Kamis, 07 April 2011

"Betoorr.., Betoorr..,Tolong Bawa Saya.."



Tak butuh waktu lama untuk bersepakat harga dengan Usmandi Jambe. Laki-laki paruh baya berkulit legam yang tak henti mengembuskan asap rokok, itu akhirnya bersedia mengantar saya keliling pinggiran Kota Padang dengan ongkos Rp 20 ribu menggunakan betor. Betor, becak motor, bercat dominan hitam itu merupakan kombinasi antara sepeda motor, lazimnya produk Jepang, dengan body becak. Angkutan macam ini di beberapa daerah di Sumatera memang lazim. Kali ini saya mendapatinya di kawasan Simpang Siteba, Kota Padang.

Bicara nasib, Betor kreasi urang awak ini tak jauh beda dengan becak di pinggiran Kota besar pada umumnya, terpinggirkan. Pemerintah Kota Padang, yang harus diacungi jempol untuk perkara menata jalanan kota sehingga selalu tampak resik, itu melarang ‘betor” berkeliaran di dalam kota. Alhasil, saya harus puas keliling pinggiran kota mulai dari perempatan Siteba ke Gunung Sarik, kemudian melalui jalan tikus menyusuri Pantai Padang.

Becak motor van Padang ini memang maha perkasa, sanggup mengangkut 4-5 orang dewasa, belum termasuk si abang yang menyetir becak tentunya. Alhasil, hiruk pikuklah setiap betor penuh penumpang tengah melintas. Jika pun penumpangnya hanya seorang, muatannya dapat dipastikan bejibun. Seperti pada sebuah pagi, akhir Mei silam, terlihat seorang ibu menumpang betor yang sekaligus sebagai armada angkut belanjaan berupa 'segunung' daun singkong dalam buntelan kain.

“Sekarang Abang paling banyak bawa pulang Rp 25 ribu dari menarik betor, dulu bisa sampai Rp 75 ribu,” papar Usmandi. Bapak dua anak asli Siteba ini sudah lebih dari sepuluh tahun narik Betor. Untuk memenuhi kebutuhan harian, ekonomi keluarga Usmandi masih ditopang oleh istrinya yang memiliki kios buah di Pasar Siteba. Betor yang saya temui di pinggiran Kota Padang itu terlihat kaya dengan sentuhan modifikasi. Mulai dari sekedar hiasan tudung becak hingga stang motor yang diganti dengan setir mobil.

Betor, berikut rupa-rupa nasib penariknya, sebetulnya bukan monopoli Kota Padang. Di Aceh dan Sumatera Utara, becak motor juga memiliki tradisi panjang sebagai pelaku ekonomi rakyat yang seringkali terpinggirkan oleh arus modernisasi. Di kota-kota tersebut, becak motor memiliki ciri khas masing-masing. Di Pematang Siantar, misalnya, betor tampak unik dengan pemakaian motor besar tempo doeloe bermerek BSA (Birmingham Small Arms). Konon, betor di Siantar bahkan menjadi maskot.

Beda pula dengan becak motor di kota Padang Sidimpuan. DI sana vespa dimodifikasi sebagai betor. Potongan becaknya nyaris sama dengan betor di Siantar, hanya rodanya dibuat lebih kecil untuk mengimbangi ukuran roda vespa. Jadi, siapapun yang menumpang betor ini akan terlihat “ditelan” bodi becak. Di Tebing Tinggi, malah bikin heran, betapa tidak, motor-motor berharga belasan hingga puluhan juta rupiah berjenis sport pun disulap jadi betor. Sebutlah Honda Tiger, Suzuki Thunder, hingga Kawasaki Ninja. Eeng..ing..eeeng..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar