Jumat, 24 September 2010
"Aku Rindu Ia Bersuara, Memanggilku..Ibu.."
Hawa kawasan Cagaralam, Depok, gerah siang itu.
Jemarinya yang kurus dan agak pucat cekatan memainkan joy stick. Matanya tak berkedip menatap monitor televisi, tak sampai dua meter di hadapannya. Brazil vs Inggris. Games sepakbola adalah salah satu favorit remaja tinggi kurus berambut jabrik itu, Eko Prasetyo. Aroma obat menguar tipis dari ruangan itu, dan semakin pekat begitu mendekati sebuah nebulizer, perangkat elektrik pengencer dahak. Di tempat itulah selama lebih dari tiga tahun Eko “bermarkas”. Melawan kebosanan dan rasa sakit yang masih mendera. Entah sampai kapan.
Selain poster pesepakbola Inggris Frank Lampard, foto bersama kedua adiknya, kliping koran yang dibingkai sederhana menghias dinding kamar seluas empatmeter persegi. Kliping sebuah koran lokal yang menceritakan kisahnya.
Senyumnya mengembang begitu saya kembali menyambangi rumahnya, pada sebuah siang beberapa hari menjelang puasa Ramadan. Rumah petak dengan ongkos sewa tigaratus ribu per bulan. Ayah Eko karyawan biasa pada sebuah perusahaan swasta. “Pakabar, Ko?,” saya menyodorkan tangan. Ia balas menjabat, mengangguk, tersenyum lepas. “Baik, Mas,” kali ini ibunya, Etty Herawaty, yang membalas.
Sejak jatuh dari kereta api, tiga tahun silam, Eko masih belum mampu berucap sepatah kata. Persis di tengah batang lehernya terpasang perangkat logam untuk mengamankan fungsi pernafasan. Makanan cair masuk melalui selang yang menelusup melalui lubang hidungnya. “Di sini dibikin sayatan lagi. Terus di sini. Nah, yang ini bekas sayatan pertama,” Etty menunjuk gurat-gurat bekas sayatan pisau bedah di leher Eko. Gurat kemerahan.
Melihat leher Eko yang koyak moyak begitu, sebagian tengkorak kepalanya yang pernah remuk, plus logam terpasang di lehernya, saya jadi teringat aktor Hollywood Arnold Schwarzenegger dalam lakon “Terminator”. Manusia robot. Bedanya, Eko manis dan selalu terlihat optimis. “Bagi saya, Eko itu mukzizat,” Etty, 39 tahun, berujar lirih. Matanya menerawang.
***
Senin pagi 06 Agustus 2007.
Aku tengah mempersiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran sekolah anak keduaku yang mulai memasuki SMP ketika berita mengejutkan itu tiba. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 36, senin pagi, sekitar pukul 08.00. Suara dari seberang HP berujar, bahwa saya harus tabah, sabar, tawakal, pasrah, dan segera ke RS Pasar Rebo, kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur. Segera. Eko Prasetyo (17 tahun), anakku sulungku mengalami kecelakaan, jatuh dari dalam gerbong dari KA di sepanjang rel Rawa Bambu, tak jauh dari Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Bagai disambar petir, sesak dadaku, telingaku terasa terbakar, panas sekali. Kakiku seperti tak bertulang, lemas sekali. Tapi aku harus segera melihat buah hatiku, yang keadaannya entah bagaimana aku tak tahu. Pikiranku campur aduk tak keruan. Di perjalanan pun aku mencoba untuk tenang, tapi kian tak bisa,…bahkan sempat tersirat di pikiranku bahwa aku sampai di rumah sakit hanya mendapati anakku telah menjadi mayat.
Akhirnya aku sampai juga di RS Pasar Rebo. Aku langsung mencari informasi dengan bertanya pada resepsionis, tapi Eko tak ada di situ. Katanya, tadi memang ada di situ tapi dipindahkan ke RS Harapan Bunda yang letaknya tak begitu jauh dari RS Pasar Rebo. Aku pun meluncur ke sana.
Dan apa yang terjadi di depan RS tersebut aku melihat dan mendapat sambutan dari para guru dan teman-teman anakku yang setia menemani. Mereka menghampiriku dengan menangis histeris memelukku seolah aku ibu mereka sendiri. Aku tak kuasa menahan semua itu. Segera aku menemui dan menghampiri anakku yang sedang sekarat. Dengan sekujur terbebat perban, darah berceceran ke mana-mana, dan tubuhnya terus mengejang menahan sakit. Hancur hatiku.
Ibu mana yang sanggup menyaksikan buah hatiunya seperti itu. Pupus sudah harapanku. Kematianlah yang ada di pikiranku saat itu. Siapkah aku ditinggal pergi buah hatiku, dengan cara seperti ini?
Aku, keluarga dan kerabatku berunding untuk mencapai kesepakatan dengan dokter. Sebab hari itu juga harus dan segera dioperasi. Anakku terluka parah “Kalau telat, anakmu takkan selamat,” suara itu seperti vonis malaikat pencabut nyawa. Hasil scanning menunjukkan bagian kepala anakku luka parah kalau tak bisa dikatakan remuk. Kehilangan banyak darah dan oksigen. Sebagian besar otaknya sudah tertutup darah beku. Kebingunga memuncak saat pihak rumah sakit memintai biaya Rp 36 juta untuk biaya operasi.
Keributan tak urung terjadi antara pihak RS Harapan Bunda dengan keluargaku. Emosi yang menggunung meledak dalam isak tangis. Sampai jam 3 sore, anakku masih dalam kondisi kritis. Musyawarah menguras pikiran, alot. Alasannya bermacam-macam, ICU penuh, peralatan kurang, juga karena anakku terluka parah. Hasilnya : anakku ditolak RS Harapan Bunda. Batinku, apakah ini semua karena kami bukan dari kalangan keluarga berpunya?
Waktu berlalu, anakku masih tergolek lemah antara hidup dan mati. Dua rumah sakit menolak tubuh tak berdaya anakku. Apa yang harus kami perbuat? Membiarkan anakku mati dengan cara seperti itu? Kami berbuat apa saja. Bapakku akhirnya menghubungi salah satu kerabatnya. Mobil ambulans akhirnya tiba, mengantarkan tubuh sekarat anakku dengan kepala remuk kehabisan darah (dari jam 08.00 sampai lepas maghrib!), menuju RSPAD Gatot Subroto. Sampai di UGD jarum jam menunjukkan pukul 19 WIB.
Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, anakku pun masuk ke ruang ICU. Eko mengalami luka parah di bagian kepala. Berdasarkan hasil diagnosis dokter ICU RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Eko didiagnosa menderita cedera kepala berat (CKB).
Ada optmisme yang membuncah ketika dokter dan perawat sejenak membesarkan hati kami. Namun, masalah administrasi seringkali seperti es, beku, sehingga pertengkaran kecil kembali terjadi antara aku dengan bagian loket. Konsultasi dengan dokter menghasilkan percakapan panjang. Dokter menyarankan agar anakku segera dioperasi, rembukan keluarga kembali digelar. Malam itu kulalui dengan hati dan pikiran kalut.
7/8/07. Pagi tiba.
Kuputuskan untuk menerima saran operasi, dengan salah satu risiko adalah sebagian tempurung kepala anakku harus diangkat. Lembar persetujuan untuk melakukan operasi terhadap anakku pun kutandatangani. Pagi sekitar pukul 09.30 aku pun mempersiapkan segalanya. Empat jam kemudian anakku mulai masuk ruang operasi. Kami sekeluarga menunggu dengan benak dan pikiran tak menentu. Sekitar pukul enam sore, anakku sudah kembali berada di ruang ICU.
Dua minggu kemudian, anakku mengalami pembengkakan di bagian dada sebelah kanan. Ada cairan yang masuk ke dalam tubuhnya, di mana cairan tak masuk ke lambung melainkan ke paru-paru. Efeknya, badannya membengkak seperti balon diisi air. Akhirnya di sisi pinggangnya dibuat lubang, mengalirlah cairan itu keluar dengan menebar bau tak sedap. Selama dua hari cairan itu masih keluar. Sekitar tiga minggu kemudian dipasanglah alat bantu pernafasan di leher bagian depan.
Sehari-hari, terlihat wajah anakku, yang pucat, diam. Di sisinya tegak tiang infus berikut botolnya. Alat monitor detak jantung, dan ventilator terpasang di tubuh anakku. Dokter mengatakan bahwa anakku belum sadar. Masih membutuhkan perawatan ekstra. Anakku dalam kondisi antara koma dan trauma panjang. Dokter memintaku agar sabar dan pasrah, ikhlas dan berserah diri kepada Sang Pencipta.
8/8/07 Entah aku tak begitu paham, peralatan apa saja yang terhubung pada tubuh anakku.
Obat-obatan yang harganya teramat mahal bagi kami, harus ditebus. Kami hanya ingin anak kami selamat. Berikutnya, rutinitas baru harus kujalani untuk memantau keadaan anakku. Mulai dari menebus obat, mengambil hasil tes darah, dan aneka pemeriksaan lainnya. Hari-hari seperti teramat panjang. Aku Cuma bisa berdoa, berdoa, dan berdoa demi kesembuhan anakku.
Allah SWT penuh kasih. Hadiah yang amat berarti bagiku saat itu, didatangkannya, tepat sebulan dari saat anakku mengalami kecelakaan. Pada 6 September 2007, anakku untuk pertamakalinya tersadar dari tidur panjang. Matanya terbuka, biarpun cuma sebelah, mulut bergerak-gerak seperti hendak mengabarkan ‘perjalanannya’ selama tidur panjang. Dokter mengajukan sejumlah pertanyaan sederhana pada anakku yang tergolek lunglai di dipan. Alhamdulillah, ia bisa meresponsnya. Sore harinya, anakku dipindahkan di ruang perawatan isolasi PU (Perawatan Umum) di lantai empat.
Belum selesai. Sejumlah perilaku yang mengkhawatirkanku muncul dari tabiat anakku yang mulai meronta-ronta biarpun tangan dan kakinya terikat. Aku kasihan…marah…juga sedih campur aduk. Selama satu bulan, dibantu perawat, aku dilatih merawat anakku. Ujian kesabaran bagiku belum berada di garis akhir.
Ramadhan pun tiba. Pada 5 Oktober 2007 anakku sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Dari atas kursi roda anakku tampak kurus. Belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Untuk makan pun harus berupa cairan yang dialirkan melalui selang lewat hidung. Biarpun begitu kesehatannya berangsur membaik. Belum, belum selesai. Agenda operasi kembali dijadwalkan pada 9 Januari 2008 berupa operasi vistel. Ternyata, pada hari itu vistelnya tertutup sempurna dengan sendirinya. Merayakan Idul Fitri, lazimnya hari kemenangan itu adalah saat yang membahagiakan. Tapi, justru kesedihanlah yang kurasakan. Betapa tidak, melihat putraku terbaring lemah, tak mampu berjalan, makan dan minum pun masih menggunakan selang di hidung (sonde). Kursi roda lah yang menjadi pengganti kakinya selama enam bulan. Setiap pagi dan sore, kupapah anakku untuk belajar berjalan. Syukurlah, usaha itu membuahkan hasil, biarpun masih sempoyongan, perlahan tapi pasti anakku mulai bisa tegak di atas kakinya sendiri.
Akhirnya, pada 29 Februari operasi jadi dilaksanakan pada pukul 08.00 dan berakhir sekitar pukul 11.00. Seusai operasi dokter THT mengungkapkan padaku bahwa anakku harus kembali dioperasi pada 31 Maret. Sayang, rencana operasi gagal. Pada akhir April, rencana penutupan saluran pernafasan buatan pun gagal karena adanya infeksi dari virus Hepatitis C. Duh, dari man asalnya semua itu. Belum selesai satu persoalan muncul lagi persoalan baru. Setelah itu serangkaian operasi kembali dijalani anakku.
Menurut dokter, anakku harus menjalani pengobatan hepatitis. Terapi melalui suntikan selama satu tahun, dengan biaya sekali suntik setiap minggu Rp 3 juta. Dari mana saya harus memenuhi biaya itu? Rumah kontrakkan yang ditempati sejak lebih dari sepuluh tahun lalu itu pun hanya Rp 300 ribu per bulan? Akhirnya, terapi herbal yang lebih murah kujalani.
Operasi demi operasi harus segera dijalani anakku untuk kepulihannya, dan sayangnya, hingga saat ini belum berhasil memunculkan suaranya. Bahasa tarzan seringkali harus kami gunakan. Juga bahasa tulisan. Sungguh, aku rindu mendengar suaranya ia memanggilku ibu…
Yang membuatku berbesar hati adalah, dalam kondisinya yang tak seperti dulu, anakku beriskukuh untuk tetap bersekolah. Biarpun harus mengulang setingkat lebih rendah dari rekan-rekan seangkatannya dulu. Aku melihat ada semangat dalam binar mata anakku untuk menatap masa depannya. Senyumnya memang cerah seperti tak pernah terjadi apa-apa. Biarpun hingga kini aku belum juga punya jawaban, bagaimana harus menyekolahkan dua anakku lainnya, yang mulai masuk sekolah menengah dan akan memasuki TK.
Entah, mana yang harus kudahulukan, sementara suamiku, yang begitu sabar, adalah karyawan biasa di sebuah perusahaan swasta. Anakku masih harus menjalani operasi lagi, agar ia bisa berkomunikasi dengan guru-guru, rekan dan saudaranya tak lagi dengan bahasa isyarat. ..
***
(Di atas penggalan cerita Etty kepada saya, lebih dari setahun lalu. Kini, kondisi Eko sepertinya terus membaik. Ia seperti tak pernah kehilangan optimisme. Dengan leher dililit scarf, ia berani bepergian sendirian. Naik angkot. Juga kereta api! Termasuk ketika melamar pekerjaan. Saya tak tahu bagaimana caranya ia lolos jika suatu ketika harus menjalani tes wawancara. Pita suaranya belum berfungsi normal. Karena itu, lewat tulisan ini saya mencoba menemani Eko bersuara…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kisah hebat. Menampar, sampai dimana hidup harus dimaknai.
BalasHapus