Selasa, 08 Juni 2010

Yuuk, Latihan Njogett...




Anik Triyani menulis begini…

"Mas bagaimana cara kita menemukan inspirasi dalam menulis?" Pertanyaan itu terlontar cukup semangat dari hati. "Coba temukan inspirasi-inspirasi itu dari kejadian yang kita temui dalam keseharian". It's simple answer. Tapi, jika dimaknai dengan semangat dari hati, kata-kata ini layaknya sebuah mutiara biru bagi yang tahu.

Entahlah, kenapa keinginan untuk menulis ini berkobar dalam setiap kedipan mata. Ada rasa bersalah lebih tepatnya, melintas dalam setiap ingatan. Memang, sudah seumur jagung tumbuh keinginan menulis ini. Setelah agak lama terkubur.

Sejak kejadian itu, kejadian yang membuatku merasa enggan untuk menulis. Ku stop kebiasaanku menulis apapun. Dulu fiksi, essay, perjalanan keseharian, pengalaman ironis bahkan yang tragis sekalipun aku tulis. Kini, bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali menulis. Aneh, aku tak menyadari hal itu hingga sekarang.

Dan sampai saatnya aku bertemu dengan "sang penangsang". Baru aku ingat bahwa selama ini aku telah melupakan kesukaanku. Hobi yang membuat imajinasiku tumbuh, hati kaya, dan tangan menjadi tebal (karena seringnya ngetik).

Hanya sedetik aku katakan, sebab aku merasa kekurangan waktu. Bertemu dengan "sang penangsang". Biar begitu, inspirasi mengalir dengan deras. Dan, hati ini merasa malu. Malu untuk membohongi diri bahwa ternyata keinginan menulis itu masih ada.

Sudah lama "semangat dari hati" tidak bergerak. Untuk mulai bermain dalam dunia yang selama ini kulupakan. Yup, dunia menulis, bermain dengan hati. Benar sekali kata-kata tokoh Mentari pada novel “9 Matahari”. Bahwa, "Roda memang berputar, namun adakala roda itu akan menjadi bocor atau kempis. Maka dari itu roda tidak bisa diputar lagi”. Eits, tunggu dulu... biarpun roda sudah tidak bisa menggelinding, setidaknya masih bisa dipindah tempatkan! Iya, bila perlu dengan diseret atau diangkat!

Dan…"Anik menulis lagi!!!".

Kuakui, dulu aku sempat kecewa dengan apa yang namanya "bermain" menulis. Aku down. Hasrat memainkan pena redup. Aku belum berusaha untuk membuat diri ini up lagi untuk menarikan pena dan mengekspresikan gelinjang dari relung hati dan pikiran lewat segores tulisan. Dan oke! aku akan membuat roda ini berpindah tempat. Akan kupaksa diri ini untuk menyeretnya!

Terima kasih "sang penangsang", yang telah menggerakkan dan membangkitkan kesadaran ini. Memulai lagi memainkan pena, mengekspresikan rasa dan mengelola pikiran dengan MENULIS.

Plok...Plok...Plok, kutepuk dada ini dengan semangat dari hati yang membara.

***

Di atas adalah “kesan” Anik Triani, seorang mahasiswa UGM, Yogyakarta, seusai menemani rekan- rekannya mengikuti pelatihan menulis di kampusnya, 2 Juni lalu. Dia menuliskan itu di dinding facebook saya. Itu adalah yang kedua kali saya diundang untuk menemani mereka belajar menulis. Kedua kali pula saya ketemu Anik. November dua tahun silam adalah yang pertama, di acara yang juga hampir sama. Mereka mengajak saya bareng-bareng belajar menulis.

Saya sendiri berpendapat menulis memang bukan hal gampang. Menulis yang bagus maksudnya. Dengan cukup “gizi” dan cukup "seksi". Untuk itulah saya tak pernah berhenti berlatih.

Senja seusai pelatihan, Anik, dan dua rekannya, Fajar dan Vemy, menemani saya mengganyang seporsi Nasi Ayam Brekele di Kafetaria. Tak jauh dari Gelanggang Mahasiswa UGM. Ebiet, adik yang saya minta antar- jemput, memilih menu Ayam Lumpur Lapindo. Menu yang disebut terakhir tak ada hubungannya dengan perusahaan Bakrie. Lapindo versi UGM itu berupa seporsi nasi dan daging ayam dengan siraman kuah kental warna coklat terang berikut empat iris buncis rebus dan wortel. Entah, apakah penggagas menu ini pernah melongok kawasan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo sono… Seingat saya, “kuah” lumpur yang bikin ribuan warga Sidorajo jatuh nelangsa itu berwarna abu-abu pekat. “Betul, Mas, kafetaria ini memang baru setahun terakhir berdiri,” ujar Fajar.
Seporsi brekele dan lumpur lapindo dihargai Rp 6.500.

“Gimana cara Mas Prio mendapatkan inspirasi dalam menulis?” Anik membuka percakapan. Sembari meneguk segelas jeruk panas, saya cerita sekelumit pengalaman menulis kepada mereka. Menulis berita maupun fiksi.

Inspirasi? Saya jadi teringat dengan sebuah pengalaman pada 1997. Bersama dua rekan pers mahasiswa, Timotius Suwardi dan Aris Budiprasetyo, saya membuat janji wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, Jalan Multikarya, kawasan Utan Kayu.
Menerima kami bertiga, laki-laki tua - wafat 2006 dalam usia 81 tahun - itu hanya mengenakan kaus oblong putih dengan warna yang sudah pudar. Celana pendek katun plus kaus usang yang sewarna dengan kaus oblong. Kebersahajaan itu tak mengurangi rasa “gentar” kami ketika bertemu sastrawan yang beberapa kali didapuk sebagai nominee peraih nobel sastra itu.

Siang itu, kami ingin melakukan verifikasi terkait budaya kekerasan yang merebak. Juga relasi kekerasan oleh negara yang dialaminya saat 14 tahun mendekam di Pulau Buru. Referensi saya untuk soal ini hanya satu, buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ditulis Pram semasa dalam pembuangan di di Pulau Buru, kesan saya hanya hanya satu : mengerikan! Selebihnya adalah soal kepiawaian Pram menuturkan fakta-fakta secara lugas dan nyaris tanpa emosi. Beberapa buku karya Pram lainnya yang sudah saya baca sebelum wawancara itu berlangsung adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
“Ah, kalian tak usah pura-pura tak tahu. Di pundak yang muda-muda ini kekerasan (orde baru) itu harus kalian tulis!” ujar Pram dengan air muka tenang. Lantas mengembuskan asap rokok kreteknya. Djambu Bol. Saya yang bukan perokok dibuatnya terbatuk setidaknya enam kali.

Di ruang dalam, Muthmainah Thamrin, istri Pram, menyiapkan teh manis buat berempat. Muthmainah, putri Muhammad Hoesni Thamrin, itu terlihat anggun dan masih gesit. Gurat-gurat kecantikan masih tampak di wajahnya. “Silakan diminum,” ujarnya dengan seulas senyum. Lalu bergegas menyingkir ke dalam saat kami kembali meneruskan obrolan. Saya yakin, Muthmainah bisa mendengar percakapan kami. Beberapa kali kami harus bertanya dengan volume suara tinggi agar Pram dengar apa yang kami tanyakan. Hajaran popor senapan seorang prajurit TNI bernama Sulaiman memang telah menjadikan pendengaran Pram rusak.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Pram adalah ketika saya mulai bekerja dan menetap di Jakarta, pada 2000. Percakapan tak pernah bisa berlangsung lama. Pram masih menjadi magnet bagi siapapun. Termasuk anak-anak muda yang ingin minta tanda tangan, berfoto.

“Buku apa lagi nih, yang akan bapak tulis?,” saya mendekati Pram seusai memberi orasi budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Nggak. Saya nggak mampu menulis lagi sekarang. Sudah tua..”
Lah, terus ngapain aja di rumah?”
“Biasa, mbakar sampah di kebon, hehe..,” Pram tersenyum, membetulkan topi pet warna hitam di kepalanya sembari mengembuskan asap tembakau dari cangklong. Beberapa jenak kemudian percakapan terputus, lusinan anak muda menghambur mengajaknya foto bersama. Pram tak menolak. Terkekeh.

Pengalaman Pram, atau Pram itu sendiri, adalah salah satu inspirator saya dalam menulis. Ia tak lumer dengan kondisi penuh tekanan. Dan memilih terus menulis. Entah, bagaimana dia menggali sumber-sumber tulisannya ketika dalam pasungan era kolonial Belanda atau pun orde baru.

Buku-buku dan arsip penting di Perpustakaan, harta yang sangat dicintainya, ludes dibakar tentara sebelum ia digiring ke Buru sebagai tapol.
Atau jangan-jangan, penderitaan itulah sumber inspirasi terbesarnya. Mungkinkah “penderitaan inspiratif” dikondisikan?

Lah, terus sejak kapan Mas Prio mulai menulis?” ujar Anik di sela jeda latihan menulis sore itu.
“Sejak SMP, saya mulai rutin menulis puisi, juga cerpen,” saya mencoba mengingat. Buku catatan harian semasa SMP masih saya miliki. Kebanyakan puisi. Ketika berada di atas geladak kapal ferry di Selat Sunda, misalnya, saya menulis puisi. Tentang buih putih di laut, bintang di langit. Tentang harapan. Ya, saya akan mulai sekolah menengah di Yogyakarta sejak itu.
Juga puisi-puisi cinta anak ingusan. Jatuh hati pada seorang gadis berkacamata yang sering melintas di depan rumah. Saya hanya berani menatapnya dari balik pagar perdu. Dan membiarkan puisi saya merayunya diam-diam.

Sejak itu saya selalu ingat, menulis juga merupakan kerja kesunyian. Kerja diam-diam. Jika benak sedang kumuh dan rusuh, tak sepatah kata pun bisa kuanyam hari itu.

Di SMP pula saya mulai menulis prosa cukup kontinyu. Juga membaca.
Yohannes Ratoem, guru Bahasa Indonesia di SMP Xaverius Gisting, Lampung, sukar untuk tidak saya sebut perannya. Sepekan dua kali ia mengajarkan pada semua siswa bagaimana mengarang yang baik. Seingat saya, nilai tertinggi pelajaran mengarang di sekolah itu adalah tujuh. Tak lebih.

Pak Ratoem, paruh baya berpostur tinggi kurus dengan tatanan rambut klimis belah samping. Jika berdiri atau berjalan, posturnya agak melengkung seperti pisang ambon. Jago mendongeng. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia menyisakan waktu sepuluh atau limabelas menit, ia akan mengisinya dengan dongeng bersambung. Macam-macam temanya. Kisah Burung Ardana dan Bejo Santoso adalah dua judul yang saya masih ingat jalan ceritanya. Jika mulai mendongeng seisi kelas seperti tersihir. Dari Ratoem pula saya belajar membahasakan imajinasi. Ratoem guru Bahasa Indonesia terbaik yang pernah saya kenal. Ratoem sangat disiplin. Sejumlah kawan pernah kena tampar gara-gara iseng saat ia mengurai sebuah tema.

Ratoem pula yang meminta saya untuk jadi “Pemimpin Redaksi” majalah dinding sekolah. Tugasnya mencari naskah, menulis, menempel dan mengganti naskah yang hendak “diterbitkan” di majalah dinding berukuran 1m x 3m. Dalam kegiatan yang mengasyikkan itu, saya dibantu Lidya, gadis keturunan Tionghoa yang juga senang menulis. Lidya baik dan rendah hati. Juga cantik.

Gara-gara sebuah puisi pula saya dan sejumlah rekan pernah di interogasi di ruang perpustakaan oleh guru BP. Ceritanya, banyak teman yang tak suka dengan cara seorang guru (baru) saat mengajar dan memberi nilai. Sering nyrempet saru dan royal jika merokok di depan kelas. Pernah, saat mengajar, ia menyuruh seorang teman untuk membelikan rokok di warung yang berlokasi di seberang jalan. Lebih lucu lagi, ia tak segan-segan membagi kunci jawaban saat ulangan harian. Saya lantas diminta membuat puisi kritik dan ditempel di majalah dinding oleh teman-teman sekelas. Saya kerjakan. Di bawah judul puisi terang-terangan saya tulis : "Kepada Pak SB". Belum genap dua jam ditempel, puisi saya kena breidel. Saya dengar Pak Ratoem yang memberangus puisi itu. Saya dan sejumlah rekan lantas ditanyai oleh guru BP. Sama sekali tak dimarahi. Mereka tanya apakah "fakta-fakta" dalam puisi itu benar adanya. "Kalian boleh mengkritik, tapi sebaiknya jangan ditulis nama yang kalian tuju. Ini juga agak keras," ujar Ratoem di depan kelas, sehari setelah insiden puisi protes itu. Saya lihat wajah Ratoem. Ia sama sekali tak marah atau kecewa. Ada segurat senyum, yang segera saja saya artikan sebagai sebentuk dukungan. Seorang guru paling sepuh dan sangat dihormati, juga terang-terangan memberi dukungan. "Katakan saja kalau memang benar, jangan takut-takut!," ujar Pak Ponijo Sepuh, pengampu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) itu. Kabarnya, gara-gara puisi itu, guru yang kami kritik lewat puisi mendapat teguran dari dewan sekolah.

Atmosfer masa sekolah sungguh inspiratif bagi saya. Di sana saya juga menjalin hubungan baik dengan petugas perpustakaan. Membantu melayani peminjaman buku bagi murid-murid pada jam istirahat. Bonusnya, saya bisa meminjam buku sebanyak yang sanggup saya baca. Novel Layar Terkembang, Siti Nurbaya (Marah Roesli), Atheis (Achdiat KM), hingga Monte Cristo karya Alexander Dumas, adalah beberapa karya yang saat itu saya pinjam dan baca.

Seperti mengupas bawang, fakta-fakta yang hendak kita tulis harus dikupas lapis demi lapis. Semakin dalam, kebenaran (fungsional) akan terkuak. Untuk itu kita juga harus telaten membaca.

Seperti namanya, SMP itu dikelola sebuah yayasan Katolik. Sementara saya dari keluarga muslim. Seingat saya, mayoritas murid di kelas saya beragama Islam. Teman-teman saya juga berasal dari latar belakang beragam. Keturunan Tionghoa, Batak, Lampung, Palembang, juga Jawa. Hanya guru-gurunya yang mayoritas berasal dari Yogyakarta. Mungkin pengalaman itu yang, hingga saat ini, membantu saya dalam menenggang perbedaan.

Ibu memasukkan saya ke sekolah ini karena terkenal dengan kultur disiplin dan bereputasi akademik yang bagus. Mungkin juga karena Ibu kenal dengan beberapa guru di sana. Pilihannya cukup masuk akal. Kala kanak-kanak saya memang badung. Gemar bikin onar. Tapi, saya juga sholat dan rutin mengaji di rumah Mang Udin dan Lik Suwarni, ustadz kampung sebelah. Meski juga tetap suka bikin ribut.

Latar belakang yang beragam itulah yang mempengaruhi saya untuk tidak berfikir monolitik.

“Jika kamu menulis tentang konflik berlatarbelakang etnis dan primordial, kamu akan mendekati obyektif ketika ruang redaksi memiliki latar belakang yang beragam. Tak itu perbedaan etnik maupun agama,” saya memberikan contoh kepada Anik. Mahasiswi Sastra Inggris semester delapan ini manggut-manggut. Obyektifitas bukan tujuan jurnalisme. Orang akan lintang pukang untuk bisa bersikap obyektif. Malahan, akan cenderung utopis jika obyektifitas dipaksa dijadikan tujuan dalam jurnalisme. “Yang bisa kita lakukan hanyalah mendekati obyektif. Caranya, dengan disiplin verifikasi, selalu nggak puas dengan fakta yang sudah didapat.”

Saya hanya ingin memberi tahu Anik, juga Fajar, Dilla, Galeh, Laras, Febby, Amanda, dan teman-teman peserta pelatihan menulis yang lain, bahwa menulis yang bagus memang tidak mudah. Dengan kesadaran itu kita terpacu untuk bersungguh-sungguh dan berusaha keras melakukannya.

Setelahnya, baru kamu bisa menari dalam kata-katamu sendiri. Yuuk, latihan njoget…
Nang ning nong ning nang ning gungg…