Selasa, 02 Februari 2010

Cerita Bocah Pasar : Salep Tokcer sampai 'Sex Education' Tangkur Buaya


Saya tak keberatan disebut bocah pasar. Itu sekitar 25 tahun silam. Ketika saya masih sekolah dasar di Gisting Bawah, lebih 70 kilometer jaraknya dari Tanjungkarang, Lampung Selatan. Itu sekedar untuk membedakannya dengan kawan-kawan saya yang berumah di lereng Gunung Tanggamus. Bocah alas, hutan. Lagipula saya memang senang sekali dengan suasana pasar tradisional Gisting Bawah, terlebih ketika hari jumat.

Gisting, sebuah desa berhawa sejuk, masih termasuk lereng Gunung Tanggamus (2.500 mdpl), penghasil kol, sawi, dan hortikultura musiman lainnya.

Jumat adalah ketika bagian depan pasar yang berhadapan dengan jalan raya akan dipenuhi tenda-tenda besar dengan pengeras suara terpacak di atas tiang bambu. Saling beradu kencang menarik perhatian penghuni pasar dan lalu lalang orang. Dari semua itu, saya paling senang mendekati tenda penjual obat. Atraksi-atraksinya menarik.

"Aaaaakh!..aaaakh..! aaaaakh!...grrrk...!" Bunyi mengerikan itu menguar dari corong pengeras suara. Saya tergopoh, juga beberapa orang, mendekati tenda penjual obat gosok. Bukan cuma saya, kerumunan puluhan, mungkin seratusan orang segera saja membentuk koloni. Menyaingi tenda-tenda lain yang sontak sepi. O, ya, di sini tak pernah ada anggapan, obat yg laku adalah obat yang manjur, melainkan yang laku adalah yang paling menarik 'atraksi marketingnya'.

Teriakan menegangkan bulu kuduk tadi bersumber dari tenda penjual salep. Mengerikan kawan! Sungguh bar-bar yang saya lihat di sebuah jumat menjelang siang itu. Sesosok tubuh laki-laki dewasa bertelanjang dada dengan kepala tertutup kain terbaring di tengah arena. Penonton, laki-laki perempuan, dewasa, kakek-kakak, dan anak-anak seperti saya, berebut mendekat. Antara takut dan penasaran.

Di leher laki-laki dewasa itu...astagfirullah! Menancap sebilah golok! Dari samping kiri leher tembus ke sisi kanan. Darah berleleran. Sekitar tiga orang "pawang" acara itu, anehnya, tak tampak panik. Santai saja. Mengelap keringat, menghirup kopi, menata kotak-kotak kecil seukuran boks film negatif yang disusun di atas koper hitam lusuh. Satu orang saja yang serius memperhatikan korban 'pembunuhan' sadis itu. Ya, itulah untuk pertama kali saya melihat dengan mata kepala sendiri orang yang lehernya ditembus golok.

Belum habis rasa ngeri, seorang kru laki-laki lantas menyomot sekotak obat yang tertata rapi di atas koper. Membuka tutupnya, lantas jari telunjuk gemuknya mencolek banyak-banyak salep berwarna kehitaman, mendekati si korban pejagalan. Ah! Tanpa perubahan berarti pada air mukanya, dicabutnya sebilah golok dari leher si korban dengan tangan kiri. Sreezz..! Salep warna hitam yang munjung di ujung jari tangan kanannya segera saja dioleskan ke kedua sisi leher bekas 'tembusan' golok. Ajaib! Tak ada bekas luka menganga sedikitpun di leher 'korban'. Halus. Tak berbekas. Manjur nian itu salep.

Tanpa diperintah para penonton yang terkejut berebut mundur beberapa langkah dari barisan. Ini dia! Laki-laki yang saya kira sudah wassalam oleh tembusan golok di leher itu lantas bangkit lagi! Berdiri seperti orang linglung dengan sebagian dada dan lehernya masih menyisakan bekas darah. Dengan entengnya ia duduk di bangku kecil yang sudah disiapkan di tengah-tengah arena. Tugas untuknya selesai. Ia pun minta minum.

Berikutnya saya kira sudah bisa diduga. Si penjual salep tak kesulitan meraup ribuan rupiah dari penonton yang masih terkesiap takjub pada horor barusan. Sekitar seribu rupiah harga satu kemasan salep hitam itu. Si penjual salep berujar bahwa salep hitam itu multi fungsi. Kadas, kurap, panu, korengan, bahkan kutil menahun, bisa ditumpas dalam sekali oles. Entah, apakah di antara pembeli ada yang berminat pada salep itu guna 'mengobati' kasus seperti adegan horor yang barusan ditampilkan.

Di atas adalah satu pengalaman si bocah pasar yang sangat mencekam. Kisah lainnya tentu masih banyak.

Pernah pula saya menjumpai penjual obat kulit (yang diklaim berbahan baku minyak ular) yang aneh. Bukan atraksinya benar yang aneh. Dua orang penjual itu hanya memamerkan dua ekor ular pithon jinak yang dikerangkeng dalam sebuah kotak kayu. Si pithon sebesar lengan anak kecil itu sendiri terlihat lamban dan malas. Menjulur-julurkan lidah hitamnya yang bercabang. Tak banyak pengunjung yang tertarik. Mungkin gemas karena sepi peminat, satu laki-laki penjual minyak gosok itu mencengkeram mikropon. Ia berkoar keras agar siapapun yang memiliki ular agar sudi dibawa ke sumber suara. "Kobra boleh, sanca mau, welang dan weling juga silakan!". Ia akan membelinya dengan harga tinggi.

Dengan penuh percaya diri diulanginya pengumuman itu. Hmm, ada yang mendengar 'tantangan' itu rupanya. Tak sampai limapuluh meter dari tempat si penjual minyak gosok buka praktek, seorang 'Mang Sol Sepatu (biasa disingkat Mang Solpatu) berambut kribo bertubuh kekar terlihat menghampiri tenda penjual obat. Pada lengannya yang dibelit gelang akar bahar terlihat seekor ular berwarna coklat kekuningan tengah melingkar. Lengan kanannya memegang leher si ular yang tampaknya galak. Mang Solpatu bermaksud menyambangi Mang Obat Gosok. Si tukang minyak gosok melihat itu. Eh, ndilalah menyambutnya dengan senang sebab tawaran terjawab, kedua Mang Obat Gosok malah tampak terperanjat dari tempat duduknya lantas menjauh dari arena dengan muka ketakutan. Meninggalkan puluhan botol minyak gosoknya yang sepi peminat. "mang Solpatu tentu saja bingung. Minta ular dijawab ular, eh malah kabur...

Seingat saya, selain atraksi sulap, 'mencekam' atau malah horor, atraksi berupa cerita-cerita semi cabul cukup menarik perhatian pengunjung. Saya bahkan belajar 'sex education' untuk pertama kali ya, dari bakul obat dan jamu di pasar itu!

Suatu jumat misalnya, berhubung saya masuk sekolah siang (seusai sembahyang jumat) pagi-pagi saya sudah berangkat ke pasar. Jalan kaki sekitar tujuh menit dari rumah. Di salah satu lapak penjual obat, saya mendapati sebuah benda aneh berselimut kain mori putih di sisi kanannya. Saya dekati, wah...kepala seekor buaya! Awetan tentu saja. Hanya kedua bola matanya saja yang diganti dengan dua butir kelereng.

Jualan minyak buaya? Bukan. Laki-laki itu mengacung-acungkan sebentuk benda tak lazim sepanjang duapuluh lima sentimeter berwarna putih dan kuning kecoklatan. Tak lurus benar, tapi melengkung dengan diameter pangkalnya tak lebih dari tiga senti.

"Ini tangkur buaya, Pak! Kon**l buaya! Manjur bagi yang lemah gairah rumah tangga!" pekik laki-laki yang hari itu tampaknya memilih beraksi single tanpa asisten. Hmm, tangkur buaya. Ini untuk pertama kali saya mendengar ada istilah 'tangkur' dalam jagad pengobatan alternatif khas pasar. Bapak penjual kemaluan buaya itu tampak bersemangat bercerita. Ia lantas memberi tips-tips agar gairah pasutri bangkit dan rumah tangga jadi sejahtera, disertai bunyi-bunyi rintihan dan lenguhan aneh. Mata saya mendelik, mulut melongo mendengar kata-katanya, tapi tak paham maksudnya.

Beberapa jenak kemudian, pengebiri buaya ini lantas dengan cekatan memainkan pisau tajamnya. Memotong batangan-batangan yang diklaim 'anu buaya' yang telah dikeringkan itu menjadi seukuran dua sentimeter dan membanderol nya seharga seribu rupiah. Cukup murah menimbang klaim fungsinya yang katanya bikin rumah tangga jadi sejahtera. Seingat saya, banyak juga peminatnya. Bahkan seorang ibu-ibu dengan celemek yang masih terikat di perutnya (biasanya penjual sayuran)dengan terkikik malu-malu ikut-ikutan membeli seiris kemaluan (buaya).

Melihat respons tak terduga, keruan saja si penjual tangkur kian bergairah tanpa harus mengunyah sendiri sepipil kecil pun tangkur hasil buruannya yang entah dari sungai dan rawa mana. Segera saja saya membayangkan si pemburu tangkur pastilah jagoan layaknya tarzan si raja rimba dan rawa.

"Silakan bapak-bapak, ibu-ibu, rendam tangkur ini di air panas, kopi atau teh. Lebih bagus lagi direndam di segelas anggur. Minum pagi dan malam hari. Rasakan khasiatnya!" ujarnya berapi-api. Melihat lusinan tangkur diiris-iris layaknya sebatang wortel, entah berapa ekor populasi buaya 'pria' yang jadi impoten. Kasihan.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya masih bingung dengan ungkapan-ungkapan berbau ranjang yang diceritakan si penjual tangkur buaya. Penasaran, saya datangi bapak saya yang tengah asyik dengan pekerjaannya. Saya ceritakan tentang tangkur buaya. Apa betul itu buaya sungguhan, dan seterusnya. Seingat saya bapak tidak marah. Malah, dengan senyum simpul bapak saya menjawab bahwa si penjual tengah 'ndobos'. Ngibul. "Itu tangkur sapi dari rumah jagal! Gak ada manfaat seupilpun mbok kamu makan setengah kilo sekalipun!" ujar bapak saya dengan nada yakin.

Penjelasan bapak menjadikan saya tambah bingung. "Ooh...tangkur buaya palsu, ya. Kalo begitu, bapak dah pernah pake tangkur yang asli, ya?". Bapak saya diam saja.

Pelajaran berhitung kreatif juga pernah saya serap dari pasar. Tapi bukan sebangsa kumon atau jarimatika yang sedang ngetren itu.

Ada penjual yang menawarkan rupa-rupa barang dengan harga banting. Barang-barang tertentu sungguh-sungguh dibantingkan di atas barang pertama yang ditawarkan. Rumit? Begini, pertama-tama si abang menawarkan kain batik sidomukti (saya belum pernah dengar lagi namanya saat ini). Diambilnya kain batik yang dikemas menarik dalam kardus berukuran panjang duapuluh lima senti, lebar tujuh, dan tebal tiga senti, diletakkan di tangan kiri. Si abang bilang harga batik ini di toko 25 ribu perak. Mengaku tak tega, si abang memang tak menurunkan harga, tapi...buk!...membantingkan sehelai kain katun di atas sidomukti. jangan kuatir, harga tetap.

Pada bantingan pertama, si abang akan melihat air muka para calon pembeli. Tak tampak ada yang berminat? Dibantingkan lagi sebuah radio transistor kecil di atas kain katun. Harga masih tetap! Saat itulah si abang berorasi, betapa murahnya barang-barang berguna ini. "Bapak-bapak dan ibu-ibu bisa pergi kondangan dengan batik baru sambil mendengarkan Rhoma Irama di radio!" ujarnya atraktif. Lantas meluncurlah lagu "Begadang" dari mulut si abang untuk mencairkan suasana yang mulai tegang. Keringat berleleran di sekujur muka, leher dan lengan. Eh, penontong bergeming. Rupanya menunggu 'bantingan maut' berikutnya.

"Baik! Ini yang terakhir bapak-bapak ibu-ibu. Jangan menyesal ya? Jangan menyesal ya? Duuua limaa reeboooo!" diangkatnya sebilah gunting kain berukuran sedang lantas dibanting pelan di atas gundukan barang di lengan kirinya. Suasana biasanya berubah hening. Hmm.., pada bantingan ketiga atau kadang keempat itu (biasanya tambahan berupa barang remeh temeh seperti sebungkus peniti atau kapur barus), lazimnya sudah ada penonton yang mengacungkan jari. "Dibungkuus! Dibungkuus!"

Begitu terus berulang kali. Kejutan-kejutan akan muncul dalam kombinasi barang yang ditawarkan atau dibanting. Apa tak rugi? Menurut pikiran bocah seusia saya kala itu, setumpuk barang itu jelas terbilang murah. Entah bagaimana strategi 'pricing' nya agar si abang beroleh untung. Sepotong kain batik, sehelai kain sarung tenun samarinda (lagi-lagi klaim sepihak), radio transistor, dan belasan item produk lainnya. Sebenarnya masih ada kipas angin, setrika dll, tapi sepertinya hanya gula-gula penarik minat. Siapa tahu dibantingkan juga, begitu mungkin benak para penonton, termasuk saya.

Sampai saat ini saya belum tahu cara menghitung untung dari metode jualan barang semacam itu. Soal atraktif dan efisien, sepertinya ya. Sebab sebelum azan duhur berkumandang, barang-barang dagangan si abang sudah sangat banyak berkurang. Mungkin barangnya banyak yang palsu, saya menduga. Mutunya rendah tapi diklaim sebagai asli dan bagus. Tak mungkin saya menanyakan langsung trik-trik berhitung a la si abang banting. Bocah ingusan mau tahu apa.

Kenangan sebagai bocah pasar itulah yang membuat saya selalu menyenangi atmosfer pasar tradisional. Pikuk, kumuh, becek tak jadi soal. Biarpun tentu semua penyayang pasar tardisioanl berharap ada perbaikan yang berarti.

Hingga kini pun saya masih rutin mengunjungi pasar tradisioanl, di Depok atau pinggiran Jakarta. Setidaknya menemani istri memilah cumi atau tenggiri di los ikan. Murah dan segar biarpun tanpa kulkas.

Saya sering sedih melihat pasar-pasar tradisional meredup dan (terlebih) berubah wujud jadi mal-mal mewah dengan harga kios yang hanya bisa dijangkau kantong pedagang sekelas cukong. Interaksi sosial yang akrab antara penjual dan pembeli di 'pasar becek'(yang kuat dengan motif ekonomi sekalipun)selalu menggelitik syaraf rindu. Di sana, tak ada penjual yang senyam-senyumnya suka dipaksakan layaknya pramuniaga di pasar swalayan. Di pasar tradisional, penjual sayur bisa senewen jika sayur dagangannya dibilang berulat. Tukang ikan bahkan bisa langsung mengumpat jika tongkolnya dibilang busuk. Terbuka saja. Dan pembeli memang tak harus selalu jadi raja. Wong zaman demokrasi begini.

Akhirul kalam, dari sehebat-hebat pasar swalayan modern yang semilir dengan AC dan kesiur wangi para pramuniaganya, saya tak pernah lagi mendapati 'atraksi dagang' yang penuh kejutan, pelajaran strategi 'pricing' abang 'bantingan', dan...apalagi, 'sex education' tangkur buaya.

_______________________________
*Untuk Adikku tersayang, Ebiet : (kau belum lahir) Dan aku sudah (pernah) berdagang di sini, bahkan ketika aku belum bisa menghapus ingusku sendiri. Bersama Emak.