbuhan (plantae), ketika belajar anatomi tumbuhan di laboratorium biologi semasa kuliah, nun hampir 15 tahun silam.

Kala itu, setiap kelompok mahasiswa bertugas mengklasifikasi dan mengidentifikasi berbagai macam tumbuhan. Mulai dari anatomi fisik, morfologi, hingga perkembangbiakannya. Masing-masing anggota kelompok memegang buku laporan plus alat tulis.

Suatu kesempatan misalnya, dilakukan klasifikasi dan bedah anatomi tanaman singkong (Mannihot uttillisima). Dihadirkan organ-organ tanaman singkong di meja kerja. Preparat segar istilahnya. Berikutnya, masing-masing anggota kelompok menggambar sedetail mungkin anatomi salah satu bagian tanaman singkong itu serta dan diberi nama latinnya, di buku laporan masing-masing. Pada daun misalnya. Digambar mulai dari daun (folium), kemudian anak daun (foliolum), pertulangan, tangkai daun, dan seterusnya. Menyusul kemudian dibahas habitat, tipe perkembangbiakan hingga penyebaran. Perkara apakah umbi singkong nantinya lebih bagus dibikin getuk atau peuyeum, tak ada urusan.

Gambar tak harus bagus, tapi setidaknya mengandung komponen-komponen pokok yang harus diketahui ketika seseorang ingin mengklasifikasi bagian organ tumbuhan. Pengamatan visual, meraba, dan kemudian menggambarnya, niscaya akan mengaktifkan sekaligus motorik halus dan kasar dalam memahami preparat dan merekamnya dalam ingatan. Hasilnya, dengan metode itu, hingga belasan tahun kemudian, saya masih ingat rupa-rupa tumbuhan berikut klasifikasi dan morfologinya.

Mungkin ini bisa dicobakan pada sesi identifikasi dan klasifikasi ular. Anggota kelompok bisa mengamati dan mengambar sendiri fisik ular. Bentuk tubuh, tipe kepala, tipe gigi (dipandu instruktur), tipe dan rumus sisik! Dan seterusnya. Tak soal jika diktat atau buku-buku sudah menyediakan ilustrasi serupa. Ini soal proses. Bicara kendala teknis dari metode ini, bisa jadi soal manajemen waktu. Mengingat proses menggambar jelas lebih memakan waktu dibandingkan presentasi lisan.
Identifikasi ular, sekali lagi, merupakan entry point fase-fase pengenalan ular selajutnya.

Ibarat menaksir calon laki atau bini, pengenalan harus memadai agar tak timbul penyesalan di kemudian hari. “Melihat beberapa karakter ular, carilah suami yang bertipe kobra,” ujar Bang Nandee yakin. Hmm..

Entahlah, ini serius atau seloroh belaka. Kobra memang berbisa tinggi. So, patukannya maut. Dia agresif siang dan malam hari, pantang mengkeret menghadapi musuh.

Ah, mungkin ini soal selera. Masih tetap masuk akal jika tak sedikit perempuan yang lebih memilih laki-laki tipe sapi. Biarpun manut tapi royal mengucurkan susu, eh duit. Atau tipe gajah. Biarpun tambun dan terkesan alon-alon waton mlaku, dan malah disebut-sebut takut tikus, tapi teduh dan ngemong. Tapi jangan minta saya cerita soal belalainya. Bang Nandee mungkin lebih afdhol untuk menjelaskannya…

Lebih dari semua itu, saran saya yang sejak terlahir sudah laki-laki, janganlah memilih laki-laki tipe kutu atau tengu. Selain penakut dan inferior, gunanya apa coba?

**

“…Hari ini aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku... Membahayakan orang lain... Maaf yah buat org2 yang kecewa...”

Pesan itu muncul dari wall facebook Yulia Qim Deebraska, pada malam hari jauh ketika acara BTM tuntas. Hari itu, Qim membantu Nurdin Jabrik yang dikenal sebagai handler andal, dan beberapa instruktur Sioux lainnya, mendapat jatah mengawal sesi handling ular. Ini sesi yang sangat menarik, sekaligus berisiko tinggi. Harus didampingi instruktur berpengalaman. Butuh nyali lebih untuk belajar di sesi ini. Tentu, perlu sadar resikonya.

Pada BTM Maret silam, juga di sesi handling ular, tercatat lebih dari tiga orang yang tergigit ular. Dua atau tiga peserta lagi sengaja minta digigitkan ular untuk keperluan sesi penanganan gigitan ular. Dan semuanya melibatkan ular tak berbisa.

BTM kali ini memang sempat diwarnai insiden yang bikin cemas. Ya, pesan Qim itu salah satu responsnya. Bisa jadi ini ekspresi merasa turut bertanggung jawab, pula niscaya tak satu pun instruktur Sioux yang melakukan hal itu karena sebuah kesengajaan. Ini bisa jadi pelajaran yang sangat berharga.

Salah satu yang tergigit adalah Fajri, seperti diceritakan di awal tulisan ini. Lainnya, sebut saja, Mas Kumis, yang digigit seekor Phyton reticullatus sepanjang 3 meter saat hendak handling. Syukurlah, baik Fajri maupun Mas Kumis dapat ditanangani secara cepat dan tepat. Sehingga tak sampai berakibat fatal. Bisa jadi, gigitan itu mungkin akan menambah cinta pada satwa melata nan ekskotik ini. Cinta pada gigitan pertama.

Ya ampun kak, bukan salah lo kak. Saya yg malah gk enak bgt udah ngerepotin. Makasih bgt ya k...tq buat anak2 sioux..hihi..,” demikian Fajri menanggapi Qim.

Hingga lebih dari tiga jam setelah insiden itu, diam-diam saya terus mengamati Fajri. Selain jari telunjuknya yang masih bengkak, tak ada yang berubah dari penampilan fisik Fajri. Beberapa kali ia memang muntah-muntah ketika, Sioux dan sebagian peserta BTM berkumpul di rumah Nurdin Jabrik untuk evaluasi.. “Masih mual perutnya, “ terang fajri. Dua kaleng susu bear brand volume kecil dia tenggak.

Menjelang pukul delapan malam ketika saya bersiap pamit pulang. Fajri malah terlihat asyik mengganyang tiga tusuk sate ayam.

Jadi? Madjoe teroes!

Selasa, 05 Oktober 2010

Dari Romulus Whitaker sampai Mbok Mintorogo (catatan atas ToT Sioux)


Ass. Pakabare, Mas? Depok udan gak..?
Selarik pesan pendek mampir ke telepon genggam saya, persis ketika hujan mulai menderas dan pekik guntur bersahutan.
“...Udan deress…gludug menggelegarr…,” balas saya.
Wakakakak…Bintaro juga sama, Mas! Klo begini terus sampe malam. Bisa2 br sampe gintung besok pagi..” balas Abdul Basith, arek Jombang yang sabtu dan ahad ( 2 – 3/10) lalu, sama-sama berniat menghadiri training of trainer (ToT) Sioux.

Lembaga Studi Ular ini memfasilitasi para relawan (muscle Sioux) yang berniat up grading kemampuan mereka dalam belajar menangani ular. Itu setelah sebelumnya mereka diikutkan dalam basic training muscle (BTM). Terakhir, saya ikut BTM sekitar enam bulan silam.

***

08.20 pagi (3/10), langit Situ Gintung bersaput mendung.
Sejumlah lelaki, anak-anak, dan perempuan dewasa berbalut sari tampak terpekik tertahan ketika laki-laki tua itu mulai memainkan tongkatnya. Bersama seorang asisten, laki-laki berambut tak bersisir berjanggut putih itu tengah berusaha menyergap seekor King Cobra (Ophiophagus hannah) yang merayap di tepian bukit curam yang dirimbuni pepohonan.

Kepala dan nyaris sepertiga bagian tubuh Si Raja Kobra mendongak tegang ketika Pak Tua mulai mendekat. “Sepertinya ini betina, panjangnya mungkin 15 kaki,” terangnya dengan seulas senyum tanpa menampakkan gentar sedikitpun. “Tongkat penjepit ini sepertinya tak efektif, ia masih bisa lolos. Kami tak ingin tergigit,” sambung Pak Tua sembari mesem.

Nun beberapa belas meter di atas jalan raya yang membelah bukit, perempuan-perempuan yang meyaksikan adegan itu terlihat mulai tegang. Sebagian menutup mulut atau menggigiti kuku jari. “Aiiih…”

Saya berandai, Pak Tua sejatinya punya pilihan cepat untuk meringkus Raja Kobra yang telah bikin panik orang lewat itu. Tapi Ia memilih cara yang lebih nyeni. Ular dengan bisa ekstra maut itu mula-mula digiring ke sudut-sudut sempit yang terhalang pepohonan. Sebuah pipa berdiameter 25 senti dan panjang sekitar 30 senti yang pangkalnya dikerudung kantung kain, disiapkan sang asisten.

Si Raja digiring mendekati lubang pipa. Gagal! Sosok gemulai itu dengan gesit menghindar ke celah pepohonan. Pak Tua tak menyerah. “Kita cegat dari sana! You siapkan pipanya..!,” Pak Tua mengingatkan asistennya. Dengan bantuan tongkat penjepit, Pak Tua mulai merangsek mendekati Si Raja. Butuh tiga hingga empat kali penyergapan yang menegangkan sebelum,…hups! Kepala Si Raja masuk ke liang pipa. Dengan sedikit dorongan tongkat, seluruh tubuh Si Kobra sukses diringkus tanpa terluka dan tak seorang pun yang tergigit.

Huraahh..!” Tepuk tangan terdengar dari atas sana. Pak Tua dan asistennya dengan tenang naik ke jalan raya dengan senyum kemenangan. Adegan itu disudahi dengan wajah-wajah semringah. Pak Tua dan asistennya beroleh aplaus panjang, jabatan tangan dan pelukan hangat. Adapun Si Raja, mungkin senewen sebab gagal lolos dari sergapan densus, eh Pak Tua..

Pagi itu, saya saksikan adegan di atas dari tayangan video yang direfleksikan melalui sebuah proyektor di ruangan wisma berukuran 3m X 7m di satu sudut Taman Wisata Situ Gintung, Tangerang. Bersama saya, hampir dua lusin orang duduk lesehan di atas karpet.

Pak Tua yang pemberani lagi nyentrik itu adalah Romulus Whitaker (67 tahun), herpetolog dan konservationis kehidupan alam liar. Tampang Romulus mengingatkan saya pada pelukis surealis kenamaan Salvador Dalli. Bedanya, Romulus “melukis” di alam liar dengan mendirikan Madras Snake Parks dan direktur The Andaman and Nicobar Environment Trust (ANET). Ia juga pendiri the Madras Crocodile Bank Trust. Semuanya di negeri Nehru.

Keahlian Romulus mengingatkan saya pada almarhum Steve Irwin yang beken dengan serial televisi The Crocodile Hunter (“Sang Pemburu Buaya”), sebuah dokumentasi mengenai hewan-hewan buas yang tak umum. Si bengal Irwin memiliki dan mengelola Australia Zoo di Beerwah, Queensland.

Pagi itu cuaca mendung ketika saya sampai di Situ Gintung, bersamaan dengan diputarnya video aksi Romulus menangkap dan meneliti karakter Raja Kobra. Itu adalah hari kedua acara training of trainer (ToT) yang diadakan Sioux. Saya memilih absen di hari pertama karena enggan mengambil resiko cuaca buruk msaat enuju lokasi. Lagipula saya masih sedikit flu.

**

Suara Aji Rachmat naik turun, beradu dengan alunan musik organ tunggal yang disewa sebuah paguyupan organisasi kedaerahan. Jarak antara wisma tempat ToT berlangsung dan aula tempat organ tunggal tak sampai 20 meter. Alhasil, suaranya benar-benar memekakkan kuping. Tahu audiens mulai terganggu, sesekali Aji mencoba rileks dengan menggoyang-goyangkan kepala di sela jeda presentasi.

Mungkin, satu dari tiga biduan berkostum seronok di aula tengah menembangkan “Kucing Garong” atau “Keong Racun”. Konsentrasi saya agak terpecah. “Sst, wah, stoking nya bolong-bolong,” Kresno dan Denny, peserta ToT, terkikik. Tak tahan untuk tak menggosipi biduan yang berjongkok seronok sembari menelepon. Millani Imenk, sesekali belagak goyang dengan mata setengah merem.

**

Hari itu materi pelatihan meliputi identifikasi ular, biologi ular, penanganan gigitan ular, hingga pengantar handling ular. Sebagian materi sudah saya dapat ketika BTM, Maret silam.

Saya sejenak terkesiap ketika proyektor slide menayangkan sebuah essei foto. Sebut saja kisah Mbok Mintorogo. Ini adalah mozaik kultur kompleks “industri” rumahan pengolahan ular, yang relatif jarang terekspose.

Mula-mula, tampak tangan keriput Mbok Mintorogo membuka ikatan sebuah karung berisi setidaknya belasan ekor kobra hidup. Dengan enteng, satu tangannya mencengkeram tubuh seekor kobra layaknya memegang anak kucing yang masih ingusan. Dalam hitungan detik, diguntingnya leher si kobra sampai putus. Dengan gerakan akrobatik, darah yang mengucur dari leher kobra dituang dalam gelas. Tangan Si Mbok yang satunya lagi menjungkirkan bagian ekor kobra ke atas. Posisi ini mencoba memanfaatkan gaya gravitasi untuk mempercepat keluarnya aliran darah.

Hmm, adegan ini sekilas mengingatkan saya pada aksi penjual legen (air sadapan pohon aren) pikulan, yang menuangkan tabung bambu berisi legen ke gelas pembeli.

“Dari informasi dan pengalaman yang ada, menelan empedu kobra adalah salah satu cara untuk meningkatkan stamina,” ujar Aji. Peserta ToT manggut-manggut. “Lah, emang komposisi empedu cobra apa, tho?, kok sampai bisa bikin “greng” stamina begitu? ” saya menukas. Pikiran saya sejenak mengawang pada efek ekstra ajaib ramuan yang diracik Dukun Panoramik dari Negeri Galia dalam Lakon Komik Asterix, besutan Uderzo dan Goschiny.

Hmm, sampai sekarang memang belum ada yang secara khusus meneliti kompisisi empedu cobra. Tapi pemanfaatannya memang sudah dipraktekkan dan diakui berbagai kalangan sejak lama,” jawab Aji.

Perkara ramuan, hingga saat ini, saya tak berhasrat untuk mengkonsumsi bagian tubuh manapun dari si kobra. Terlebih dikaitkan dengan upaya mendongkrak prana “greng” di tubuh saya. Saya tak malu memilih berpandangan konservatif dengan semboyan uzur yang saya comot dan plesetkan dari petuah Eropa beheula : "Di dalam tubuh dan jiwa yang sehat, terdapat “greng” yang dahsyat!". Eeng…iingg…eenggg…

“Lain lagi dengan darah kobra. Ini dipercaya untuk menghaluskan kulit,” imbuh Aji. Hmm… Saya melirik Dhyan Savitri, rekan peserta yang duduk persis di samping saya. Dhyan cuma mesem sembari menggeser posisi duduknya. Entah, merasa skeptis karena kulitnya merasa sudah mulus, atau malah diam-diam tergiur pingin mencicip darah cobra biar kulit jadi berpendar seperti kunang-kunang di hari gelap.

Saya gamang, apakah saya juga akan memberi tahu Melly Chan, istri saya, terkait khasiat darah kobra itu. Tapi, Melly yang lahir dan besar di Palembang punya versi sendiri. “Mau kulit halus? Makan duren!,” ujarnya singkat sambil ngeloyor ke dapur.

Saya cukup sering ke Palembang untuk berbagai keperluan. Jika diamati, rata-rata kulit gadis-gadisnya memang terang dan bersih.

Di beberapa kawasan penghasil durian di Thailand juga konon begitu. Gadis-gadis Chiangmay contohnya, terkenal berkulit halus dan menarik. Sayang, saya tak punya kenalan khusus awewe Chiangmay untuk sekadar konfirmasi.

“Bisa jadi, justru untuk meningkatkan stamina bukan empedunya, tapi daging kobranya,” sergah Mamih Agil, peserta ToT senior yang berlatar kedokteran Hewan. Mamih tak asal cuap. Yang saya tahu, daging kobra memang kaya protein, jadi relevan juga jika mengaitkannya dengan gizi tinggi.

Oho, kalo Mas Prio kepengin staminanya oke saat kerja keras atau masa pemulihan, asupan protein perlu didongkrak, yah!,” ujar dokter Boyke A. Nugraha dengan gayanya yang khas. Boyke, seksolog beken ini sempat saya temui seusai menjadi pembicara pada sebuah seminar, di Jakarta, Agustus Silam. Merujuk Boyke, Saya pikir Mamih masuk akal juga.

Pesan moralnya, tak perlu menjagal kobra untuk mendapatkan asupan protein ekstra.

**

Menjelang siang, acara yang cukup ditunggu akhirnya dimulai juga : praktek handling ular. Peserta dikenalkan pada teknik-teknik handling beragam jenis ular di alam terbuka. Beberapa ular koleksi Sioux dikeluarkan dari kandangnya. Mulai dari yang tak berbisa macam phyton, ular pelangi, ular tikus, hingga yang berbisa tinggi macam kobra dan king kobra.

Sayang, belum tuntas sesi handling dipraktekkan, kawasan Situgintung keburu dihumbalang angin rebut. Ranting-ranting dan dahan beberapa pohon berderak dan patah. Sejurus kemudian hujan lebat datang. Ular-ular kembali dikandangkan. Peserta dan panitia kembali memasuki wisma dengan hati separuh dongkol. Termasuk Anissa Sarah Ichachebong, yang siang itu baru bisa meraih buntut seekor kobra.

Menghemat waktu, acara disambung dengan simulasi identifikasi ular di hadapan audiens. Saya kebagian mengidentifikasi Phyton reticulatus. Bicara phyton, saya punya “ikatan emosional” dengan mahluk berkulit cantik ini. Cantik, motif “batik” natural nya tak ada yang menyamai. Dijamin tak ditemukan jika anda putar-putar sampai pusing di sentra batik Pasar Klewer, Solo. Ataupun jika anda ngotot memburunya sampai dehidrasi dan semaput di los pasar Beringharjo, Jogja.

Phyton sepanjang tiga meter pernah masuk rumah saya tanpa permisi, lebih dari lima tahun silam. Kepalanya nyungsep ke toilet. Berakhir dengan dijebolnya kloset untuk meringkus phyton yang belum diajari sopan santun itu. Phyton berkalung kloset. Cerita lengkapnya bisa disimak di blog ini juga (“Bermain Api Gosong, Bermain Ular…Sioux!”). Gratis.

Yang terbilang agak menyeramkan adalah tatkala menyimak sesi penanganan gigitan ular. “Jika bagian jempol anda yang tergigit ular berbisa tinggi, segera tekan bagian ini,” Aji mencontohkan. Abdul Basith dijadikan contoh Korban. "Segera balut lengan mulai dari pergelangan hingga mendekati bisep untuk menghidari bisa ular menjalar.,” imbuhnya. “Darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Aji lantas memberi ilustrasi bagaimana mengeluarkan darah itu dengan cara menusuk-nusuk bagian lengan dengan benda tajam, diikuti dengan gerakan mengurut lengan untuk mengeluarkan darah. “Keluarkan darah sebanyak mungkin. Dan untuk menghidanri darah menggumpal, bagian lengan bisa dihangatkan dengan air hangat”.

Saya agak sulit membayangkannya simulasi ini terjadi di kehidupan riil. Ini mengingatkan saya pada adegan John Rambo mengoperasi sendiri pinggangnya yang tertembus ranting pohon . Atau Robert de Niro yang mengoperasi pengeluaran peluru dari tubuhnya sendiri dalam “The Ronin”. Fiktif saja ngeri, apalagi nyata. "Racun" Hollywood saja ngeri, apalagi racun king kobra. Ampuuun…

“Rekan-rekan senior di Yogya yang pernah digigit King Cobra, setelahnya tak mau lagi mengalami untuk yang kedua kali”.

**

“Hebat, baru saja dapat materi pelatihan, langsung praktek,” ujar Ischya ul Ulum, Ketua Sioux sembari mengajak peserta bertepuk tangan. Saya masih ragu pada komentarnya, serius atau guyon. Tapi saya memilih ikut tepuk tangan.
“Insiden” itu terjadi pada sore menjelang acara resmi berakhir. Dimotori oleh Mamih Agil dan Winniarlita Irmawatie atau akrab disapa kak Owien, keduanya mengajak peserta ToT untuk keluar ruangan dan mendatangi aula tempat paguyuban warga Pati se Jabotabek yang tengah menghela goyang dombret. Respons yang gamang. Sejumlah penghuni ruangan memilih berdiam di tempat. Tapi saya dan beberapa rekan memutuskan ikut. Saya ingin melihat cara eksponen Sioux berinteraksi dengan obyek persuasi dan melihat langsung respons audiens. Insidental sekalipun.

“Bapak-bapak, Ibu, dan adik-adik, ada yang pernah menemukan ular?,” tanya Owien di atas panggung.
“Beloom!,” suara dari bibir mungil bocah-bocah di barisan terdepan menggema dominan. Beberapa peserta pelatihan ToT ikut maju, praktek presentasi identifikasi ular.

“Ini namanya ular Lanang Sapi,” terang Krisno sembari mengangkat seekor Elaphe radiata yang dominan dengan warna kuning muda pada bagian depan dan perut. Empat garis longitudinal warna hitam menghiasi depan tubuhnya. “Ini tak berbisa…” imbuh Krisno mencoba tersenyum.

Wah, ono ulo sing jenenge sapi, tho?,” suara berbisik saya tangkap dari mulut seorang bapak persis di samping kiri saya. Bapak ini gumun, ada ular yang namanya sapi. “Macan juga ada, Pak. Malah bandot(an)pula,” saya menyergah. Tentu dalam hati. Saya ingin memberi tahu dia bahwa ada ular bernama lokal bandotan macan.

Berturut kemudian Abdul Basith, Adjie, Bintang, dan Denny Rudini mengenalkan dagangan, eh, ular koleksi Sioux yang mereka bawa.

Sauasana sedikit mencekam ketika Yulia Qim Deebraska mulai mengeluarkan kantung berisi King Kobra. Sepertinya Qim berencana mempraktekkan “death kissing” dengan mencium kepala King Kobra, meskipun belakangan urung dilakukan. Ichsya mengawasi adegan itu dari jarak beberapa langkah sebelum akhirnya memutuskan menghandling Sang Raja dengan tangan kosong. Memasukkannya ke dalam kantung. Millani Imenk pilih asyik menjepretkan kamera.

Bergantian, Mamih Agil dan Owien bertutur tentang Sioux. Presentasi dadakan tak lebih dari limabelas menit itu diakhiri dengan semboyan maut Sioux, “waspadai, tapi jangan bunuh ular.!.” Tepuk tangan terdengar ketika personel Sioux meninggalkan panggung.

**

Di akhir acara, sejumlah peserta ToT mendapat sertifikat. Hati kecil ini agak gamang juga. Ibarat menerima raport yang tak semua mata pelajarannya dikuasai. “Ini sebagai stimulus agar kita mau terus belajar,” papar Idur Rahadian.

**

Acara ini memang masih menyisakan celah untuk bisa disebut komprehensif. Tak ada evaluasi kegiatan secara menyeluruh, tempat semua yang hadir bisa mengutarakan kesan dan pendapat. Kritik dan otokritik.

Benar saja, setiba di rumah, hingga menjelang tengah malam, beberapa diskusi “ekstraparlementer” bersliweran di kolom chatting facebook saya.

Salah satu topik diskusi adalah terkait pemberian sertifikat. “Bagusnya up grading dilakukan bertahap, diuji kemampuannya terus menerus dan tak langsung diberi sertifikat,” ujar seorang rekan yang namanya enggan dikutip di blog ini. “Materi training yang diberikan perlu ditetapkan kriteriumnya dan level penguasaannya, ini untuk membantu mengukur penguasaan materi tiap-tiap muscle peserta ToT ,” ujar seorang muscle lainnya. Benar juga, batin saya.

Hari itu saya memang tak sempat melakukan simulasi secara resiprokal dengan rekan peserta. Tentang bagaimana cara membuat balutan di area gigitan ular yang benar, simulasi pembedahan darurat jaringan tubuh dan mengurut keluar darah korban yang terkontaminasi bisa ular berbisa. Atau sekadar praktek mencuci luka gigitan ular tak berbisa dengan air bersih dan antiseptik.

Praktek-praktek kecil macam itu niscaya menghadirkan trial and error yang bakal mempengaruhi sikap mental peserta jika berhadapan dengan kasus empirik di lapangan. Saya sungguh merasa kosong.

**

Ya, sesi training hari kedua itu memang agak dominan dengan persuasi dan “monolog” Aji Rachmat. Biarpun dalam beberapa hal bobot materinya saya anggap memiliki kelebihan dibandingkan ketika saya mendapatkan materi yang identik pada BTM beberapa bulan silam. Beberapa informasi di luar materi training juga terbilang menarik.

**

Hmm, terus terang saya pribadi masih jauh dari memadai untuk jadi seorang trainer. Tapi saya mencoba berfikir positif dan tak lantas pongah. Bagaimanapun, kemampuan riil dan fakta pengalaman interaksi di lapangan (dengan ular dan habitatnya) lah yang kelak akan menabalkan kemampuan sejati masing-masing muscle Sioux.

Siapapun yang berniat dan berhasrat melakukan advokasi publik terkait penanganan ular, ketika menghadapi kasus di lapangan, pertama-tama pastilah tak dengan menyorongkan sertifikat sebagai trainer. Partisipasi aktif dan kemampuan riilnya dalam mengatasi persoalan terkait ular, jauh lebih substantif.

Pula, tak itu bandotan macan, kadut, maupun kobra dan teman-temannya, tak menggigit orang dengan pertimbangan kepemilikan sertifikat.

Saya salut dengan rekan-rekan Sioux yang sudah lama berkiprah tanpa pamrih. Mengadvokasi publik pada bahaya laten kesalahkaprahan sebagian besar masyarakat kita dalam menangani ular. Etos ini layak dipertahankan, sekaligus diingatkan jika mulai menyeleweng dari misi awalnya. Kultur egalitarian dan sikap terbuka layak terus ditumbuhkan. Ee, siapa tahu figur-figur sekaliber Romulus Whitaker bisa lahir dari kepompong Sioux.

Juga, sembari berharap untuk bisa berbuat agar sosok-sosok macam Mbok Mintorogo mendapatkan alternatif sumber ekonomi yang lebih manusiawi sekaligus “ularwi”.

Dengan segala keterbatasannya, komentar-komentar terkait ToT yang masuk dalam inbox facebook saya dari sebagian muscle Sioux, anggaplah sebagai sebuah kegairahan. Kecintaan. Betapa mereka sayang dan berhasrat merawat komunitas yang sudah susah payah didirikan bertahun lamanya. Cukup memiliki nama dan diakui perannya. Tak ada ular yang tak retak, eh tak menggigit. Ibarat empedu ular, kritik itu pahit, tapi (konon) bikin “greng”.

Waktu yang terbatas, cuaca tak bersahabat, serta mayoritas peserta dan panitia yang kelelahan sehabis bergiat hingga dini hari sehari sebelumnya, mungkin juga mempengaruhi konsistensi panitia dalam menggarap ToT yang baru dihela untuk pertama kali. Wajar jika terlihat kurang komprehensif. Saya masih lebih enak, sebab baru datang ke Situgintung di hari kedua dengan kondisi fisik yang lebih bugar. Bisa jadi saya sedang bersemangat. Maklum lah, saya ini ular baru, eh.. muscle baru...

Jumat, 24 September 2010

"Aku Rindu Ia Bersuara, Memanggilku..Ibu.."




Hawa kawasan Cagaralam, Depok, gerah siang itu.

Jemarinya yang kurus dan agak pucat cekatan memainkan joy stick. Matanya tak berkedip menatap monitor televisi, tak sampai dua meter di hadapannya. Brazil vs Inggris. Games sepakbola adalah salah satu favorit remaja tinggi kurus berambut jabrik itu, Eko Prasetyo. Aroma obat menguar tipis dari ruangan itu, dan semakin pekat begitu mendekati sebuah nebulizer, perangkat elektrik pengencer dahak. Di tempat itulah selama lebih dari tiga tahun Eko “bermarkas”. Melawan kebosanan dan rasa sakit yang masih mendera. Entah sampai kapan.

Selain poster pesepakbola Inggris Frank Lampard, foto bersama kedua adiknya, kliping koran yang dibingkai sederhana menghias dinding kamar seluas empatmeter persegi. Kliping sebuah koran lokal yang menceritakan kisahnya.

Senyumnya mengembang begitu saya kembali menyambangi rumahnya, pada sebuah siang beberapa hari menjelang puasa Ramadan. Rumah petak dengan ongkos sewa tigaratus ribu per bulan. Ayah Eko karyawan biasa pada sebuah perusahaan swasta. “Pakabar, Ko?,” saya menyodorkan tangan. Ia balas menjabat, mengangguk, tersenyum lepas. “Baik, Mas,” kali ini ibunya, Etty Herawaty, yang membalas.

Sejak jatuh dari kereta api, tiga tahun silam, Eko masih belum mampu berucap sepatah kata. Persis di tengah batang lehernya terpasang perangkat logam untuk mengamankan fungsi pernafasan. Makanan cair masuk melalui selang yang menelusup melalui lubang hidungnya. “Di sini dibikin sayatan lagi. Terus di sini. Nah, yang ini bekas sayatan pertama,” Etty menunjuk gurat-gurat bekas sayatan pisau bedah di leher Eko. Gurat kemerahan.

Melihat leher Eko yang koyak moyak begitu, sebagian tengkorak kepalanya yang pernah remuk, plus logam terpasang di lehernya, saya jadi teringat aktor Hollywood Arnold Schwarzenegger dalam lakon “Terminator”. Manusia robot. Bedanya, Eko manis dan selalu terlihat optimis. “Bagi saya, Eko itu mukzizat,” Etty, 39 tahun, berujar lirih. Matanya menerawang.

***

Senin pagi 06 Agustus 2007.
Aku tengah mempersiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran sekolah anak keduaku yang mulai memasuki SMP ketika berita mengejutkan itu tiba. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 36, senin pagi, sekitar pukul 08.00. Suara dari seberang HP berujar, bahwa saya harus tabah, sabar, tawakal, pasrah, dan segera ke RS Pasar Rebo, kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Segera. Eko Prasetyo (17 tahun), anakku sulungku mengalami kecelakaan, jatuh dari dalam gerbong dari KA di sepanjang rel Rawa Bambu, tak jauh dari Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Bagai disambar petir, sesak dadaku, telingaku terasa terbakar, panas sekali. Kakiku seperti tak bertulang, lemas sekali. Tapi aku harus segera melihat buah hatiku, yang keadaannya entah bagaimana aku tak tahu. Pikiranku campur aduk tak keruan. Di perjalanan pun aku mencoba untuk tenang, tapi kian tak bisa,…bahkan sempat tersirat di pikiranku bahwa aku sampai di rumah sakit hanya mendapati anakku telah menjadi mayat.

Akhirnya aku sampai juga di RS Pasar Rebo. Aku langsung mencari informasi dengan bertanya pada resepsionis, tapi Eko tak ada di situ. Katanya, tadi memang ada di situ tapi dipindahkan ke RS Harapan Bunda yang letaknya tak begitu jauh dari RS Pasar Rebo. Aku pun meluncur ke sana.

Dan apa yang terjadi di depan RS tersebut aku melihat dan mendapat sambutan dari para guru dan teman-teman anakku yang setia menemani. Mereka menghampiriku dengan menangis histeris memelukku seolah aku ibu mereka sendiri. Aku tak kuasa menahan semua itu. Segera aku menemui dan menghampiri anakku yang sedang sekarat. Dengan sekujur terbebat perban, darah berceceran ke mana-mana, dan tubuhnya terus mengejang menahan sakit. Hancur hatiku.
Ibu mana yang sanggup menyaksikan buah hatiunya seperti itu. Pupus sudah harapanku. Kematianlah yang ada di pikiranku saat itu. Siapkah aku ditinggal pergi buah hatiku, dengan cara seperti ini?

Aku, keluarga dan kerabatku berunding untuk mencapai kesepakatan dengan dokter. Sebab hari itu juga harus dan segera dioperasi. Anakku terluka parah “Kalau telat, anakmu takkan selamat,” suara itu seperti vonis malaikat pencabut nyawa. Hasil scanning menunjukkan bagian kepala anakku luka parah kalau tak bisa dikatakan remuk. Kehilangan banyak darah dan oksigen. Sebagian besar otaknya sudah tertutup darah beku. Kebingunga memuncak saat pihak rumah sakit memintai biaya Rp 36 juta untuk biaya operasi.

Keributan tak urung terjadi antara pihak RS Harapan Bunda dengan keluargaku. Emosi yang menggunung meledak dalam isak tangis. Sampai jam 3 sore, anakku masih dalam kondisi kritis. Musyawarah menguras pikiran, alot. Alasannya bermacam-macam, ICU penuh, peralatan kurang, juga karena anakku terluka parah. Hasilnya : anakku ditolak RS Harapan Bunda. Batinku, apakah ini semua karena kami bukan dari kalangan keluarga berpunya?

Waktu berlalu, anakku masih tergolek lemah antara hidup dan mati. Dua rumah sakit menolak tubuh tak berdaya anakku. Apa yang harus kami perbuat? Membiarkan anakku mati dengan cara seperti itu? Kami berbuat apa saja. Bapakku akhirnya menghubungi salah satu kerabatnya. Mobil ambulans akhirnya tiba, mengantarkan tubuh sekarat anakku dengan kepala remuk kehabisan darah (dari jam 08.00 sampai lepas maghrib!), menuju RSPAD Gatot Subroto. Sampai di UGD jarum jam menunjukkan pukul 19 WIB.

Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, anakku pun masuk ke ruang ICU. Eko mengalami luka parah di bagian kepala. Berdasarkan hasil diagnosis dokter ICU RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Eko didiagnosa menderita cedera kepala berat (CKB).

Ada optmisme yang membuncah ketika dokter dan perawat sejenak membesarkan hati kami. Namun, masalah administrasi seringkali seperti es, beku, sehingga pertengkaran kecil kembali terjadi antara aku dengan bagian loket. Konsultasi dengan dokter menghasilkan percakapan panjang. Dokter menyarankan agar anakku segera dioperasi, rembukan keluarga kembali digelar. Malam itu kulalui dengan hati dan pikiran kalut.

7/8/07. Pagi tiba.
Kuputuskan untuk menerima saran operasi, dengan salah satu risiko adalah sebagian tempurung kepala anakku harus diangkat. Lembar persetujuan untuk melakukan operasi terhadap anakku pun kutandatangani. Pagi sekitar pukul 09.30 aku pun mempersiapkan segalanya. Empat jam kemudian anakku mulai masuk ruang operasi. Kami sekeluarga menunggu dengan benak dan pikiran tak menentu. Sekitar pukul enam sore, anakku sudah kembali berada di ruang ICU.

Dua minggu kemudian, anakku mengalami pembengkakan di bagian dada sebelah kanan. Ada cairan yang masuk ke dalam tubuhnya, di mana cairan tak masuk ke lambung melainkan ke paru-paru. Efeknya, badannya membengkak seperti balon diisi air. Akhirnya di sisi pinggangnya dibuat lubang, mengalirlah cairan itu keluar dengan menebar bau tak sedap. Selama dua hari cairan itu masih keluar. Sekitar tiga minggu kemudian dipasanglah alat bantu pernafasan di leher bagian depan.

Sehari-hari, terlihat wajah anakku, yang pucat, diam. Di sisinya tegak tiang infus berikut botolnya. Alat monitor detak jantung, dan ventilator terpasang di tubuh anakku. Dokter mengatakan bahwa anakku belum sadar. Masih membutuhkan perawatan ekstra. Anakku dalam kondisi antara koma dan trauma panjang. Dokter memintaku agar sabar dan pasrah, ikhlas dan berserah diri kepada Sang Pencipta.

8/8/07 Entah aku tak begitu paham, peralatan apa saja yang terhubung pada tubuh anakku.
Obat-obatan yang harganya teramat mahal bagi kami, harus ditebus. Kami hanya ingin anak kami selamat. Berikutnya, rutinitas baru harus kujalani untuk memantau keadaan anakku. Mulai dari menebus obat, mengambil hasil tes darah, dan aneka pemeriksaan lainnya. Hari-hari seperti teramat panjang. Aku Cuma bisa berdoa, berdoa, dan berdoa demi kesembuhan anakku.

Allah SWT penuh kasih. Hadiah yang amat berarti bagiku saat itu, didatangkannya, tepat sebulan dari saat anakku mengalami kecelakaan. Pada 6 September 2007, anakku untuk pertamakalinya tersadar dari tidur panjang. Matanya terbuka, biarpun cuma sebelah, mulut bergerak-gerak seperti hendak mengabarkan ‘perjalanannya’ selama tidur panjang. Dokter mengajukan sejumlah pertanyaan sederhana pada anakku yang tergolek lunglai di dipan. Alhamdulillah, ia bisa meresponsnya. Sore harinya, anakku dipindahkan di ruang perawatan isolasi PU (Perawatan Umum) di lantai empat.

Belum selesai. Sejumlah perilaku yang mengkhawatirkanku muncul dari tabiat anakku yang mulai meronta-ronta biarpun tangan dan kakinya terikat. Aku kasihan…marah…juga sedih campur aduk. Selama satu bulan, dibantu perawat, aku dilatih merawat anakku. Ujian kesabaran bagiku belum berada di garis akhir.

Ramadhan pun tiba. Pada 5 Oktober 2007 anakku sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dari atas kursi roda anakku tampak kurus. Belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Untuk makan pun harus berupa cairan yang dialirkan melalui selang lewat hidung. Biarpun begitu kesehatannya berangsur membaik. Belum, belum selesai. Agenda operasi kembali dijadwalkan pada 9 Januari 2008 berupa operasi vistel. Ternyata, pada hari itu vistelnya tertutup sempurna dengan sendirinya. Merayakan Idul Fitri, lazimnya hari kemenangan itu adalah saat yang membahagiakan. Tapi, justru kesedihanlah yang kurasakan. Betapa tidak, melihat putraku terbaring lemah, tak mampu berjalan, makan dan minum pun masih menggunakan selang di hidung (sonde). Kursi roda lah yang menjadi pengganti kakinya selama enam bulan. Setiap pagi dan sore, kupapah anakku untuk belajar berjalan. Syukurlah, usaha itu membuahkan hasil, biarpun masih sempoyongan, perlahan tapi pasti anakku mulai bisa tegak di atas kakinya sendiri.

Akhirnya, pada 29 Februari operasi jadi dilaksanakan pada pukul 08.00 dan berakhir sekitar pukul 11.00. Seusai operasi dokter THT mengungkapkan padaku bahwa anakku harus kembali dioperasi pada 31 Maret. Sayang, rencana operasi gagal. Pada akhir April, rencana penutupan saluran pernafasan buatan pun gagal karena adanya infeksi dari virus Hepatitis C. Duh, dari man asalnya semua itu. Belum selesai satu persoalan muncul lagi persoalan baru. Setelah itu serangkaian operasi kembali dijalani anakku.

Menurut dokter, anakku harus menjalani pengobatan hepatitis. Terapi melalui suntikan selama satu tahun, dengan biaya sekali suntik setiap minggu Rp 3 juta. Dari mana saya harus memenuhi biaya itu? Rumah kontrakkan yang ditempati sejak lebih dari sepuluh tahun lalu itu pun hanya Rp 300 ribu per bulan? Akhirnya, terapi herbal yang lebih murah kujalani.

Operasi demi operasi harus segera dijalani anakku untuk kepulihannya, dan sayangnya, hingga saat ini belum berhasil memunculkan suaranya. Bahasa tarzan seringkali harus kami gunakan. Juga bahasa tulisan. Sungguh, aku rindu mendengar suaranya ia memanggilku ibu…

Yang membuatku berbesar hati adalah, dalam kondisinya yang tak seperti dulu, anakku beriskukuh untuk tetap bersekolah. Biarpun harus mengulang setingkat lebih rendah dari rekan-rekan seangkatannya dulu. Aku melihat ada semangat dalam binar mata anakku untuk menatap masa depannya. Senyumnya memang cerah seperti tak pernah terjadi apa-apa. Biarpun hingga kini aku belum juga punya jawaban, bagaimana harus menyekolahkan dua anakku lainnya, yang mulai masuk sekolah menengah dan akan memasuki TK.

Entah, mana yang harus kudahulukan, sementara suamiku, yang begitu sabar, adalah karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Anakku masih harus menjalani operasi lagi, agar ia bisa berkomunikasi dengan guru-guru, rekan dan saudaranya tak lagi dengan bahasa isyarat. ..

***

(Di atas penggalan cerita Etty kepada saya, lebih dari setahun lalu. Kini, kondisi Eko sepertinya terus membaik. Ia seperti tak pernah kehilangan optimisme. Dengan leher dililit scarf, ia berani bepergian sendirian. Naik angkot. Juga kereta api! Termasuk ketika melamar pekerjaan. Saya tak tahu bagaimana caranya ia lolos jika suatu ketika harus menjalani tes wawancara. Pita suaranya belum berfungsi normal. Karena itu, lewat tulisan ini saya mencoba menemani Eko bersuara…

Rabu, 28 Juli 2010

Bocah Laki-laki yang Jatuh Cinta pada Pohon


sebatang pohon curhat padaku siang itu. ia bilang baru didatangi bocah laki-laki yang mengaku cinta kepadanya. bocah itu mendekat, meraba gurat epidermis wajahnya, lalu ia tersenyum-senyum (rindu yang dikulum)

apa yang bocah itu mau?, kataku
kambium di pusat tubuhku!
kenapa begitu?
ia berkata dari sanalah dirinya bermula, ia ingin pulang ke kambiumku

dan malamku tiba tapi segera saja berlalu tanpa kejatuhan sebutir mimpi
dan pada sebuah fajar aku terbangun, terkesiap
mendapati bocah laki-laki itu terbaring
di sisiku
tersenyum senyum (rindu yang dikulum)

Minggu, 18 Juli 2010

Waspada! Koempeni dan Kenpeitai Moentjoel Lagi !




“Minggir!..Minggir..! Awas, haik! Bagerooo..!,”

Kenpeitai bermata sipit dengan samurai tersampir di pinggang itu mengibaskan tangan. Menyuruh seorang ibu muda yang menggandeng putri kecilnya itu menepi. Saat menghardik itu loh! Mimiknya serius meyakinkan, mulutnya dimonyong-monyongkan. Seragam hijau lumut bertabur pangkat kemiliteran kekaisaran Jepang di pundak dan dada, kian membuatnya berwibawa. Sesekali Sang Kenpei menaikturunkan kacamata bulatnya. Mendelik-delik ke arah si bocah. Eeh, alih-alih takut, si ibu dan putrinya malah senang dan cekikian. Lah, kok!

****

Woah! Pipiku tau ditampar kempei ping pindo! Pluok!..pluok! Loro tenan! Kempei kui kejam, galak’e ngepol!” (“Wah, pipiku pernah ditampar kenpeitai dua kali. Plok! Plok! Sakit banget. Kenpei itu kejam, galak banget!”) ujar Mbah Darmo (80an), menceritakan pengalamannya ditampar kenpei, lebih dari enampuluh tahun silam. Mbah Darmo yang saya temui di Yogyakarta, awal Juni, adalah satu dari sekian ribu mantan pekerja paksa di masa pendudukan Jepang (romusha). Di luar performa fisik dan pendengaran yang kian menurun, ingatan Mbah Darmo relatif tajam. Suatu ketika misalnya, Mbah Darmo bersama ratusan pemuda lainnya dari kawasan Prambanan, digiring ke lapangan terbuka di kawasan Maguwoharjo. “Nyang Meguwo, awakku kon ngatoske dalan pesawat Jepang. Bayarane beras sak pincukan. Kabeh korengen!,” (Di Maguwo, Saya disuruh mengeraskan landasan pesawat tentara Jepang. Bayarannya beras sepincuk. Semua romusha korengan!) papar Mbah Darmo dengan tatapan menerawang.

Kini, lapangan udara Maguwoharjo yang penggarapannya di masa Dai Nippon berkuasa melibatkan ribuan romusha, itu telah menjadi Bandara Internasional Adi Sutjipto. “Kancaku tau dibaret nganggo bayonet wetenge!,”(temanku pernah digores perutnya menggunakan bayonet) imbuh Mbah Darmo, yang juga adalah paman ayah saya.

***

Untunglah, Kenpei galak yang berlagak di Senayan dan seputaran Jakarta sejak 16 – 18 Juli lalu itu ternyata gadungan alias imitasi. Bilah samurai, pistol jenis Vickers, juga senapan semi otomatis di punggungnya, adalah tiruan belaka. Pula, mana ada kenpei Jepang menyandang nama Sutjipto. “Ya, saya ikut meramaikan saja, Mas!,” terang Kenpei Tjipto mengaku. Ketika saya cegat di “pasar klitikan”, sepanjang balkon kawasan kolam renang Gelora Bung Karno yang hari itu berubah jadi pasar onderdil sepeda bekas dari berbagai daerah, Kenpei Tjipto tengah memilah lampu sepeda bekas.

Ya, Kenpei Tjipto hanyalah satu dari lebih duaribu penghela sepeda onthels yang tengah berpesta dalaam… Kongres Sepeda Indonesiaa!

Rupa-rupa belaka dandanan para onthelis yang saya temui ahad (18/7) lalu. Dari yang berbaju adat daerah, sosok punakawan, koki, hingga (yang cukup banyak) adalah peserta dengan atribut serba djadoel. Tak heran jika bazaar memorabilia dan barang-barang bekas, paling heboh disatroni pengunjung. “Silakan, Mas! Ini kacamata asli loh!,” ujar Munadi, penjual aneka kacamata “tempo doeloe”. Ia membanderol dagangannya dengan kisaran harga belasan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Munadi yang datang dari Subang, Jawa Barat, juga menawarkan radio kuno dan bermacam kaset.

Lain lagi dengan Muntholib (48), yang datang dari Madiun beserta 50an rekan penggemar onthel. Diangkut kereta api barang mereka langsir ke Stasiun pasar Senen. Bersama sepeda onthel kesayangan, ikut terangkut perlengkapan masak dan pernak-pernik yang akan dipamerkan saat arak-arakan keliling Jakarta.

Suasana akrab dan guyup terlihat ketika Muntholib dan sohib penggemar onthel dari berbagai daerah bersua. “Ini nikmatnya ngonthel, Mas! Kita ndak menonjolkan apa yang kita punya, tapi menawarken apa yang kita bisa, hehe”. Siang itu, dari semula hanya karyawan swasta dengan tiga anak, Muntholib moncer jadi Letnan Kolonel Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Lengkap dengan seragam warna khaki, peci warna krem dipasang miring, plus selempang kulit dengan sepucuk pistol di pinggangnya yang gendut.

Aaangkat tangann..! Menyerah ato modiarr!,” ancam Muntholib kepada koleganya yang hari itu jadi tentara KNIL, salah satu korps tentara bentukan militer kolonial Belanda. Ditodong Letkol Muntholib, tentara Kumpeni yang menyandang senapan laras panjang itu pilih angkat tangan dengan raut muka belagak kecut. Fragmen guyon itu pun diakhiri dengan tawa yang pecah.

***

Asyik sekali bersua dan ngobrol dengan para onthelis dari berbagai kota yang mengepung Ibu Kota. Saya memang lebih terbiasa dengan sepeda gunung, dan cukup rutin bersepeda. Saya merasakan bagaimana para onthelis sangat jarang “pamer kekayaan” sepeda. Mereka lebih condong menawarkan kebersahajaan dan solidaritas. Tapi, buang jauh-jauh anggapan bahwa sepeda onthel berikut komponennya murahan belaka. Terlebih yang orisinil dan memang berusia lawas. Di sebuah stand “Gazzelle” misalnya, tampak dipajang sepeda tua seharga Rp 10 juta – Rp 20an juta. Lainnya di kisaran Rp 15 juta. Di kalangan penggemar sepeda gunung, sepeda seharga Rp 30 juta – Rp 100 juta lebih, tidaklah mengherankan.

Lebih dari semua itu, kalangan onthelis itu telah “memamerkan” sesuatu yang sangat bernilai. Etalase toko sepeda manapun tak mungkin memajangnya, karena teramat mahal dan langka : kebersahajaan dan solidaritas. Entah, di mana saya bisa membelinya untuk saya pamerkan setiap kali bersepeda.

Selasa, 13 Juli 2010

Layang-Layang Putus yang Melukis Sendiri Langit Rumahnya




ia datang menjelma layang-layang
menggembala kawanan awan berbulu abu-abu
mengawinkannya tiap sepasang, menjadikannya bunting dan beranak pinak
menjelmakan hujan
menyisakan pelangi
yang ia lukis dengan warna-warni tubuhnya sendiri
dan angin pun cemburu
enggan mengajaknya berdansa
sebuah hempasan bahkan memutuskan tali
layang-layang memilih pulang,
melukis sendiri langit rumahnya
yang tak bertepi

(gondangdia, 0710)

Sabtu, 10 Juli 2010

Gasing Bambu yang Mengitari Dunianya Sendiri


Seorang sahabat memberiku gasing bambu buat anakku ketika senja layu. Gasing yang indah dengan lubang hitam dari galaksi yang belum terpetakan. Stephen Hawking niscaya dibuat kagum manakala satu postulat tatasurya rancangannya telah gugur karenanya.

Tapi tidak bagi putraku. Ia mendekap gasing itu dari malam ke malam. Hingga ke tubir mimpi.

Dalam mimpinya gasing pemberian sahabatku itu terus berputar. Memanen gravitasi dan menyedot segala saja yang ada di sekitarnya. Guling. Selimut. Kasur. Setruman nyamuk. Laptop yang masih menyala menunggu ditulisi puisi. Minyak kayu putih. Sajadah. Papan selancar. Sepeda gunung. Terakhir, menyedot aku dan istriku yang belum selesai bercumbu.


Buitenzoorg. 07.10

Jumat, 09 Juli 2010

Perempuan yang Mengantarku Pulang Senja Itu (2)


Perempuan itu menjelma hujan sore tadi. Menawariku basah tepian musim yang tak mungkin menumbuhkan sekuntum kenanga di kebun benakku. Lelangit pekat. Seperti sekeping gulana di alisnya yang pekat dengan perdu berpucuk ungu. Tempat serangga menitipkan larva dan beranak pinak menjelma kupu.

Aspal masih lembab. Telanjang tanpa segumpil batu serupa onak di sela jari kakimu. Seperti telanjangmu ketika mengantarku pulang ke beranda waktu. Tuhan titip salam, kepadamu. Ujarnya diserta petir berulang kali.
Sampai di sebuah tikungan aku menatapnya untuk terakhir kali.
Ia menjelma api.

(Buitenzorg, July 2010)

Kamis, 08 Juli 2010

Perempuan yang Mengantarku Pulang Senja Itu


Perempuan itu datang sebagai hujan. Bertamu kepadaku ketika senja mulai menepi. Ia ketuk pintu benakku tiga kali antara ragu dan rindu bertemu. Tapi engsel pintu kubiarkan kaku. Mengawali diam benakku ragu. Sebab aku cemas ia masih menggenggam halilintar. Yang hanya menjadikanku terhenyak dan kuyup. Juga terbakar.

Perempuan itu datang menjelma badai. Tempias ujung rambutnya melembabkan waktu. Tiba-tiba jam dinding berhenti berdetak begitu binar matanya menyandera mataku. Sampai aku tak sanggup melihat selain sekeping ingatan masa lalu.

Keretaku datang dan perempuan itu mulai melambai dari kejauhan. Perlahan dengan jemari lentik rinai hujan. Yang tak sanggup aku genggam.

Keretaku menjauh. Benakku berpeluh. Ketika hujan reda, perempuan itu pulang sebagai awan.

(Buitenzorg, July 2010)

Selasa, 08 Juni 2010

Yuuk, Latihan Njogett...




Anik Triyani menulis begini…

"Mas bagaimana cara kita menemukan inspirasi dalam menulis?" Pertanyaan itu terlontar cukup semangat dari hati. "Coba temukan inspirasi-inspirasi itu dari kejadian yang kita temui dalam keseharian". It's simple answer. Tapi, jika dimaknai dengan semangat dari hati, kata-kata ini layaknya sebuah mutiara biru bagi yang tahu.

Entahlah, kenapa keinginan untuk menulis ini berkobar dalam setiap kedipan mata. Ada rasa bersalah lebih tepatnya, melintas dalam setiap ingatan. Memang, sudah seumur jagung tumbuh keinginan menulis ini. Setelah agak lama terkubur.

Sejak kejadian itu, kejadian yang membuatku merasa enggan untuk menulis. Ku stop kebiasaanku menulis apapun. Dulu fiksi, essay, perjalanan keseharian, pengalaman ironis bahkan yang tragis sekalipun aku tulis. Kini, bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali menulis. Aneh, aku tak menyadari hal itu hingga sekarang.

Dan sampai saatnya aku bertemu dengan "sang penangsang". Baru aku ingat bahwa selama ini aku telah melupakan kesukaanku. Hobi yang membuat imajinasiku tumbuh, hati kaya, dan tangan menjadi tebal (karena seringnya ngetik).

Hanya sedetik aku katakan, sebab aku merasa kekurangan waktu. Bertemu dengan "sang penangsang". Biar begitu, inspirasi mengalir dengan deras. Dan, hati ini merasa malu. Malu untuk membohongi diri bahwa ternyata keinginan menulis itu masih ada.

Sudah lama "semangat dari hati" tidak bergerak. Untuk mulai bermain dalam dunia yang selama ini kulupakan. Yup, dunia menulis, bermain dengan hati. Benar sekali kata-kata tokoh Mentari pada novel “9 Matahari”. Bahwa, "Roda memang berputar, namun adakala roda itu akan menjadi bocor atau kempis. Maka dari itu roda tidak bisa diputar lagi”. Eits, tunggu dulu... biarpun roda sudah tidak bisa menggelinding, setidaknya masih bisa dipindah tempatkan! Iya, bila perlu dengan diseret atau diangkat!

Dan…"Anik menulis lagi!!!".

Kuakui, dulu aku sempat kecewa dengan apa yang namanya "bermain" menulis. Aku down. Hasrat memainkan pena redup. Aku belum berusaha untuk membuat diri ini up lagi untuk menarikan pena dan mengekspresikan gelinjang dari relung hati dan pikiran lewat segores tulisan. Dan oke! aku akan membuat roda ini berpindah tempat. Akan kupaksa diri ini untuk menyeretnya!

Terima kasih "sang penangsang", yang telah menggerakkan dan membangkitkan kesadaran ini. Memulai lagi memainkan pena, mengekspresikan rasa dan mengelola pikiran dengan MENULIS.

Plok...Plok...Plok, kutepuk dada ini dengan semangat dari hati yang membara.

***

Di atas adalah “kesan” Anik Triani, seorang mahasiswa UGM, Yogyakarta, seusai menemani rekan- rekannya mengikuti pelatihan menulis di kampusnya, 2 Juni lalu. Dia menuliskan itu di dinding facebook saya. Itu adalah yang kedua kali saya diundang untuk menemani mereka belajar menulis. Kedua kali pula saya ketemu Anik. November dua tahun silam adalah yang pertama, di acara yang juga hampir sama. Mereka mengajak saya bareng-bareng belajar menulis.

Saya sendiri berpendapat menulis memang bukan hal gampang. Menulis yang bagus maksudnya. Dengan cukup “gizi” dan cukup "seksi". Untuk itulah saya tak pernah berhenti berlatih.

Senja seusai pelatihan, Anik, dan dua rekannya, Fajar dan Vemy, menemani saya mengganyang seporsi Nasi Ayam Brekele di Kafetaria. Tak jauh dari Gelanggang Mahasiswa UGM. Ebiet, adik yang saya minta antar- jemput, memilih menu Ayam Lumpur Lapindo. Menu yang disebut terakhir tak ada hubungannya dengan perusahaan Bakrie. Lapindo versi UGM itu berupa seporsi nasi dan daging ayam dengan siraman kuah kental warna coklat terang berikut empat iris buncis rebus dan wortel. Entah, apakah penggagas menu ini pernah melongok kawasan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo sono… Seingat saya, “kuah” lumpur yang bikin ribuan warga Sidorajo jatuh nelangsa itu berwarna abu-abu pekat. “Betul, Mas, kafetaria ini memang baru setahun terakhir berdiri,” ujar Fajar.
Seporsi brekele dan lumpur lapindo dihargai Rp 6.500.

“Gimana cara Mas Prio mendapatkan inspirasi dalam menulis?” Anik membuka percakapan. Sembari meneguk segelas jeruk panas, saya cerita sekelumit pengalaman menulis kepada mereka. Menulis berita maupun fiksi.

Inspirasi? Saya jadi teringat dengan sebuah pengalaman pada 1997. Bersama dua rekan pers mahasiswa, Timotius Suwardi dan Aris Budiprasetyo, saya membuat janji wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, Jalan Multikarya, kawasan Utan Kayu.
Menerima kami bertiga, laki-laki tua - wafat 2006 dalam usia 81 tahun - itu hanya mengenakan kaus oblong putih dengan warna yang sudah pudar. Celana pendek katun plus kaus usang yang sewarna dengan kaus oblong. Kebersahajaan itu tak mengurangi rasa “gentar” kami ketika bertemu sastrawan yang beberapa kali didapuk sebagai nominee peraih nobel sastra itu.

Siang itu, kami ingin melakukan verifikasi terkait budaya kekerasan yang merebak. Juga relasi kekerasan oleh negara yang dialaminya saat 14 tahun mendekam di Pulau Buru. Referensi saya untuk soal ini hanya satu, buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ditulis Pram semasa dalam pembuangan di di Pulau Buru, kesan saya hanya hanya satu : mengerikan! Selebihnya adalah soal kepiawaian Pram menuturkan fakta-fakta secara lugas dan nyaris tanpa emosi. Beberapa buku karya Pram lainnya yang sudah saya baca sebelum wawancara itu berlangsung adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
“Ah, kalian tak usah pura-pura tak tahu. Di pundak yang muda-muda ini kekerasan (orde baru) itu harus kalian tulis!” ujar Pram dengan air muka tenang. Lantas mengembuskan asap rokok kreteknya. Djambu Bol. Saya yang bukan perokok dibuatnya terbatuk setidaknya enam kali.

Di ruang dalam, Muthmainah Thamrin, istri Pram, menyiapkan teh manis buat berempat. Muthmainah, putri Muhammad Hoesni Thamrin, itu terlihat anggun dan masih gesit. Gurat-gurat kecantikan masih tampak di wajahnya. “Silakan diminum,” ujarnya dengan seulas senyum. Lalu bergegas menyingkir ke dalam saat kami kembali meneruskan obrolan. Saya yakin, Muthmainah bisa mendengar percakapan kami. Beberapa kali kami harus bertanya dengan volume suara tinggi agar Pram dengar apa yang kami tanyakan. Hajaran popor senapan seorang prajurit TNI bernama Sulaiman memang telah menjadikan pendengaran Pram rusak.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Pram adalah ketika saya mulai bekerja dan menetap di Jakarta, pada 2000. Percakapan tak pernah bisa berlangsung lama. Pram masih menjadi magnet bagi siapapun. Termasuk anak-anak muda yang ingin minta tanda tangan, berfoto.

“Buku apa lagi nih, yang akan bapak tulis?,” saya mendekati Pram seusai memberi orasi budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Nggak. Saya nggak mampu menulis lagi sekarang. Sudah tua..”
Lah, terus ngapain aja di rumah?”
“Biasa, mbakar sampah di kebon, hehe..,” Pram tersenyum, membetulkan topi pet warna hitam di kepalanya sembari mengembuskan asap tembakau dari cangklong. Beberapa jenak kemudian percakapan terputus, lusinan anak muda menghambur mengajaknya foto bersama. Pram tak menolak. Terkekeh.

Pengalaman Pram, atau Pram itu sendiri, adalah salah satu inspirator saya dalam menulis. Ia tak lumer dengan kondisi penuh tekanan. Dan memilih terus menulis. Entah, bagaimana dia menggali sumber-sumber tulisannya ketika dalam pasungan era kolonial Belanda atau pun orde baru.

Buku-buku dan arsip penting di Perpustakaan, harta yang sangat dicintainya, ludes dibakar tentara sebelum ia digiring ke Buru sebagai tapol.
Atau jangan-jangan, penderitaan itulah sumber inspirasi terbesarnya. Mungkinkah “penderitaan inspiratif” dikondisikan?

Lah, terus sejak kapan Mas Prio mulai menulis?” ujar Anik di sela jeda latihan menulis sore itu.
“Sejak SMP, saya mulai rutin menulis puisi, juga cerpen,” saya mencoba mengingat. Buku catatan harian semasa SMP masih saya miliki. Kebanyakan puisi. Ketika berada di atas geladak kapal ferry di Selat Sunda, misalnya, saya menulis puisi. Tentang buih putih di laut, bintang di langit. Tentang harapan. Ya, saya akan mulai sekolah menengah di Yogyakarta sejak itu.
Juga puisi-puisi cinta anak ingusan. Jatuh hati pada seorang gadis berkacamata yang sering melintas di depan rumah. Saya hanya berani menatapnya dari balik pagar perdu. Dan membiarkan puisi saya merayunya diam-diam.

Sejak itu saya selalu ingat, menulis juga merupakan kerja kesunyian. Kerja diam-diam. Jika benak sedang kumuh dan rusuh, tak sepatah kata pun bisa kuanyam hari itu.

Di SMP pula saya mulai menulis prosa cukup kontinyu. Juga membaca.
Yohannes Ratoem, guru Bahasa Indonesia di SMP Xaverius Gisting, Lampung, sukar untuk tidak saya sebut perannya. Sepekan dua kali ia mengajarkan pada semua siswa bagaimana mengarang yang baik. Seingat saya, nilai tertinggi pelajaran mengarang di sekolah itu adalah tujuh. Tak lebih.

Pak Ratoem, paruh baya berpostur tinggi kurus dengan tatanan rambut klimis belah samping. Jika berdiri atau berjalan, posturnya agak melengkung seperti pisang ambon. Jago mendongeng. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia menyisakan waktu sepuluh atau limabelas menit, ia akan mengisinya dengan dongeng bersambung. Macam-macam temanya. Kisah Burung Ardana dan Bejo Santoso adalah dua judul yang saya masih ingat jalan ceritanya. Jika mulai mendongeng seisi kelas seperti tersihir. Dari Ratoem pula saya belajar membahasakan imajinasi. Ratoem guru Bahasa Indonesia terbaik yang pernah saya kenal. Ratoem sangat disiplin. Sejumlah kawan pernah kena tampar gara-gara iseng saat ia mengurai sebuah tema.

Ratoem pula yang meminta saya untuk jadi “Pemimpin Redaksi” majalah dinding sekolah. Tugasnya mencari naskah, menulis, menempel dan mengganti naskah yang hendak “diterbitkan” di majalah dinding berukuran 1m x 3m. Dalam kegiatan yang mengasyikkan itu, saya dibantu Lidya, gadis keturunan Tionghoa yang juga senang menulis. Lidya baik dan rendah hati. Juga cantik.

Gara-gara sebuah puisi pula saya dan sejumlah rekan pernah di interogasi di ruang perpustakaan oleh guru BP. Ceritanya, banyak teman yang tak suka dengan cara seorang guru (baru) saat mengajar dan memberi nilai. Sering nyrempet saru dan royal jika merokok di depan kelas. Pernah, saat mengajar, ia menyuruh seorang teman untuk membelikan rokok di warung yang berlokasi di seberang jalan. Lebih lucu lagi, ia tak segan-segan membagi kunci jawaban saat ulangan harian. Saya lantas diminta membuat puisi kritik dan ditempel di majalah dinding oleh teman-teman sekelas. Saya kerjakan. Di bawah judul puisi terang-terangan saya tulis : "Kepada Pak SB". Belum genap dua jam ditempel, puisi saya kena breidel. Saya dengar Pak Ratoem yang memberangus puisi itu. Saya dan sejumlah rekan lantas ditanyai oleh guru BP. Sama sekali tak dimarahi. Mereka tanya apakah "fakta-fakta" dalam puisi itu benar adanya. "Kalian boleh mengkritik, tapi sebaiknya jangan ditulis nama yang kalian tuju. Ini juga agak keras," ujar Ratoem di depan kelas, sehari setelah insiden puisi protes itu. Saya lihat wajah Ratoem. Ia sama sekali tak marah atau kecewa. Ada segurat senyum, yang segera saja saya artikan sebagai sebentuk dukungan. Seorang guru paling sepuh dan sangat dihormati, juga terang-terangan memberi dukungan. "Katakan saja kalau memang benar, jangan takut-takut!," ujar Pak Ponijo Sepuh, pengampu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) itu. Kabarnya, gara-gara puisi itu, guru yang kami kritik lewat puisi mendapat teguran dari dewan sekolah.

Atmosfer masa sekolah sungguh inspiratif bagi saya. Di sana saya juga menjalin hubungan baik dengan petugas perpustakaan. Membantu melayani peminjaman buku bagi murid-murid pada jam istirahat. Bonusnya, saya bisa meminjam buku sebanyak yang sanggup saya baca. Novel Layar Terkembang, Siti Nurbaya (Marah Roesli), Atheis (Achdiat KM), hingga Monte Cristo karya Alexander Dumas, adalah beberapa karya yang saat itu saya pinjam dan baca.

Seperti mengupas bawang, fakta-fakta yang hendak kita tulis harus dikupas lapis demi lapis. Semakin dalam, kebenaran (fungsional) akan terkuak. Untuk itu kita juga harus telaten membaca.

Seperti namanya, SMP itu dikelola sebuah yayasan Katolik. Sementara saya dari keluarga muslim. Seingat saya, mayoritas murid di kelas saya beragama Islam. Teman-teman saya juga berasal dari latar belakang beragam. Keturunan Tionghoa, Batak, Lampung, Palembang, juga Jawa. Hanya guru-gurunya yang mayoritas berasal dari Yogyakarta. Mungkin pengalaman itu yang, hingga saat ini, membantu saya dalam menenggang perbedaan.

Ibu memasukkan saya ke sekolah ini karena terkenal dengan kultur disiplin dan bereputasi akademik yang bagus. Mungkin juga karena Ibu kenal dengan beberapa guru di sana. Pilihannya cukup masuk akal. Kala kanak-kanak saya memang badung. Gemar bikin onar. Tapi, saya juga sholat dan rutin mengaji di rumah Mang Udin dan Lik Suwarni, ustadz kampung sebelah. Meski juga tetap suka bikin ribut.

Latar belakang yang beragam itulah yang mempengaruhi saya untuk tidak berfikir monolitik.

“Jika kamu menulis tentang konflik berlatarbelakang etnis dan primordial, kamu akan mendekati obyektif ketika ruang redaksi memiliki latar belakang yang beragam. Tak itu perbedaan etnik maupun agama,” saya memberikan contoh kepada Anik. Mahasiswi Sastra Inggris semester delapan ini manggut-manggut. Obyektifitas bukan tujuan jurnalisme. Orang akan lintang pukang untuk bisa bersikap obyektif. Malahan, akan cenderung utopis jika obyektifitas dipaksa dijadikan tujuan dalam jurnalisme. “Yang bisa kita lakukan hanyalah mendekati obyektif. Caranya, dengan disiplin verifikasi, selalu nggak puas dengan fakta yang sudah didapat.”

Saya hanya ingin memberi tahu Anik, juga Fajar, Dilla, Galeh, Laras, Febby, Amanda, dan teman-teman peserta pelatihan menulis yang lain, bahwa menulis yang bagus memang tidak mudah. Dengan kesadaran itu kita terpacu untuk bersungguh-sungguh dan berusaha keras melakukannya.

Setelahnya, baru kamu bisa menari dalam kata-katamu sendiri. Yuuk, latihan njoget…
Nang ning nong ning nang ning gungg…

Rabu, 26 Mei 2010

Interview With "The Climate Hero" Hehe..


Tri Mumpuni Wiyatno
Social Entrepreneurs

“Banyak Orang Pintar yang 'Minteri'”

“Inilah, The Republic of Indonesia, Mas!, ujarnya dengan mata separuh mendelik dan jari telunjuk menuding wajah saya. Saya tersenyum, dia nyengir. Ceplas-ceplos ketika bertutur soal ironi di republik ini. Mimiknya ekspresif, kadang jenaka. Postur kelahiran Semarang 44 tahun silam itu boleh mungil, tapi jangan tanya kiprah dan energinya yang seperti tak pernah kehabisan “batre”. Ia membantu ribuan desa memberdayakan ekonominya melalui program energi mandiri. Karyanya diakui PBB, lantas mendapuknya dengan gelar “Climate Hero”. April kemarin di Washington, bahkan, Uncle Barrack memujinya sebagai sosok perempuan Social Entrepreneurs jempolan yang banyak menawarkan perubahan. Buah pemikiran dan aksi perempuan energik ini diterapkan dan berguna bagi masyarakat udik Cicemet, pedesaan Beijing hingga Dubrovnik di Kroasia. Saya lantas mengajaknya bercakap seusai menjadi pemateri sebuah seminar di sebuah hotel di Jakarta, akhir Februari silam. Saya suka kesederhanaan dan kerendahan hati perempuan yang akrab disapa Bu Puni, itu.


Bu Puni, ngapain sih sampeyan repot-repot ngurusin listrik di udik-udik. Kan dah ada PLN? “Kendaraannya” apa?

Masyarakat harus mandiri energi. Sebagian besar saya menggunakan wahana koperasi. Saya tidak punya tendensi pada orang-orang yang merusak koperasi. Saya ingin membuktikan. Saya pencinta Bung Hatta, saya membaca bukunya sampai mendapat ide-ide. Jadi, sebenarnya prisnip-prisnisp koperasi Hatta diikuti dengan benar dan juga koperasi yang benar maka Indonesia itu gampang dimakmurkan.

Sedikit pengetahuan saya, banyak juga koperasi yang jeblok. Piye, Bu?
Lah! Lah ! Persoalannya sekarang itu kan, seakan-akan koperasi itu pekerjaannya pemerintah. Kemudian orang-orang yang nggak benar bikin koperasi agar gampang korupsi dari situ, inilah yang merusak nama koperasi. Makanya saya ubah, bahwa koperasi itu alat yang bagus. Sapujagat untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Geto loh, Mas..!

Nggak “disetrum” PLN? Jadi kompetitor, kan?
Nggak. Karena kami mengurusi listrik mikro hidro, pelan-pelan. Jika anda melihat koperasi di Cintamekar, Jawa Barat, bagaimana pengurusnya mempunyai power, bisa amanah. Jadi, yang terpenting bagaimana memilih orang yang bermoral. Itu pelan-pelan. Orang takut dengan agama , dia punya komitmen bahwa hidup ini cuma sebentar, kalau mati tak membawa duit.

Idealnya menurut Anda?
Pengurus (pemimpin) harus benar-benar dipilih oleh rakyat. Dipandang oleh rakyat sebagai orang yang punya amanah. Ini terjadi karena pemilihannya yang bersih dan bagus. Saya juga melibatkan semua stakeholder atau teman. Contohnya, waktu koperasi di Cintamekar dibentuk, namanya Koperasi Mekarsari. Saya kaget kenapa ada seorang ketua terpilih, padahal dia tidak pintar, ngomong saja susah. Belakangan saya tanyakan kepada warga, ternyata sang ketua itu dianggap jujur dalam segala hal, tak pernah nyolong atau berbohong. Jadi, dia dipilih bukan karena pintar. Orang pintar saat ini banyak yang ‘minteri’ (mengakali) kita. Maka orang seperti kita harus jeli. Nah, antara lain itulah caranya jika hendak mendirikan institusi pemberdaya masyarakat agar benar-benar baik. Yang hancur itu karena ulah segelintir orang yang tak benar. Gak genah.

Kunci sukses leadership ideal menurutmu gimana, Bu?
Kunci sukses itu orang yang punya visi membangun dengan hati untuk rakyat itu menjadi pendamping yang baik . Tanpa itu omong kosong! Rakyat itu harus dipercaya, dia everybody exchange speaker, semua orang itu adalah agen perubahan. Nah, itu yang kadang-kadang kita nggak yakin. Ini yang harus diyakini, yaummal yakin semua orang itu agen perubahan. Kalau dia tak bisa berubah berarti ada hal-hal yang kurang yang harus kita bantu agar bisa berubah menjadi ke arah yang lebih baik.

Bagaimana dengan peran institusi pemberdaya lain macam LSM, asosiasi dll?
Sama-sama menolong diri sendiri, merubah diri sendiri, sebetulnya sama. Cuma, katanya sih, embordingnya yang berbeda. Tapi intinya sama. Setiap orang itu bisa membantu diri sendiri. Hanya, seperti saya katakan tadi, ada yang bukan karena kesalahan mereka, secara struktural dia sudah dininabobokan. Atau memang dia miskin ekstrim secara struktural, dia miskin segala macem. Jadi kan (kesannya) bodoh. Kayak orang ketiduran, membangunkannya butuh kesabaran, perlu hati, ikhlas. Kalau tidak yah ketemu provokator, tapi jangan putus asa. Di developmentice, itu ibarat sebuah lorong, proses yang kita nggak boleh capek. Harus terus, jatuh bangun-jatuh bangun. Apalagi mendampingi rakyat, harus punya komitmen.

Apa pendapat anda terkait dana-dana pemerintah yang diterima institusi non pemerintah, koperasi, dll dengan alasan sebagai stimulus kemandirian?
Mas, coba anda keliling dulu. Tanya pada koperasi kalau dia mendapatkan (dana) program pemerintah lewat Kandep atau segala macam. Kalau Anda bisa menunjukkan kepada saya, misalnya, jika sebuah koperasi terima uang 100 juta dari pemerintah dan tetap diberikan utuh Rp 100 juta (tanpa ditilep), itu baru bagus. Faktanya? Lihat di lapangan seperti apa.

Anda punya cerita terkait kecenderungan korup di atas?
Tanya juga pada dinas, kalau dinas benar-benar ikhlas tidak melakukan pemotongan sedikitpun, itu baru sukses. Selama ini, saya sering ditelpon, Bu (kami) dibohongi. Memang gue bego apa? Mereka Tanya lagi, Bu, si ini dan itu pernah menyetor uang ke kami. Kira-kira yah, ibu akan mendapat uang Rp 900 juta, tapi ibu setor ke kami dulu Rp 100 juta. Saya banyak ketemu dengan koperasi-koperasi yang ditipu nyetor 1 mobil dan segala macam untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Gimana itu? Kita mau bilang oknum? Yah, nggak mungkinlah. Dari mana orang-orang itu tahu kalau koperasi mau nyebar duit.

Pelajaran apa yang bisa diambil?
Intinya, accountability itu penting. Nah, ini yang kita kekurangan sampai sekarang. Baik di level aparatnya yang kemudian menular ke masyarakat. Muncullah budaya skeptis. Ah, ini kan uang pemerintah, bisa saya habisin lah, wong saya juga sering ditipu-tipu. Iya, kan? Itu Bukan uang pemerintah, itu uang rakyat! Dia (pemerintah) menjalankan amanah. Kalau menjalankan amanah untuk mendiskus uang saja enggak didiskus dengan baik. Nggak amanah, yah jangan harap sesuatu yang diawali dengan yang tidak baik akan sukses. Rasulullah bilang, hasilnya amburadul! That’s Republik Indonesia, Mas!

Betul, betul, betul..! Ooalaah..!

Senin, 03 Mei 2010

Yang Melata di Mata Sang Bocah



“Bagus ya, Kak. Uler apa ni namanya?”
“Sanca batik”
“Oo, batik… Kalo yang coklat ini?”
“Ini ular pelangi. Coba dielus, dipegang…”
“Pelangi ya…”


Wyna, bocah cilik menjelang kelas satu SD itu antusias betul. Matanya yang bening perpendar penuh rasa ingin tahu. Icha Cebong dari Lembaga Studi Ular SIOUX, dengan sabar menjawab semua tanya sang bocah. Mahluk-mahluk melata beraneka motif dan warna. Ruangan berpenerangan temaram di Museum Bank Mandiri, Kota Tua, Jakarta-Pusat, itu memang terlalu remang. Memberi kesan “wingit” pada interior gedung peninggalan Belanda yang masih terawat apik itu.

Tak ada ekspresi takut atau geli sedikit pun tergurat di wajah Wyna yang siang itu datang ditemani adiknya yang belum genap empat tahun, Iwa, dan kedua orangtua mereka. Iwa sama antusiasnya dengan sang kakak ketika Icha memperkenalkan beberapa ular milik SIOUX yang hari itu dipajang. Wyna adalah satu dari ratusan, atau seribuan, pengunjung yang melintas di stand SIOUX. Hari itu Icha ditemani Defry, Bintang, Deny, dan beberapa Muscle SIOUX lainnya.

Pada Sabtu dan Ahad, 17 - 18 April lalu, SIOUX memang berpartisipasi dalam sebuah acara bersama lebih dari tigapuluh komunitas sosial dan lingkungan hidup yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Ada komunitas Bike to Work (B2W), Pecinta Astronomi, Komunitas 1001 Buku, Komunitas Musik, Pegiat Lingkungan, hingga komunitas batik dengan pewarna alami. Acara dihelat tanpa sponsor menjelang peringatan hari bumi. Komunitas-komunitas kecil ini dirasa memberikan energi positif di tengah tumpukan persoalan yang mendera Jakarta. Kemacetan, polusi, sampah, dan banyak lagi. “KumKum: Kumpul Yuk Kumpul! untuk Berbagi dan Berbuat”. Demikian panitia memberi judul acara dua hari yang meriah itu.

Saya datang bersama Qen dan bundanya yang tengah hamil. “Aku pengin lihat ular teman-teman Ayah, pengin pegang-pegang,” ujar Qen dengan mata berbinar. Hampir dua tahun lalu, dalam ajang pameran Flora dan Fauna, ia juga tampak senang bermain dengan ular koleksi sebuah pet shop. Di rumah, reptil peliharaan kami berupa lima ekor kura-kura dari tiga spesies. Qen menyebutnya Robert dan kawan-kawan. Tak ada seekor ular pun.

Dan hari itu, Qen berpuas-puas bermain dengan beberapa ular koleksi SIOUX. Melly Chan, bunda Qen, juga bisa ngobrol dengan sahabat-sahabat saya dari komunitas SIOUX. Melany (Imenk) misalnya, Ibu tiga anak yang tinggal di Bekasi ini selain mengoleksi sejumlah reptil, juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar “menampung” ular temuan yang tak dikehendaki. Atau Dhiyan Savitri, perempuan fotografer penyuka travelling yang punya pengalaman digigit ular. “Hmm, ini kesayanganku,” ujarnya sembari mencium seekor Phyton reticulatus yang mencoba menyusup di celah jilbabnya.

Saya bersyukur bisa bergabung dalam Muscle SIOUX. Hasrat memperkenalkan rupa-rupa makhluk ciptaan-Nya yang luar biasa itu pada Qen, bisa tersalurkan. Makhluk melata yang sering dipahami secara salah kaprah oleh banyak orang. Blepp..blepp..blepp..!