Rabu, 26 Mei 2010

Interview With "The Climate Hero" Hehe..


Tri Mumpuni Wiyatno
Social Entrepreneurs

“Banyak Orang Pintar yang 'Minteri'”

“Inilah, The Republic of Indonesia, Mas!, ujarnya dengan mata separuh mendelik dan jari telunjuk menuding wajah saya. Saya tersenyum, dia nyengir. Ceplas-ceplos ketika bertutur soal ironi di republik ini. Mimiknya ekspresif, kadang jenaka. Postur kelahiran Semarang 44 tahun silam itu boleh mungil, tapi jangan tanya kiprah dan energinya yang seperti tak pernah kehabisan “batre”. Ia membantu ribuan desa memberdayakan ekonominya melalui program energi mandiri. Karyanya diakui PBB, lantas mendapuknya dengan gelar “Climate Hero”. April kemarin di Washington, bahkan, Uncle Barrack memujinya sebagai sosok perempuan Social Entrepreneurs jempolan yang banyak menawarkan perubahan. Buah pemikiran dan aksi perempuan energik ini diterapkan dan berguna bagi masyarakat udik Cicemet, pedesaan Beijing hingga Dubrovnik di Kroasia. Saya lantas mengajaknya bercakap seusai menjadi pemateri sebuah seminar di sebuah hotel di Jakarta, akhir Februari silam. Saya suka kesederhanaan dan kerendahan hati perempuan yang akrab disapa Bu Puni, itu.


Bu Puni, ngapain sih sampeyan repot-repot ngurusin listrik di udik-udik. Kan dah ada PLN? “Kendaraannya” apa?

Masyarakat harus mandiri energi. Sebagian besar saya menggunakan wahana koperasi. Saya tidak punya tendensi pada orang-orang yang merusak koperasi. Saya ingin membuktikan. Saya pencinta Bung Hatta, saya membaca bukunya sampai mendapat ide-ide. Jadi, sebenarnya prisnip-prisnisp koperasi Hatta diikuti dengan benar dan juga koperasi yang benar maka Indonesia itu gampang dimakmurkan.

Sedikit pengetahuan saya, banyak juga koperasi yang jeblok. Piye, Bu?
Lah! Lah ! Persoalannya sekarang itu kan, seakan-akan koperasi itu pekerjaannya pemerintah. Kemudian orang-orang yang nggak benar bikin koperasi agar gampang korupsi dari situ, inilah yang merusak nama koperasi. Makanya saya ubah, bahwa koperasi itu alat yang bagus. Sapujagat untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Geto loh, Mas..!

Nggak “disetrum” PLN? Jadi kompetitor, kan?
Nggak. Karena kami mengurusi listrik mikro hidro, pelan-pelan. Jika anda melihat koperasi di Cintamekar, Jawa Barat, bagaimana pengurusnya mempunyai power, bisa amanah. Jadi, yang terpenting bagaimana memilih orang yang bermoral. Itu pelan-pelan. Orang takut dengan agama , dia punya komitmen bahwa hidup ini cuma sebentar, kalau mati tak membawa duit.

Idealnya menurut Anda?
Pengurus (pemimpin) harus benar-benar dipilih oleh rakyat. Dipandang oleh rakyat sebagai orang yang punya amanah. Ini terjadi karena pemilihannya yang bersih dan bagus. Saya juga melibatkan semua stakeholder atau teman. Contohnya, waktu koperasi di Cintamekar dibentuk, namanya Koperasi Mekarsari. Saya kaget kenapa ada seorang ketua terpilih, padahal dia tidak pintar, ngomong saja susah. Belakangan saya tanyakan kepada warga, ternyata sang ketua itu dianggap jujur dalam segala hal, tak pernah nyolong atau berbohong. Jadi, dia dipilih bukan karena pintar. Orang pintar saat ini banyak yang ‘minteri’ (mengakali) kita. Maka orang seperti kita harus jeli. Nah, antara lain itulah caranya jika hendak mendirikan institusi pemberdaya masyarakat agar benar-benar baik. Yang hancur itu karena ulah segelintir orang yang tak benar. Gak genah.

Kunci sukses leadership ideal menurutmu gimana, Bu?
Kunci sukses itu orang yang punya visi membangun dengan hati untuk rakyat itu menjadi pendamping yang baik . Tanpa itu omong kosong! Rakyat itu harus dipercaya, dia everybody exchange speaker, semua orang itu adalah agen perubahan. Nah, itu yang kadang-kadang kita nggak yakin. Ini yang harus diyakini, yaummal yakin semua orang itu agen perubahan. Kalau dia tak bisa berubah berarti ada hal-hal yang kurang yang harus kita bantu agar bisa berubah menjadi ke arah yang lebih baik.

Bagaimana dengan peran institusi pemberdaya lain macam LSM, asosiasi dll?
Sama-sama menolong diri sendiri, merubah diri sendiri, sebetulnya sama. Cuma, katanya sih, embordingnya yang berbeda. Tapi intinya sama. Setiap orang itu bisa membantu diri sendiri. Hanya, seperti saya katakan tadi, ada yang bukan karena kesalahan mereka, secara struktural dia sudah dininabobokan. Atau memang dia miskin ekstrim secara struktural, dia miskin segala macem. Jadi kan (kesannya) bodoh. Kayak orang ketiduran, membangunkannya butuh kesabaran, perlu hati, ikhlas. Kalau tidak yah ketemu provokator, tapi jangan putus asa. Di developmentice, itu ibarat sebuah lorong, proses yang kita nggak boleh capek. Harus terus, jatuh bangun-jatuh bangun. Apalagi mendampingi rakyat, harus punya komitmen.

Apa pendapat anda terkait dana-dana pemerintah yang diterima institusi non pemerintah, koperasi, dll dengan alasan sebagai stimulus kemandirian?
Mas, coba anda keliling dulu. Tanya pada koperasi kalau dia mendapatkan (dana) program pemerintah lewat Kandep atau segala macam. Kalau Anda bisa menunjukkan kepada saya, misalnya, jika sebuah koperasi terima uang 100 juta dari pemerintah dan tetap diberikan utuh Rp 100 juta (tanpa ditilep), itu baru bagus. Faktanya? Lihat di lapangan seperti apa.

Anda punya cerita terkait kecenderungan korup di atas?
Tanya juga pada dinas, kalau dinas benar-benar ikhlas tidak melakukan pemotongan sedikitpun, itu baru sukses. Selama ini, saya sering ditelpon, Bu (kami) dibohongi. Memang gue bego apa? Mereka Tanya lagi, Bu, si ini dan itu pernah menyetor uang ke kami. Kira-kira yah, ibu akan mendapat uang Rp 900 juta, tapi ibu setor ke kami dulu Rp 100 juta. Saya banyak ketemu dengan koperasi-koperasi yang ditipu nyetor 1 mobil dan segala macam untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Gimana itu? Kita mau bilang oknum? Yah, nggak mungkinlah. Dari mana orang-orang itu tahu kalau koperasi mau nyebar duit.

Pelajaran apa yang bisa diambil?
Intinya, accountability itu penting. Nah, ini yang kita kekurangan sampai sekarang. Baik di level aparatnya yang kemudian menular ke masyarakat. Muncullah budaya skeptis. Ah, ini kan uang pemerintah, bisa saya habisin lah, wong saya juga sering ditipu-tipu. Iya, kan? Itu Bukan uang pemerintah, itu uang rakyat! Dia (pemerintah) menjalankan amanah. Kalau menjalankan amanah untuk mendiskus uang saja enggak didiskus dengan baik. Nggak amanah, yah jangan harap sesuatu yang diawali dengan yang tidak baik akan sukses. Rasulullah bilang, hasilnya amburadul! That’s Republik Indonesia, Mas!

Betul, betul, betul..! Ooalaah..!

Senin, 03 Mei 2010

Yang Melata di Mata Sang Bocah



“Bagus ya, Kak. Uler apa ni namanya?”
“Sanca batik”
“Oo, batik… Kalo yang coklat ini?”
“Ini ular pelangi. Coba dielus, dipegang…”
“Pelangi ya…”


Wyna, bocah cilik menjelang kelas satu SD itu antusias betul. Matanya yang bening perpendar penuh rasa ingin tahu. Icha Cebong dari Lembaga Studi Ular SIOUX, dengan sabar menjawab semua tanya sang bocah. Mahluk-mahluk melata beraneka motif dan warna. Ruangan berpenerangan temaram di Museum Bank Mandiri, Kota Tua, Jakarta-Pusat, itu memang terlalu remang. Memberi kesan “wingit” pada interior gedung peninggalan Belanda yang masih terawat apik itu.

Tak ada ekspresi takut atau geli sedikit pun tergurat di wajah Wyna yang siang itu datang ditemani adiknya yang belum genap empat tahun, Iwa, dan kedua orangtua mereka. Iwa sama antusiasnya dengan sang kakak ketika Icha memperkenalkan beberapa ular milik SIOUX yang hari itu dipajang. Wyna adalah satu dari ratusan, atau seribuan, pengunjung yang melintas di stand SIOUX. Hari itu Icha ditemani Defry, Bintang, Deny, dan beberapa Muscle SIOUX lainnya.

Pada Sabtu dan Ahad, 17 - 18 April lalu, SIOUX memang berpartisipasi dalam sebuah acara bersama lebih dari tigapuluh komunitas sosial dan lingkungan hidup yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Ada komunitas Bike to Work (B2W), Pecinta Astronomi, Komunitas 1001 Buku, Komunitas Musik, Pegiat Lingkungan, hingga komunitas batik dengan pewarna alami. Acara dihelat tanpa sponsor menjelang peringatan hari bumi. Komunitas-komunitas kecil ini dirasa memberikan energi positif di tengah tumpukan persoalan yang mendera Jakarta. Kemacetan, polusi, sampah, dan banyak lagi. “KumKum: Kumpul Yuk Kumpul! untuk Berbagi dan Berbuat”. Demikian panitia memberi judul acara dua hari yang meriah itu.

Saya datang bersama Qen dan bundanya yang tengah hamil. “Aku pengin lihat ular teman-teman Ayah, pengin pegang-pegang,” ujar Qen dengan mata berbinar. Hampir dua tahun lalu, dalam ajang pameran Flora dan Fauna, ia juga tampak senang bermain dengan ular koleksi sebuah pet shop. Di rumah, reptil peliharaan kami berupa lima ekor kura-kura dari tiga spesies. Qen menyebutnya Robert dan kawan-kawan. Tak ada seekor ular pun.

Dan hari itu, Qen berpuas-puas bermain dengan beberapa ular koleksi SIOUX. Melly Chan, bunda Qen, juga bisa ngobrol dengan sahabat-sahabat saya dari komunitas SIOUX. Melany (Imenk) misalnya, Ibu tiga anak yang tinggal di Bekasi ini selain mengoleksi sejumlah reptil, juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar “menampung” ular temuan yang tak dikehendaki. Atau Dhiyan Savitri, perempuan fotografer penyuka travelling yang punya pengalaman digigit ular. “Hmm, ini kesayanganku,” ujarnya sembari mencium seekor Phyton reticulatus yang mencoba menyusup di celah jilbabnya.

Saya bersyukur bisa bergabung dalam Muscle SIOUX. Hasrat memperkenalkan rupa-rupa makhluk ciptaan-Nya yang luar biasa itu pada Qen, bisa tersalurkan. Makhluk melata yang sering dipahami secara salah kaprah oleh banyak orang. Blepp..blepp..blepp..!