Senin, 11 Juni 2012

Mang Ikin dan Keteknya

Matahari yang menyundut ubun-ubun menjadikan kulit Mang Ikin kian legam. Wajah paruh baya bertubuh ceking itu tampan dengan kumis tipis melintang. Hanya sorot matanya saja yang terus muram di sepanjang siang, pekan ketiga awal Maret itu. “Dak pasti jumlah penumpang yang naik ketek sekarang. Kadang limo, kadang sepuluh,” ujar laki-laki asal Seberang Ulu, Palembang, sembari mengemudikan perahu ketek dengan kecepatan rendah menyusuri tepian Sungai Musi. Siang itu, akhir Maret, saya dipandu Bang Atok, seorang guru di sebuah SMA di Plaju menyusuri tepian Musi menuju Pulau Kemaro. Mang Ikin biasa mangkal di dermaga kecil persis di samping pasar 16 Ilir yang legendaris. Lusinan ketek ditambatkan di situ. Berbagi tempat dengan belasan warung apung yang menyajikan menu pindang patin. Ketek, perahu kecil berukuran lebar tak lebih satu setengah meter dan panjang lima meter, adalah moda angkutan sungai yang lazim melaju di permukaan sungai berair keruh itu. Ia tak ubahnya angkutan kota atau taksi yang meraja di jalur aspal. “Tiap hari habis empat liter solar, dak tentu jam kerjanyo,” imbuh Mang Ikin. Jemarinya yang mulai menua menghela setir ketek yang bentuknya persis kemudi kendaraan roda empat. Ada semacam meja kecil di bawah setir ketek tempat menaruh kopi dalam gelas plastik besar. Juga ada beberapa butir bawang merah. “Ada penumpang bawa bawang merah, saya minta beberapa untuk di bawa pulang,” sergah Mang Ikin merespon tatapan saya yang penasaran. Ia sedikit tersenyum mengikuti ombak sungai yang mengalun. Mang Ikin hanyalah satu dari ratusan penarik ketek yang pernah meraja di sepanjang sungai sepanjang 750 kilometer itu. Sungai terpanjang di Sumatera. Dilihat dari ketinggian udara, anak-anak sungainya menjalar kemana-mana. Seperti serabut akar tanaman tomat yang tercabut dari tanahnya. Hampar muka airnya coklat muda dan agak kotor dengan serpihan sampah di mana-mana. Sama coklatnya dengan lambung ketek Mang Ikin yang bilah-bilah kayunya mulai menua. Puluhan sopir ketek lainnya beroperasi di dipelataran Benteng Kuto Besak, (BKB). Seperti dituturkan Mang Ikin, pendapatan dari menarik ketek terus berkurang saban tahun. Terlebih menyusul kehadiran dua armada kapal yang lebih besar milik Pemerintah Kota Palembang. Kapal Putri Kembang Dadar dan Kapal Segentar Alam. Musi memang masih menjadi salah satu ikon parawisata di Kota Palembang. Kota dengan perkembangan infrastruktur yang lumayan pesat. Sayangnya, seperti tergambar pada Mang Ikin, perubahan pesat itu tidak berdampak signifikan bagi para penarik ketek. "Dak yakin ado perubahan lebih baik jiko dak diperhatikan pemerintah. Masyarakat lebih memilih kapal besar daripada ketek”, papar Ikin datar. Dengan membawa pulang uang hasil menarik ketek sebesar Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu perhari, ini jelas tak memadai untuk menjaga asap dapur tetap ngebul. Angka itu belum termasuk uang solar, sarapan dan makan siang yang angkanya bisa separuh dari pendapatan. Mang Ikin mengaku, lebih dari sepuluh tahun menarik ketek, ia tak bergabung dalam organisasi atau paguyuban apapun. Apalagi koperasi. “Semua jalan sendiri-sendiri,” ujar Mang Ikin lirih sembari bibirnya mengembuskan asap rokok. Asap pecah, menyatu dengan hawa terik dan lembab tepian Musi yang pilih menyimpan kisahnya sendiri.