Senin, 08 Maret 2010

“Bermain Api Gosong, Bermain Ular…Sioux!”



Tanpa permisi, sosok memanjang dan bergaya gemulai itu dengan percaya diri menyelinap melalui sela-sela jeruji besi pintu gerbang, mengarah ke beranda samping rumah. Tampangnya boleh juga, kombinasi warna kuning muda, cokelat tanah, hitam dan putih susu. Mozaik warna yang tak saya ketahui nama motif dan desainernya. Tak sopan memang, main slonong begitu saja. Tapi untuk sekedar mendekat dan say hello atau malah sekalian mengusirnya agar minggat, saya kurang bernyali. Lah, wong si gemulai itu, tak lain dan tak bukan adalah seekor ular phyton! Hrrr… Panjangnya saja tak kurang dari tiga meter. Itu artinya, panjang tubuh pebasket NBA dari klub Houston Rockets yang kondang itu, koh Yao Ming, yang menjulang dengan 2,34 meter masih kalah panjang dan gemulai dari Si Phyton yang median tubuhnya bergaris tengah mencapai sekitar delapan senti. Digebuk saja? Ah, secantik dan semontok itu? Teganya, teganya!

Oops..! Tahu aksinya tak terusik, memaksa saya membayar akibatnya. Ceritanya, dari beranda samping rumah, Si Phyton melata masuk ke pintu samping rumah. Berbelok menuju kamar mandi, persis ketika asisten rumah tangga kakak saya, sebut saja namanya Manoharum, tengah asyik mencuci pakaian sembari berdendang riang. “Marilah mencuci…hei..hei..heii, nyuci sambil nyanyi hei..hei..heii..,” lagaknya Titik Puspa di panggung Aneka Ria Safari TVRI. Begitu Si Phyton menampakkan diri di hadapan Mano yang hanya mengenakan celana pendek ketat, nyanyiannya sontak berubah jadi histeria. “ Hei!, Ula!..Ula!..Ula! Tuoloong..!” pekiknya tanpa sempat menyembunyikan logat tegal nya yang kental. Mano melonjak-lonjak menghambur keluar kamar mandi masih dengan sekujur lengan dan tubuh penuh cemong busa sabun.
Mendengar itu, kakak perempuan saya yang berada di ruangan berbeda tergopoh menuju sumber keributan. Eh, alih-alih menghibur Mano yang pucat pasi, kakak saya malah ketularan panik dan berteriak sejadi-jadinya. “Tuoloong…!” Alhasil, kampung di salah satu ruas Jalan Cagaralam, Pancoranmas, Depok itu pun jadi heboh. Berduyun tetangga dan orang yang melintas di jalan menengok, lantas masuk ke halaman rumah. Mungkin, siang itu ada lebih dari dua lusin orang yang datang.
Kegaduhan itu berdampak buruk, menjadikan Si Phyton panik. Ia lantas ngeloyor menuju toilet yang terletak bersebelahan dengan kamar mandi. Sepertinya ia ingin keluar, sementara lorong menuju pintu keluar sudah dipenuhi warga. Si Phyton malang terjebak, memaksa masuk dalam lubang toilet. (Waduh! Bau lah, Phyt!)
Beberapa orang mulai mendekat dan masuk ke toilet yang lubang (maaf) tinjanya sudah disusupi kepala ular. Rupanya kepala ular keras kepala itu tersangkut dalam rongga toilet. Macet!

Buat mengatasinya, mula-mula beberapa orang menggelitik bagian-bagian tubuh si ular. Dikiranya, jika syaraf gelinya terstimulasi ia akan memutuskan keluar dengan sukarela sembari terkekeh-kekeh kegelian, lantas menyerah. Eh, tak semudah itu. Tetap saja si ular keukeuh enggan keluar. Seorang warga yang tampaknya cerdas lantas mencari cara lain dengan menepuk-nepuk agak keras beberapa bagian tubuh ular. Pikirnya, jika dikitik-kitik tidak kegelian mungkin kalau ditampar-tampar si ular akan menjadi tahu diri dan sadar akan perbuatannya yang memalukan. Hasilnya? Gagal total! Skor 2 – 0 untuk ketabahan hati Si Phyton yang memilih semedi dalam kloset. Entah gemas atau jengkel, beberapa orang mulai hilang kesabaran dan menarik paksa tubuh si ular. “Potong aje lehernya, gelontor kepalanya pake aer, beres!” seru seorang warga yang mulai terserang penyakit syaraf nomor tiga likur saking putus asanya. “Jangan, jangan, kesian,” sergah yang lain. Alot! Skor pun berubah lagi menjadi 3 – 0, lagi-lagi untuk kemenangan Si Phyton! Hmm, gemulai-gemulai ternyata tangguh juga dia. Saya sentuh tubuhnya, hangat dan lembut. Sisiknya berkilau ditimpa cahaya lampu kamar mandi. Beberapa bagian permukaan kulit di dekat leher tampak lecet-lecet. Mungkin akibat ditarik paksa oleh warga yang kurang tahu dan rendah rasa 'peri keularannya'. Saya jelas salah satu dari yang paling merasa bersalah. Tak bisa berbuat apa-apa. “Emphaty is not enough!,” pekik pawang reptil beken asal Australia (almarhum) Steve Irwin, sembari lengannya yang kekar memiting leher seekor buaya bandot bergigi tonggos.

Tampaknya warga mulai hilang akal, dan itu menular. Setelah dengan terpaksa kakak saya mengijinkannya, menggunakan linggis dan palu godam, kloset diputuskan dibongkar. Sungguh keputusan yang demokratis diktatorial plus tengil tak ketulungan!
Setelah selama sekitar setengah jam yang menegangkan, evakuasi yang ekstra ngawur itu pun berhasil menjebol kloset sekaligus gagal mengeluarkan kepala si ular dari lubang tinja. Empat orang dengan tergopoh menggotong tubuh si ular yang berkalung kloset keluar kamar mandi dalam keadaan masih hidup. Entah, di bawa ke mana phyton malang itu selanjutnya. Yang jelas, kami harus membayar mahal untuk itu : kloset yang jebol dan harus diganti serta sirnanya kesempatan untuk menyelamatkan Si Phyton dari kemungkinan terburuk. Ini semua akibat ketidaktahuan saya dalam memperlakukan dan menangani ular. I’am sorry, bebe…

***

…Tau Terminal Lebak Bulus, kan? Terus aja, sbelum UIN Syarif belok ke kiri ke kampung utan. Tanya aja lokasi Pulau Wisata Situ Gintung…

Pesan singkat itu mampir ke telepon genggam saya, di malam akhir pekan 6 Maret lalu. Pengirimnya Timmi, Koordinator Diklat Sioux. Belakangan saya tahu, Timmi sesekali dipanggil rekan-rekan Sioux dengan sebutan Timothy. Lain waktu dipanggil Timun. Wajahnya memang belum setampan Timothy Dalton (salah satu pemeran James Bond yang playboy itu). Tapi juga terlalu manis untuk diberikan begitu saja pada Sang Kancil, karakter dalam dongeng pengantar tidur yang gemar mencuri dan melahap timun Pak Tani tanpa pernah merasa bersalah sedikitpun. (ctt : Bang Timmi, Peace..!)

***

Alhamdulillah, hasrat untuk bisa belajar memperlakukan dan menangani ular secara baik dan benar, di habitatnya di alam terbuka maupun yang slebor main slonong masuk rumah orang, baru kesampaian pada 7 Maret lalu. Itu artinya sekitar lima tahun setelah peristiwa ular phyton berkalung sorban eh, kloset, berlalu. Tak ada kata terlambat!

Lewat sebuah acara bertajuk Basic Training Muscle (BTM) Sioux, di kawasan Pulau Situ Gintung, Cirendeau, Ciputat, saya memulai proses pembelajaran yang menyenangkan. Bersama lebih dari dua lusin peserta lainnya yang datang dari Jabodetabekdung, saya dan teman-teman sama sekali tak berniat jadi pawang ular. Istilah “pawang” dalam konteks ‘sosiologis-klenik’ nya memang coba dihindari atau setidaknya direduksi, setidaknya untuk membedakannya dengan stigma “pawang” yang telanjur kental dengan irasionalitas atau serba “magic” di khalayak awam (biarpun juga tak berniat untuk berbenturan).

Jika boleh beranalogi, Sioux ibarat Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), yang menganalisis gejala dan unsur-unsur cuaca untuk memprediksi cuaca itu sendiri. Adapun Sioux, berikhtiar menganalisis unsur-unsur biologi, fisik, ekologi dan bahkan psikologi ular agar perlakuan dan penanganannya tak salah kaprah seperti kasus phyton malang di awal cerita. Karena itu, unsur-unsur berupa kembang atau kemenyan tak ditemukan dalam setiap “ritual” Sioux.
“Persepsi masyarakat tentang ular masih cenderung negatif. Efeknya, saking dekatnya interaksi ular dengan manusia, kalau ketemu cenderung dibunuh. Ular identik dengan bahaya dan stigma buruk lainnya. Itu karena kurangnya pengetahuan manusia. Bukan salah ularnya, loh!,” Terang Boim Pengembara, salah seorang awak Sioux dalam pengantarnya.

Berdiri pada 23 November 2003, Sioux menabalkan diri sebagai organisasi terbuka yang bergiat dalam edukasi dan sosialisasi penanganan ular secara benar. Kata Sioux sendiri, bagi penggemar film-film wild west mungkin cukup familiar. Diametral dengan istilah Cherookee, Mohawk, Mohicans, atau Dakota, menyebut beberapa nama Suku Bangsa Indian di Amerika Utara, yang kini hanya tinggal nama (juga merk mobil dan gaya rambut). Sioux dalam khazanah setempat bisa bermakna ular. Bisa jadi Suku Sioux memang memuliakan ular. Saya belum sempat menggali lebih jauh literaturnya.

Ijtihad “memuliakan” ular a la Sioux ini jelas bukan gawe main-main. Personel Sioux yang terdiri dari beragam latar belakang itu memang tak mungkin merasa cukup dengan wawasan dan ilmu tentang ular yang terus berkembang. Biarpun begitu, dalam usianya yang belum genap satu dekade, benih-benih yang dengan susah payah disemai mulai tumbuh dan bahkan berbuah. Apresiasi khalayak mulai terlihat. “Terus terang kami tak menyangka Sioux bisa seperti sekarang. Sioux dulu hanya digawangi empat orang,” ujar Irwan, salah satu pendiri dan kini Ketua Umum Sioux 2009-2011. Irwan yang berlatar belakang pendidikan accounting itu semula mengaku tak tahu menahu dan tak tertarik pada ular. "Mengapa muscle? Kami ingin Anda menjadi otot penguat bagi Sioux dalam menjalankan visi dan misinya," imbuh Irwan."Dan saya berharap Anda tidak memperjualbelikan ular". Too well!

Buah manis usaha Sioux juga bisa berupa seringnya frekuensi ekspose dari media massa elektronik dan cetak dalam beragam mata acara. Sebut saja “Jejak Petualang” (TV7), Expedition (Metro TV), hingga “Laptop Si Unyil” (TV7), adalah beberapa acara TV yang sering melibatkan Sioux. Ekspose ini dinilai perlu dalam strategi branding. Popularitas Sioux perlahan ikut terkerek naik. Undangan untuk mengisi acara dan program edukasi pun mengalir dari berbagai daerah. Dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dari kalangan pecinta alam, institusi militer hingga taman kanak-kanak. Apresiasi dan capaian yang patut disyukuri.

Sejatinya, apresiasi yang tulus juga tumbuh dari khalayak awam seperti peserta BTM Sioux yang hadir minggu awal Maret itu. Bukan hanya melalui sorotan kamera televisi yang mau tak mau, lambat atau cepat, bersinggungan dengan komersialisasi dan komodifikasi.

Simak beragam motif mereka untuk belajar tentang ular melalui BTM Sioux. Seorang perempuan guru Bahasa Inggris ,misalnya, mengajak dua keponakannya yang berusia 15 dan 11 tahun untuk turut serta. “Saya cuma ingin mengajak keponakan saya ini untuk melakukan kegiatan positif tapi tidak (berkesan) pamer. Ini daripada mereka, juga saya, keluyuran di mal !,” ujarnya lugas. Lain lagi dengan seorang peserta laki-laki yang tampaknya pendiam “ Saya takut ular. Dan saya punya saudara yang meninggal akibat gigitan ular. Saya tak mau jadi korban berikutnya,” ujarnya nyaris tanpa ekspresi.

Satu persatu peserta maju memperkenalkan diri dan memaparkan motivasi mereka bergabung dalam BTM Sioux. Termasuk beberapa muka lama Muscle Sioux yang terbilang sudah akrab dengan ular. Lany misalnya, perempuan paruh baya yang tinggal di Taman Wisma Asri, Bekasi ini, membawa serta Dimas yang masih berusia belasan tahun. “Saya baru saja berkonflik dengan warga di sekitar kompleks akibat ketidaktahuan mereka tentang ular. Mereka mengultimatum agar ular-ular yang saya tamping di rumah dibuang!,” imbuh perempuan penyuka kegiatan alam terbuka itu ekspresif. Hmm, menangani ular ternyata bukan perkara interaksi zoological belaka, bahkan sampai ke ranah (konflik) sosial.

Ketika jeda makan siang, Lany sempat berujar kepada saya, bahwa oknum-oknum tertentu di kompleks perumahannya memang tampak provokatif, merekalah yang diduga takut ular. Lany menengarai, “polemik ular” melulu hanya sasaran antara dari target sesungguhnya yang Lany sendiri mengaku tak tahu secara pasti. “Saya kan menampung dan merawat ular sudah lama, lah kok ribut-ributnya baru sekarang. Aneh kan?,” ujarnya masgul.

Acara BTM Sioux sendiri berlangsung menarik dan jauh dari membosankan. Dikemas dalam suasana cair, interaksi egaliter. Sederhana tapi terukur. Acara yang dimulai pukul 08.30 hingga berakhir pukul 17.15 itu serasa hanya bergulir dua jam saja. Mengasyikkan sekali.

Pelajaran Biologi Ular misalnya, cukup menyita waktu terkait banyaknya lontaran pertanyaan dari peserta. Dipresentasikan oleh ‘Gonyosoma’ Iil, materi pertama itu berupa pengenalan singkat morfologi dan anatomi ular. Organ dan sistem organ. Dari system respirasi, digesti, sekresi hingga reproduksi. Beberapa terminologi dalam sesi ini cukup saya akrabi. Kebetulan, ketika kuliah di Yogya lebih dari sepuluh tahun silam, selama tiga tahun saya sempat jadi co. assisten di laboratorium Biologi Umum. Dalam praktek pengenalan anatomi biasanya saya menemani adik kelas melakukan pembedahan aneka satwa dan mencandra organ dan sistem organ tubuhnya. Lazimnya pembedahan dilakukan pada hewan mamalia (binatang menyusui), reptilian, juga Aves (bangsa burung/unggas). Saya paling tak tega jika harus mengeksekusi seekor marmot nan lucu atau burung puyuh dengan memasukkannya dalam stoples yang di bagian dasarnya berisi segumpal kapas yang dibasahi kloroform sebelum selanjutnya membedah mahluk-mahluk tak berdosa itu dalam kaidah teknik yang dingin dan baku. Tapi lama-lama saya jadi biasa juga. Biarpun untuk keperluan ilmiah tetap saja bagi saya itu serupa penjagalan. Saya berharap Tuhan mengampuni dosa-dosa saya. Akan halnya membedah ular, saya belum pernah dan semoga saja tidak akan.

“Ular bereproduksi dengan tiga cara, melahirkan (vivipar), bertelur (ovipar) dan ovovivipar. Yang disebut terakhir ini ‘mengerami’ embrio telurnya di dalam tubuh sampai mature, kemudian melahirkannya layaknya vivipar,” ujar Iil menerangkan. Perempuan berjilbab jebolan Fakultas Kedokteran IPB 2002 ini adalah mantan Ketua Umum Sioux beberapa periode sebelumnya. Entah karena presenternya yang cantik atau memang materi presentasinya yang dirasa urgen, pertanyaan pun datang bertubi. Mulai dari fenomena ular berkepala dua, membedakan ular jantan dan betina, hingga bagaimana ular berkopulasi (berhubungan suami istri ular).

“Mbak, bagiamana dengan ular yang makan tubuhnya sendiri. Saya pernah melihat ada ular makan tubuhnya sendiri mulai dari ekornya,” pertanyaan surprise ini datang dari seorang peserta berambut a la Giring Nidji.

Wah, itu mah ular bunuh diri!,” celetuk peserta lainnya disambut tawa yang lain. Tapi Si Giring, eh, si penanya, tetap serius dengan pertanyaannya. “Mmm…kalau ular makan ular (kanibal) memang ada, tapi kalau ular yang makan tubuhnya sendiri sampai sekarang saya belum menemukan referensinya,” Iil mencoba berterus terang.

Hmm, ada-ada saja, ular kok harakiri.

Setelah sesi diskusi kelompok, sesi praktek penanganan ular menjadi salah satu atraksi yang menarik sekaligus mendebarkan. Diperagakan oleh kru Sioux yang berpengalaman, beberapa teknik menangkap ular diperlihatkan. Nurdin Jabrik misalnya, salah satu snake handler Sioux andal ini memperagakan teknik “bergaul” dengan seekor ular kobra. Jabrik cukup gampang dikenali lewat sejumlah posenya ketika mencium King Cobra. “Butuh keterampilan, keberanian khusus dan latihan kontinu untuk bisa melakukan hal semacam ini,” papar Jabrik.

Sesi berikutnya adalah cara menangkap ular. Ini tergantung lokasi ditemukan dan jenis ularnya. “Cara ini seperti matador di Amerika, eh, Spanyol,” Papar Rudi “Idur” Rahadian salah satu kru Sioux sembari tangannya meraih karung berbahan katun seukuran kantung kemasan tepung terigu. Bisa juga menggunakan selembar kain. Seekor Phyton reticulus sepanjang empat meter dan berdimater tubuh bagian tengah mencapai sepuluh senti dilepaskan dari kantung pembungkusnya. Hmm…agresif dan galak juga. Ketika Jabrik memegang ekornya kepala Si Phyton berusaha memburunya sembari bersiap mematuk. Jika kepala ular mengarah ke kanan Jabrik lantas berputar kekiri, begitu pula sebaliknya. Di depan, Idur bersiap dengan karung yang diregangkan di kedua sisi atas kiri dan kanan dengan kedua tangan. Jari-jari tangan agak dilipat ke sisi dalam untuk menghindari patukan ular. Sisi bawah kantung terigu atau lembaran kain sedikit ditekan menggunakan ujung kedua kaki sehingga kantung/kain matador tampak teregang merata. “Jika ularnya berukuran besar seperti ini, tak dianjurkan menangkapnya sendirian,” imbuh Idur mewanti-wanti.

Dengan perlahan dan tenang Idur lantas mengecilkan elevasi bentangan kain dari semula vertikal terhadap permukaan tanah menjadi diagonal dan secara perlahan sejajar tanah menutup seluruh kepala ular. Happ! Dalam hitungan detik kepala ular telah berada dalam genggaman (lihat foto).

Ular juga bisa ditangkap dengan tangan terbuka maupun dengan bantuan tongkat jika terutama untuk ular berbisa tinggi. Diluar pengetahuan karakter dan type ular, dibutuhkan ketenangan dan keyakinan yang kuat agar ular bisa ditangkap dengan benar dan aman. "Yang pasti selalu ingat STOP. Silence, Think, Observe, dan Prepare," kembali Boim Pengembara buka suara. Ini langkah standar untuk menghadapi ular. "Waspada dan jangan bunuh ular!"

Hmm, inilah saatnya! Jika sehari-hari saya hanya mampu mengelus-elus lima ekor kura-kura peliharaan saya, inilah waktunya mencoba menangkap ular yang ukurannya dua kali lipat dari Si Phyton yang menyatroni kloset di rumah saya nun lima tahun silam. Dengan tangan kosong tentunya. Karena beberapa peserta yang mencoba terlihat sukses melakukannya, nyali saya pun ikut naik berlipat. Antusias malah.

Dan…hihuu!, syukurlah saya bisa melakukannya. Saat itulah, rasa geli atau ketakutan saya pada ular mendadak sirna. Ah, mungkin hanya berkurang saja. Plus rasa sayang pada ular mulai bersemi di hati. Engg…ingg…eeengg…!

“Kendurkan dulu pegangannya, rahang atas dan bawah diratakan begini,” ujar Bang Oney merapikan latihan menangkap phyton galak pertama saya hari itu. Ya, saya juga merasakannya, pegangan saya masih terlihat kaku dan terlalu keras menekan kepala dan leher si phyton. Tapi saya cukup senang dengan latihan saya hari itu. Pikiran saya lantas melayang, seandainya saya lebih tenang dan terlatih lima tahun lalu, mungkin kloset di rumah saya masih aman sampai sekarang, dan saya punya ular phyton baru tanpa perlu memeliharanya dari orok atau membelinya dari pengepul mata duitan.

***

Semburat matahari senja mengulas epidermis ranting-ranting angsana. Pelepah Cocos nucifera berkesiur disapu angin, bersiul.

“Makasih banget, Bang. Terus terang saya belum puas. Masih banyak hal yang pengen saya tahu dan butuh saya latih,” kata saya sembari menjabat erat tangan Timmi. Jabat erat penuh rasa terimakasih juga saya sodorkan pada kru Sioux lain. Mbak Iil, Riri Goddes, Qim, Bang Oney, Bang Irwan, Nurdin Jabrik, Idur rahadian, Boim Pengembara, Icha Cebong, semuanya. Juga rekan-rekan BTM Sioux yang sejak hari itu akan menjadi sahabat-sahabat baru saya. “Jangan lupa kontak FB, Mas,” papar Sigit dan Abdul Basith. “Wah, kamu dah mulai keracunan uler tuh,” celetuk Denny Rudini, rekan peserta yang berasal dari Cimanggis, Depok. “Hehe..lihat saja,” balas saya sembari berjanji suatu saat akan mampir ke rumahnya melihat ular peliharaannya.
Senja itu hati dan pikiran saya terasa penuh. Penuh yang nyaman, dan terus saya nikmati sensasi itu dengan mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan santai sepanjang Ciputat menuju Depok.

***

Tiba di rumah lewat maghrib, sosok kecil dengan senyum jenaka itu sudah menunggu. “Huh, gak enak seharian gak ada Ayah,” ujarnya dengan bibir agak cemberut. Saya peluk bocah kecil itu. Sungguh, saya tak sabar untuk mentransfer pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat barusan ke tubuh mungil dalam pelukan saya itu. Saya berjanji akan mengajaknya serta di event-event Sioux selanjutnya.

Malam itu, agar tak disebut pulang dengan tangan hampa, saya memilih mengawalinya dengan mengajarkan tepuk ular pada Qen Ghifary Wisanggenie, putra saya yang akan genap lima tahun akhir april mendatang. “Tepuk ular…plok!-plok!-plok!, panjang…plok!-plok!-plok!, bersisik…plok!plok!plok!, berbisa…plok!plok!plok!, blep blep blep… (menjulurkan lidah maju mundur)”. Hehe…mata Qen berpendar girang. “Lagi, Yah! Lagi, Yah!.,” ujarnya dengan raut muka penasaran minta diajari. Mudah-mudahan guru TK nya tak ketakutan nanti. Tapi, jika toh akhirnya Tepuk Ular akan dicantumkan dalam kurikulum tambahan di TK Qen kelak, saya akan minta gurunya agar mengurus izin ke Sioux sebagai pemegang hak cipta Tepuk Ular yang menggelikan tapi cihui itu. Blep blep blep..!