Rabu, 28 Juli 2010

Bocah Laki-laki yang Jatuh Cinta pada Pohon


sebatang pohon curhat padaku siang itu. ia bilang baru didatangi bocah laki-laki yang mengaku cinta kepadanya. bocah itu mendekat, meraba gurat epidermis wajahnya, lalu ia tersenyum-senyum (rindu yang dikulum)

apa yang bocah itu mau?, kataku
kambium di pusat tubuhku!
kenapa begitu?
ia berkata dari sanalah dirinya bermula, ia ingin pulang ke kambiumku

dan malamku tiba tapi segera saja berlalu tanpa kejatuhan sebutir mimpi
dan pada sebuah fajar aku terbangun, terkesiap
mendapati bocah laki-laki itu terbaring
di sisiku
tersenyum senyum (rindu yang dikulum)

Minggu, 18 Juli 2010

Waspada! Koempeni dan Kenpeitai Moentjoel Lagi !




“Minggir!..Minggir..! Awas, haik! Bagerooo..!,”

Kenpeitai bermata sipit dengan samurai tersampir di pinggang itu mengibaskan tangan. Menyuruh seorang ibu muda yang menggandeng putri kecilnya itu menepi. Saat menghardik itu loh! Mimiknya serius meyakinkan, mulutnya dimonyong-monyongkan. Seragam hijau lumut bertabur pangkat kemiliteran kekaisaran Jepang di pundak dan dada, kian membuatnya berwibawa. Sesekali Sang Kenpei menaikturunkan kacamata bulatnya. Mendelik-delik ke arah si bocah. Eeh, alih-alih takut, si ibu dan putrinya malah senang dan cekikian. Lah, kok!

****

Woah! Pipiku tau ditampar kempei ping pindo! Pluok!..pluok! Loro tenan! Kempei kui kejam, galak’e ngepol!” (“Wah, pipiku pernah ditampar kenpeitai dua kali. Plok! Plok! Sakit banget. Kenpei itu kejam, galak banget!”) ujar Mbah Darmo (80an), menceritakan pengalamannya ditampar kenpei, lebih dari enampuluh tahun silam. Mbah Darmo yang saya temui di Yogyakarta, awal Juni, adalah satu dari sekian ribu mantan pekerja paksa di masa pendudukan Jepang (romusha). Di luar performa fisik dan pendengaran yang kian menurun, ingatan Mbah Darmo relatif tajam. Suatu ketika misalnya, Mbah Darmo bersama ratusan pemuda lainnya dari kawasan Prambanan, digiring ke lapangan terbuka di kawasan Maguwoharjo. “Nyang Meguwo, awakku kon ngatoske dalan pesawat Jepang. Bayarane beras sak pincukan. Kabeh korengen!,” (Di Maguwo, Saya disuruh mengeraskan landasan pesawat tentara Jepang. Bayarannya beras sepincuk. Semua romusha korengan!) papar Mbah Darmo dengan tatapan menerawang.

Kini, lapangan udara Maguwoharjo yang penggarapannya di masa Dai Nippon berkuasa melibatkan ribuan romusha, itu telah menjadi Bandara Internasional Adi Sutjipto. “Kancaku tau dibaret nganggo bayonet wetenge!,”(temanku pernah digores perutnya menggunakan bayonet) imbuh Mbah Darmo, yang juga adalah paman ayah saya.

***

Untunglah, Kenpei galak yang berlagak di Senayan dan seputaran Jakarta sejak 16 – 18 Juli lalu itu ternyata gadungan alias imitasi. Bilah samurai, pistol jenis Vickers, juga senapan semi otomatis di punggungnya, adalah tiruan belaka. Pula, mana ada kenpei Jepang menyandang nama Sutjipto. “Ya, saya ikut meramaikan saja, Mas!,” terang Kenpei Tjipto mengaku. Ketika saya cegat di “pasar klitikan”, sepanjang balkon kawasan kolam renang Gelora Bung Karno yang hari itu berubah jadi pasar onderdil sepeda bekas dari berbagai daerah, Kenpei Tjipto tengah memilah lampu sepeda bekas.

Ya, Kenpei Tjipto hanyalah satu dari lebih duaribu penghela sepeda onthels yang tengah berpesta dalaam… Kongres Sepeda Indonesiaa!

Rupa-rupa belaka dandanan para onthelis yang saya temui ahad (18/7) lalu. Dari yang berbaju adat daerah, sosok punakawan, koki, hingga (yang cukup banyak) adalah peserta dengan atribut serba djadoel. Tak heran jika bazaar memorabilia dan barang-barang bekas, paling heboh disatroni pengunjung. “Silakan, Mas! Ini kacamata asli loh!,” ujar Munadi, penjual aneka kacamata “tempo doeloe”. Ia membanderol dagangannya dengan kisaran harga belasan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Munadi yang datang dari Subang, Jawa Barat, juga menawarkan radio kuno dan bermacam kaset.

Lain lagi dengan Muntholib (48), yang datang dari Madiun beserta 50an rekan penggemar onthel. Diangkut kereta api barang mereka langsir ke Stasiun pasar Senen. Bersama sepeda onthel kesayangan, ikut terangkut perlengkapan masak dan pernak-pernik yang akan dipamerkan saat arak-arakan keliling Jakarta.

Suasana akrab dan guyup terlihat ketika Muntholib dan sohib penggemar onthel dari berbagai daerah bersua. “Ini nikmatnya ngonthel, Mas! Kita ndak menonjolkan apa yang kita punya, tapi menawarken apa yang kita bisa, hehe”. Siang itu, dari semula hanya karyawan swasta dengan tiga anak, Muntholib moncer jadi Letnan Kolonel Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Lengkap dengan seragam warna khaki, peci warna krem dipasang miring, plus selempang kulit dengan sepucuk pistol di pinggangnya yang gendut.

Aaangkat tangann..! Menyerah ato modiarr!,” ancam Muntholib kepada koleganya yang hari itu jadi tentara KNIL, salah satu korps tentara bentukan militer kolonial Belanda. Ditodong Letkol Muntholib, tentara Kumpeni yang menyandang senapan laras panjang itu pilih angkat tangan dengan raut muka belagak kecut. Fragmen guyon itu pun diakhiri dengan tawa yang pecah.

***

Asyik sekali bersua dan ngobrol dengan para onthelis dari berbagai kota yang mengepung Ibu Kota. Saya memang lebih terbiasa dengan sepeda gunung, dan cukup rutin bersepeda. Saya merasakan bagaimana para onthelis sangat jarang “pamer kekayaan” sepeda. Mereka lebih condong menawarkan kebersahajaan dan solidaritas. Tapi, buang jauh-jauh anggapan bahwa sepeda onthel berikut komponennya murahan belaka. Terlebih yang orisinil dan memang berusia lawas. Di sebuah stand “Gazzelle” misalnya, tampak dipajang sepeda tua seharga Rp 10 juta – Rp 20an juta. Lainnya di kisaran Rp 15 juta. Di kalangan penggemar sepeda gunung, sepeda seharga Rp 30 juta – Rp 100 juta lebih, tidaklah mengherankan.

Lebih dari semua itu, kalangan onthelis itu telah “memamerkan” sesuatu yang sangat bernilai. Etalase toko sepeda manapun tak mungkin memajangnya, karena teramat mahal dan langka : kebersahajaan dan solidaritas. Entah, di mana saya bisa membelinya untuk saya pamerkan setiap kali bersepeda.

Selasa, 13 Juli 2010

Layang-Layang Putus yang Melukis Sendiri Langit Rumahnya




ia datang menjelma layang-layang
menggembala kawanan awan berbulu abu-abu
mengawinkannya tiap sepasang, menjadikannya bunting dan beranak pinak
menjelmakan hujan
menyisakan pelangi
yang ia lukis dengan warna-warni tubuhnya sendiri
dan angin pun cemburu
enggan mengajaknya berdansa
sebuah hempasan bahkan memutuskan tali
layang-layang memilih pulang,
melukis sendiri langit rumahnya
yang tak bertepi

(gondangdia, 0710)

Sabtu, 10 Juli 2010

Gasing Bambu yang Mengitari Dunianya Sendiri


Seorang sahabat memberiku gasing bambu buat anakku ketika senja layu. Gasing yang indah dengan lubang hitam dari galaksi yang belum terpetakan. Stephen Hawking niscaya dibuat kagum manakala satu postulat tatasurya rancangannya telah gugur karenanya.

Tapi tidak bagi putraku. Ia mendekap gasing itu dari malam ke malam. Hingga ke tubir mimpi.

Dalam mimpinya gasing pemberian sahabatku itu terus berputar. Memanen gravitasi dan menyedot segala saja yang ada di sekitarnya. Guling. Selimut. Kasur. Setruman nyamuk. Laptop yang masih menyala menunggu ditulisi puisi. Minyak kayu putih. Sajadah. Papan selancar. Sepeda gunung. Terakhir, menyedot aku dan istriku yang belum selesai bercumbu.


Buitenzoorg. 07.10

Jumat, 09 Juli 2010

Perempuan yang Mengantarku Pulang Senja Itu (2)


Perempuan itu menjelma hujan sore tadi. Menawariku basah tepian musim yang tak mungkin menumbuhkan sekuntum kenanga di kebun benakku. Lelangit pekat. Seperti sekeping gulana di alisnya yang pekat dengan perdu berpucuk ungu. Tempat serangga menitipkan larva dan beranak pinak menjelma kupu.

Aspal masih lembab. Telanjang tanpa segumpil batu serupa onak di sela jari kakimu. Seperti telanjangmu ketika mengantarku pulang ke beranda waktu. Tuhan titip salam, kepadamu. Ujarnya diserta petir berulang kali.
Sampai di sebuah tikungan aku menatapnya untuk terakhir kali.
Ia menjelma api.

(Buitenzorg, July 2010)

Kamis, 08 Juli 2010

Perempuan yang Mengantarku Pulang Senja Itu


Perempuan itu datang sebagai hujan. Bertamu kepadaku ketika senja mulai menepi. Ia ketuk pintu benakku tiga kali antara ragu dan rindu bertemu. Tapi engsel pintu kubiarkan kaku. Mengawali diam benakku ragu. Sebab aku cemas ia masih menggenggam halilintar. Yang hanya menjadikanku terhenyak dan kuyup. Juga terbakar.

Perempuan itu datang menjelma badai. Tempias ujung rambutnya melembabkan waktu. Tiba-tiba jam dinding berhenti berdetak begitu binar matanya menyandera mataku. Sampai aku tak sanggup melihat selain sekeping ingatan masa lalu.

Keretaku datang dan perempuan itu mulai melambai dari kejauhan. Perlahan dengan jemari lentik rinai hujan. Yang tak sanggup aku genggam.

Keretaku menjauh. Benakku berpeluh. Ketika hujan reda, perempuan itu pulang sebagai awan.

(Buitenzorg, July 2010)