Kamis, 23 Desember 2010

Sepotong Jumat di Cut Mutiah







Om..koran, Om..gopek..!”

Bocah laki-laki yang belum genap tujuh tahun itu menyodorkan lipatan koran bekas kepada saya. Bercelana hitam selutut dan kemeja batik warna biru pudar, copot satu kancingnya. Menampakkan bulatan pusarnya. Di tas sekolah bergambar Spiderman, masih menumpuk lipatan koran bekas yang dibanderol gopek (Rp 500,-) per “eksemplar”.

Fuad namanya. Mengaku berumah di Gang Ampiun, tak jauh dari Pasar Cikini, Jakarta Pusat. Saban jum’at, Fuad jalan kaki sekitar tiga kilometer dari rumahnya menuju Masjid Cut Mutiah. Keluar Gang Ampiun, Fuad menyusuri Jalan Cikini Raya, persis di depan Stasiun Cikini. Kaki kurusnya segera saja menapaki trotoar menuju kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM). Di emperan nan jembar depan TIM, kawan “seprofesi” Fuad telah menunggu. Tak genap limabelas menit jalan kaki, mereka sudah berhadapan dengan Masjid Cut Mutiah yang kuno dengan cat dominan putih.

Koran-koran bekas, tiap lipatan berisi rata-rata dua lembar (4 halaman koran) itu dipakai alas duduk orang-orang yang akan salat jum’at di beranda masjid yang dulunya bekas kantor Mister Pieter Adriaan Jacobus Moojen, nun lebih tigabelas dekade silam. Entah, sudah berapa penggal jumat saya habiskan di sini. Ini memang salah satu lokasi jumatan yang nyaman dan terdekat dengan kantor saya. Selain di masjid belakang Kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Biarpun sudah membawa sajadah dari kantor, saya terima juga tawaran Fuad. Selembar uang seribuan bertukar dengan koran bekas. “Makasih, Om!,” balas Fuad Datar. Perawakannya yang ceking lantas menghilang diantara kerumunan orang. “Koran, Om.. Cuma gopek..!”

Ada lusinan bocah sebaya Fuad di pelataran masjid itu. Selain koran bekas, sebagian menawarkan potongan kertas kecil bertulis angka-angka. Ini untuk pengunjung masjid yang enggan menanggung resiko pulang salat jumat dengan kaki cakar ayam. Sandal atau sepatu sama belaka ongkos titipnya, seribu perak. Rak-rak kecil tempat menyimpan sandal dan sepatu tersusun rapi di bawah tangga masjid.

Berapa kira-kira turn over jasa penitipan sandal dan sepatu itu? Jika limaratus pasang sandal dan sepatu saja yang diparkir di sana, ada perputaran uang setidaknya Rp 500 ribu setiap jumat. Ini belum termasuk lebih tigaratus sepeda motor yang ongkos penitipannya Rp 2.000. Saya belum tahu, bagaimana mereka membagi-bagi kue “bisnis”nya. Berapa persen pula yang masuk ke kas masjid.

Di masjid-masjid yang menggelar salat jumat lazimnya akan kembali sepi begitu ritual usai. Sebaliknya, keramaian masjid berarsitektur Art Noveau ini justru mencapai puncak setelah imam salat jumat menyudahi rakaat terakhirnya. Mugkin lebih limaratus orang menghambur keluar dari ketiga lantai yang bisa dipakai salat. Menuruni anak-anak tangga nan sempit. Angin semilir menampar wajah melalui jendela-jendelanya yang lapang.

Di beranda masjid, hampir tak ada sudut yang tersisa dari serbuan lapak-lapak kecil yang digelar seadanya. Di beranda depan, di sisi kiri dan kanan, hingga luber di sepanjang jalan Cut Mutiah. Persis di halaman depan masjid, tingkat okupasi pedagang tiban terhadap ruang publik itu hampir paripurna. Jika anda tengah melongkok pedagang pisau pemotong aneka sayuran jangan kaget jika saat bersamaan pantat anda bersinggungan dengan pantat pengunjung yang tengah menyimak promosi penjual minyak pelebat jenggot.

Di emperan depan yang sedikit lebih luas dari lapangan basket, saya mencatat ada lebih dari 30 pedagang tiban. Macam-macam barang dijajakan di sana. Mulai dari pakaian anak, VCD bajakan, es cendol, klep pengaman tabung gas, obat sakit gigi, minyak lintah, hingga tahu gejrot.

Dipilih ! Dipilih! Dipilih..!” teriakan itu bersahutan dari satu lapak ke lapak lainnya.

Siang yang pikuk. Biarpun tak beli apapun, saya suka saja salat jumat di pasar, eh, Masjid Cut Mutiah. Malahan lebih nyaman duduk beralas koran atau sajadah sembari menunggu dimulainya shalat jumat di emperan masjid yang bisa menampung seribuan jamaah itu. Juga karena beberapa pokok angsana dan palem botol yang tumbuh meraksasa menghadirkan hawa silir tak terkira. Tajuknya rimbun, puluhan burung senang nangkring di sana. Bersiul. Juga buang kotoran dan menimpa tubuh atau kepala orang-orang yang ada di bawahnya. Pluk!


Sepotong ingatan saya, inilah beberapa komoditas yg dijual di halaman masjid Cut Mutiah, saban jumat :

1. Kemeja casual dan batik ( Rp 30 ribu – Rp 75 ribu berbagai merk)
2. Jam tangan aneka merek (mulai Rp 25 ribu. Jam Casio G-Shock yang di dealer resmi paling murah di atas Rp 400 ribu, di sini cukup Rp 80 ribu! Jangan konfrontasi soal asli tidaknya sama Si Abang bakul jam)
3. CD/VCD/DVD bajakan (Rata-rata Rp 5 ribu sebiji. Ketika Film “Eat, Pray n Love” yang setting pengambilan gambarnya sebagian di Bali itu blom diputar di bioskop, saya mendapati DVD nya beredar di sini. Gambarnya lumayan. Tapi jangan ditiru, nonton DVD palsu! )
4. CD pria (Celana Dalem. Mulai Rp 18 ribu per pack isi 3 potong).
5. Majalah anak (Bobo lawas, Ipin dan Upin, buku mewarnai, Rp 5 ribu isi tiga buku)
6. Batre hape ( belum pernah tanya harganya)
7. Kartu perdana dari beberapa operator telpon (Mulai Rp 5 ribu. Penjual dengan armada bermobil di luar kompleks masjid pramuniaganya biasanya cantik-cantik)
8. Minyak urut plus jasa pijat (Mulai Rp 10 ribu. Plus pijat tambah ongkos semau si pemijat. Lihai si Abang Pijat ini, sambil jualan dan klaim aneka manfaat, jari jemarinya yang kekar sibuk mengurut bagian tubuh “pasien” pria yang telanjang dada. Anehnya, sering saya dapati dari jum’at ke jum’at “pasien” yang diurut sama belaka )
9. Minyak lintah (Diklaim manjur untuk rupa-rupa sakit kulit, Rp 20 ribu per botol)
10. Kacamata terapi (warna-warni dengan lubang garis horizontal mirip teralis jendela kaca nako, Rp 25 ribu sebiji)
11. Ayam-ayaman pegas (Rp 10 ribu seekor. Warna dominan kuning ayam dan coklat ayam. Dari pengalaman saya beli dua kali untuk anak saya, sistem mekanik pegasnya sangat tidak awet. Sepuluh kali putaran biasanya si ayam mogok jalan)
12. Pisau dapur ( Si Abang biasa demo ketajaman si pisau dengan memotong lembaran koran. Tak jelas apakah ini pisau dapur atau pisau kertas. Mulai Rp 5 ribu sebuah)
13. Tahu gejrot (Rp 5 ribu per porsi. Ini favorit saya. Pas legit kuahnya dengan aroma bawang dan tekstur cabai rawit yang kuat.)
14. En cincau ( Rp 3 ribu segelas)
15. Kue rangi (Rp 5 ribu sebungkus isi 8 potong)
16. Gemblong manis ( Beli berapa biji saja boleh, Rp 5 ribu sebungkus isi 8. Mutu ketannya kurang bagus, kemungkinan besar dicampur tapioka).
17. Juadah bakar (Rp 1.000,- sepotong. Enak dimakan agak sedikit gosong. Menyamarkan kurangnya porsi tepung ketan)
18. Air nira dalam tabung bambu (Rp 3 ribu segelas)
19. Obat-obatan pabrikan aneka merk (obat china juga jamu jawa. Belom Tanya harganya)
20. Celana jeans dan pantaloon (mulai Rp 65 ribu)
21. Sabuk kulit sintetis (mulai Rp 25 ribu termasuk ongkos menambah lubang sabuk . Salah satunya saya pakai hingga sekarang dan belum ada tanda kerusakan hingga tiga bulan terakhir)
22. Sandal karet dan plastik (mulai Rp 15 ribu sepasang)
23. Sepatu kulit (mulai Rp 45 ribu)
24. Sarung hape ( Rp 10 ribu)
25. Casing hape ( Tidak pernah tanya harga. Hape saya awet bertahun tak pernah ganti)
26. Kredit mobil Suzuki (DP Rp 20 juta saja, angsuran mulai Rp 2,5 juta/bln)
27. Kaus dewasa dan anak (mulai Rp 10 ribu)
28. Pompa angin manual (bola, sepeda, sepeda motor, mulai Rp 15 ribu)
29. Kacamata baca (mulai Rp 10 ribu)
30. Perlengkapan sulap (belum pernah tanya harga, tak pernah suka disulap)
Di luar halaman masjid
1. Sate padang ( Rp 8 ribu per porsi isi 8 tusuk. Kuahnya lumayan gurih tapi dan potongan daging satenya lumayan anyep)
2. Celana dalam GT Man ( mulai Rp 25 ribu per pack isi 3 biji. Saya heran kok tak ada GT Woman)
3. Hape murah ( mulai Rp 260 ribu, biasanya BB!)
4. Kredit sepeda motor (mulai Rp 460 ribu/bulan tergantung nominal DP)
5. Burung dan kelinci (harga mulai Rp 50 ribu/ekor, burung pentet. Kelinci lokal asal Bogor mulai Rp 25 ribu seekor. Pecinta burung jangan kesini karena akan dibuat sedih melihat kemasan pembungkus burung yang serupa kantung gorengan dengan sejumlah kecil lubang ventilasi)
6. Rujak potong dan buah iris (Rp 2 ribu sepotong buah, rujak iris Rp 7 ribu seporsi)
7. Bakso Malang (Rp 7 ribu semangkok)
8. Gudeg Jogja (tak pernah niat tanya harga, sebab selalu dibuatkan Emak jika kebetulan pulang kampung)
9. Laksa Bogor (Rp 6 ribu seporsi dengan tahu putih besar, serpihan oncom yang gurih plus harum daun kemangi. Salah satu favorit makan siang saya usai jumatan. Sayang, air untuk cuci mangkoknya kurang terjaga kebersihannya. Satu ember 10 liter dipakai mencuci lebih dari dua lusin mangkok).
10. Lapak –lapak lainnya niscaya luput dari pandangan mata saya..