Senin, 25 Juli 2011

Mencari Judul ke Sawarna



Mas, judulnya apa yah, buat tulisan KJS ku?. Aku kasih judul ‘Kartini Jungle Survival 2010’ tapi kata Redpel (Redaktur Pelaksana,-pen.) ku kurang menarik..”

Selarik kalimat muncul di layar hape Saya, pagi pertengahan Juli lalu. Si pengirim pesan, Yulia Qim Deebraska, seorang sekretaris yang gemar blusak-blusuk hutan dan gunung untuk menyalurkan hobi sport luar ruangan. Qim merasa punya utang menulis kegiatan KJS yang diikutinya setahun silam.

Kartini hutan kali, yah? Heheh..
Kartini Tanpa Kebaya!
Bingung, ah!

Kebingungan “kreatif” Qim, juga saya alami. Bukan hanya sekali, mungkin ribuan kali. Menjadi lain ceritanya jika tengah mengikuti lomba mengarang, misalnya. Inspirasi judul tulisan gampang didapat dari sederet tema yang diajukan panitia lomba.

“Tema tulisan ditentukan sebelum mulai menulis, judul menyusul setelah tulisan selesai”… Pesan Yohannes Ratoem, guru mengarang saya di SMP dulu. Wejangan Pak Ratoem itu tampaknya masih saya praktekkan sekarang, biarpun tidak selalu.

“Kasih saja dulu judulnya, ntar ketemu idenya!,” sergah Tengku Taufiqulhadi, mantan Redaktur Internasional harian Media Indonesia, ketika mengajari saya menulis hasil reportase maupun features, sekian tahun silam. Lah? Judul ditulis duluan atau belakangan? Depan kena belakang kena. Dua-duanya bisa dilakukan sesuai pilihan. Semakin terbiasa orang menulis, soal judul bukan lagi perkara sulit…

Oke lah, Qim… Saya mau menulis perjalanan kecil ke Pantai Sawarna, Lebak, Banten. Mungkin kamu sudah pernah menghirup wangi anginnya. Lembut pasir kuning tembaga nya. Di salah satu ceruk pantai, sunyinya serasa menggetarkan.

Pagi 16 April itu, Tim Ogden dan Penny Davis sudah menunggu saya di depan bungalow Villa “QS”, masih di kawasan Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Ya, kami berniat trekking dari Pantai Pelabuhan Ratu ke Sawarna. Penny bekerja di Kedutaan Besar Australia. Tim, pacar Penny, datang langsung dari Australia atas ajakan Penny. Botol ketemu tutup, saya akan memandu mereka sehari penuh tepat ketika kantor tengah prei.

Keduanya ke Pelabuhan Ratu diantar Susilo, sopir Kedubes Australia. Laki-laki paruh baya asal Imogiri, Bantul, itu mengaku sudah belasan tahun nyopir di kedubes. “Anak saya kuliah, ya dari hasil nyopir ini, Mas..,” ujar Susilo sembari tersenyum. Kumisnya baplang, tapi wajahnya ramah cenderung kekanakan. Tipikal orang yang gampang akrab dengan siapa saja.

“Jadi, jam berapa kita akan mulai?,” ujar Penny mulai tak sabar sembari memilin rambut coklat muda sebahu yang dikucir ke belakang. Menyembul dari celah belakang topi kain warna khaki yang bertengger di kepalanya. Ia sudah siap dengan kemeja lengan panjang digulung sebatas siku, celana pendek warna hitam dan sepatu treknya. Cantik. “Jam 6.30 mulai jalan. Cuaca akan cerah cenderung panas. Habiskan dulu sarapanmu,” saya menukas. Di meja makan tak jauh dari resepsionis sarapan sudah siap. Sepiring nasi goreng, paha ayam dan telur mata sapi. “Delics, enyaak..,” Penny melirik saya sembari mesem.

“Hmm, kamu sudah pernah trekking sebelumnya?,” ujar saya kepada Tim. Mulutnya mengunyah irisan timun dan selada. “It’s my first!,” terang Tim nyengir. Oalaah, Mas

Kami menargetkan sampai Pantai Sawarna sebelum petang. Dari sana, mobil jemputan akan mengantar kembali ke Villa untuk menginap hingga keesokan hari sebelum kembali ke Jakarta. Trek yang akan dilalui kombinasi antara susur pantai dan menjelajah beberapa bukit kecil. Ada peta besar terpasang di dinding anyaman bambu, persis di samping meja resepsionis.

Sedikit molor dari rencana, kami baru start pukul 06.45. Diantar Susilo, kami harus bermobil sekira 15 menit dari penginapan. Targetnya salah satu pintu masuk perkebunan karet milik PT Perkebunan Nasional (PTPN) setempat.

Perjalanan singkat kami lalui menyusuri jalan setapak bertekstur kasar menyusuri kebun karet. Tak genap setengah jam ketika hampar laut kembali tampak, nun di bawah sono…
Tak sulit mencium bibir pantai terdekat yang berbatasan dengan hampar tanaman padi dan perkebunan kelapa milik warga. “Paddy field..! Paddy field..!,” setengah memekik Tim menunjuk hampar sawah yang tak begitu luas. Oho, rupanya baru pertama kali ia melihat dengan mata kepala sendiri rupa tanaman padi. Dasar ndeso!

Di bibir pantai dengan ceruk kecil menjorok ke laut, kami istirah sejenak. Saatnya ngopi kesiangan. Termos kecil berisi kopi dan teh panas sudah kami siapkan. Penny dan Tim minta teh, saya pilih ngopi.

Udara mulai panas menyengat. Tim dan Penny melepas sepatu. Angin laut serasa menampar pagi itu. Kepingan batu aneka warna di sekitar saya mengingatkan saya pada Pantai Kota Agung di Selatan Lampung. Saat Sekolah Dasar, di kala senggang saya dan teman-teman sesekali menyinggahi pantai landai itu. Naik truk dengan ongkos seratus rupiah seorang. Saat itu, rata-rata harga permen Rp 25 dapat lima butir.

Eii…! Ei..!…Noo..!,” pekikan Penny membuat saya terperanjat. Hah! Sejoli itu berlarian menjauh. Main kejar-kejaran di hampar pasir lembut berwarna kuning tembaga.

Ngopi, ngemil biskuit, mengunyah beberapa kerat buah pir dan apel. Perjalanan kami teruskan. O, ya, tak lupa saya pungut beberapa butir batu seukuran telur bebek. Warnanya menarik, merah saga dengan gurat biru setengah lingkaran. “Untuk apa batu itu, Prio?” Tanya Penny setengah menyelidik. “Oh, bebek saya belum bertelur. Menaruh ini di sarangnya mungkin akan memacunya untuk bertelur!,” jawab saya sekenanya. Penny berkacak pinggang mendekati saya. Matanya setengah mendelik, menampakkan mukanya yang kemerahan dengan totol-totol coklat hampir merata. Nyengir, saya menyingkir.

Hampir tengah hari. Lansekap mulai dominan oleh tebing-tebing tinggi dengan pepohonan mirip bonsai. Dilihat dari bentuk daun dan epidermis kulitnya sepertinya dari jenis Ficus benyamina. Gerumbul pandan laut tak lagi nampak.

Laut, debur ombak, pasir… Laut, debur ombak, pasir…begitu sampai kami mulai membuka bekal makan siang. Nasi, semur ayam, dan capcay goreng yang dikemas dalam boks plastik. Penny dan Tim tak mengeluh dengan menu itu.
Sahabat saya Krystyna Krassowska (KK) yang mengajari saya soal menu itu. Di tulisan berikutnya saya akan cerita soal londho edan yang satu ini.

“Ngapain kamu orang Indonesia menyajikan makanan orang asing untuk tamu-tamu kamu. Sajikan makanan khas kamu sendiri, doong! Mereka datang kan, mau belajar, mencoba sesuatu khas lokal” ujar KK suatu ketika. Saya manggut-manggut. “Tapi tanya dulu kalau mau pake sambel,” KK nyerocos lagi. Okay, mpok!

Mendekati pukul dua siang, kawasan Pantai Sawarna mulai nampak. Gulungan ombaknya besar, susul menyusul. Di kejauhan, beberapa surver mulai memainkan papan selancarnya.

Sejauh ini, kami sudah menempuh waktu tak kurang 7 jam. Dan memang tak terasa berlalu secepat itu. Kami putuskan untuk ke penginapan secepatnya, sore itu juga. Kami harus melewati perkempungan kecil sebelum sampai ke tempat Susilo menunggu dengan mobil jemputannya. Kampung bertabur home stay. Mirip pelosok gang sekitar Pantai Kuta dengan lalu-lalang turis asing yang menenteng papan selancar. Bedanya, di sini sesekali terdengar celetukan dalam bahasa sunda…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar