Selasa, 05 Oktober 2010

Dari Romulus Whitaker sampai Mbok Mintorogo (catatan atas ToT Sioux)


Ass. Pakabare, Mas? Depok udan gak..?
Selarik pesan pendek mampir ke telepon genggam saya, persis ketika hujan mulai menderas dan pekik guntur bersahutan.
“...Udan deress…gludug menggelegarr…,” balas saya.
Wakakakak…Bintaro juga sama, Mas! Klo begini terus sampe malam. Bisa2 br sampe gintung besok pagi..” balas Abdul Basith, arek Jombang yang sabtu dan ahad ( 2 – 3/10) lalu, sama-sama berniat menghadiri training of trainer (ToT) Sioux.

Lembaga Studi Ular ini memfasilitasi para relawan (muscle Sioux) yang berniat up grading kemampuan mereka dalam belajar menangani ular. Itu setelah sebelumnya mereka diikutkan dalam basic training muscle (BTM). Terakhir, saya ikut BTM sekitar enam bulan silam.

***

08.20 pagi (3/10), langit Situ Gintung bersaput mendung.
Sejumlah lelaki, anak-anak, dan perempuan dewasa berbalut sari tampak terpekik tertahan ketika laki-laki tua itu mulai memainkan tongkatnya. Bersama seorang asisten, laki-laki berambut tak bersisir berjanggut putih itu tengah berusaha menyergap seekor King Cobra (Ophiophagus hannah) yang merayap di tepian bukit curam yang dirimbuni pepohonan.

Kepala dan nyaris sepertiga bagian tubuh Si Raja Kobra mendongak tegang ketika Pak Tua mulai mendekat. “Sepertinya ini betina, panjangnya mungkin 15 kaki,” terangnya dengan seulas senyum tanpa menampakkan gentar sedikitpun. “Tongkat penjepit ini sepertinya tak efektif, ia masih bisa lolos. Kami tak ingin tergigit,” sambung Pak Tua sembari mesem.

Nun beberapa belas meter di atas jalan raya yang membelah bukit, perempuan-perempuan yang meyaksikan adegan itu terlihat mulai tegang. Sebagian menutup mulut atau menggigiti kuku jari. “Aiiih…”

Saya berandai, Pak Tua sejatinya punya pilihan cepat untuk meringkus Raja Kobra yang telah bikin panik orang lewat itu. Tapi Ia memilih cara yang lebih nyeni. Ular dengan bisa ekstra maut itu mula-mula digiring ke sudut-sudut sempit yang terhalang pepohonan. Sebuah pipa berdiameter 25 senti dan panjang sekitar 30 senti yang pangkalnya dikerudung kantung kain, disiapkan sang asisten.

Si Raja digiring mendekati lubang pipa. Gagal! Sosok gemulai itu dengan gesit menghindar ke celah pepohonan. Pak Tua tak menyerah. “Kita cegat dari sana! You siapkan pipanya..!,” Pak Tua mengingatkan asistennya. Dengan bantuan tongkat penjepit, Pak Tua mulai merangsek mendekati Si Raja. Butuh tiga hingga empat kali penyergapan yang menegangkan sebelum,…hups! Kepala Si Raja masuk ke liang pipa. Dengan sedikit dorongan tongkat, seluruh tubuh Si Kobra sukses diringkus tanpa terluka dan tak seorang pun yang tergigit.

Huraahh..!” Tepuk tangan terdengar dari atas sana. Pak Tua dan asistennya dengan tenang naik ke jalan raya dengan senyum kemenangan. Adegan itu disudahi dengan wajah-wajah semringah. Pak Tua dan asistennya beroleh aplaus panjang, jabatan tangan dan pelukan hangat. Adapun Si Raja, mungkin senewen sebab gagal lolos dari sergapan densus, eh Pak Tua..

Pagi itu, saya saksikan adegan di atas dari tayangan video yang direfleksikan melalui sebuah proyektor di ruangan wisma berukuran 3m X 7m di satu sudut Taman Wisata Situ Gintung, Tangerang. Bersama saya, hampir dua lusin orang duduk lesehan di atas karpet.

Pak Tua yang pemberani lagi nyentrik itu adalah Romulus Whitaker (67 tahun), herpetolog dan konservationis kehidupan alam liar. Tampang Romulus mengingatkan saya pada pelukis surealis kenamaan Salvador Dalli. Bedanya, Romulus “melukis” di alam liar dengan mendirikan Madras Snake Parks dan direktur The Andaman and Nicobar Environment Trust (ANET). Ia juga pendiri the Madras Crocodile Bank Trust. Semuanya di negeri Nehru.

Keahlian Romulus mengingatkan saya pada almarhum Steve Irwin yang beken dengan serial televisi The Crocodile Hunter (“Sang Pemburu Buaya”), sebuah dokumentasi mengenai hewan-hewan buas yang tak umum. Si bengal Irwin memiliki dan mengelola Australia Zoo di Beerwah, Queensland.

Pagi itu cuaca mendung ketika saya sampai di Situ Gintung, bersamaan dengan diputarnya video aksi Romulus menangkap dan meneliti karakter Raja Kobra. Itu adalah hari kedua acara training of trainer (ToT) yang diadakan Sioux. Saya memilih absen di hari pertama karena enggan mengambil resiko cuaca buruk msaat enuju lokasi. Lagipula saya masih sedikit flu.

**

Suara Aji Rachmat naik turun, beradu dengan alunan musik organ tunggal yang disewa sebuah paguyupan organisasi kedaerahan. Jarak antara wisma tempat ToT berlangsung dan aula tempat organ tunggal tak sampai 20 meter. Alhasil, suaranya benar-benar memekakkan kuping. Tahu audiens mulai terganggu, sesekali Aji mencoba rileks dengan menggoyang-goyangkan kepala di sela jeda presentasi.

Mungkin, satu dari tiga biduan berkostum seronok di aula tengah menembangkan “Kucing Garong” atau “Keong Racun”. Konsentrasi saya agak terpecah. “Sst, wah, stoking nya bolong-bolong,” Kresno dan Denny, peserta ToT, terkikik. Tak tahan untuk tak menggosipi biduan yang berjongkok seronok sembari menelepon. Millani Imenk, sesekali belagak goyang dengan mata setengah merem.

**

Hari itu materi pelatihan meliputi identifikasi ular, biologi ular, penanganan gigitan ular, hingga pengantar handling ular. Sebagian materi sudah saya dapat ketika BTM, Maret silam.

Saya sejenak terkesiap ketika proyektor slide menayangkan sebuah essei foto. Sebut saja kisah Mbok Mintorogo. Ini adalah mozaik kultur kompleks “industri” rumahan pengolahan ular, yang relatif jarang terekspose.

Mula-mula, tampak tangan keriput Mbok Mintorogo membuka ikatan sebuah karung berisi setidaknya belasan ekor kobra hidup. Dengan enteng, satu tangannya mencengkeram tubuh seekor kobra layaknya memegang anak kucing yang masih ingusan. Dalam hitungan detik, diguntingnya leher si kobra sampai putus. Dengan gerakan akrobatik, darah yang mengucur dari leher kobra dituang dalam gelas. Tangan Si Mbok yang satunya lagi menjungkirkan bagian ekor kobra ke atas. Posisi ini mencoba memanfaatkan gaya gravitasi untuk mempercepat keluarnya aliran darah.

Hmm, adegan ini sekilas mengingatkan saya pada aksi penjual legen (air sadapan pohon aren) pikulan, yang menuangkan tabung bambu berisi legen ke gelas pembeli.

“Dari informasi dan pengalaman yang ada, menelan empedu kobra adalah salah satu cara untuk meningkatkan stamina,” ujar Aji. Peserta ToT manggut-manggut. “Lah, emang komposisi empedu cobra apa, tho?, kok sampai bisa bikin “greng” stamina begitu? ” saya menukas. Pikiran saya sejenak mengawang pada efek ekstra ajaib ramuan yang diracik Dukun Panoramik dari Negeri Galia dalam Lakon Komik Asterix, besutan Uderzo dan Goschiny.

Hmm, sampai sekarang memang belum ada yang secara khusus meneliti kompisisi empedu cobra. Tapi pemanfaatannya memang sudah dipraktekkan dan diakui berbagai kalangan sejak lama,” jawab Aji.

Perkara ramuan, hingga saat ini, saya tak berhasrat untuk mengkonsumsi bagian tubuh manapun dari si kobra. Terlebih dikaitkan dengan upaya mendongkrak prana “greng” di tubuh saya. Saya tak malu memilih berpandangan konservatif dengan semboyan uzur yang saya comot dan plesetkan dari petuah Eropa beheula : "Di dalam tubuh dan jiwa yang sehat, terdapat “greng” yang dahsyat!". Eeng…iingg…eenggg…

“Lain lagi dengan darah kobra. Ini dipercaya untuk menghaluskan kulit,” imbuh Aji. Hmm… Saya melirik Dhyan Savitri, rekan peserta yang duduk persis di samping saya. Dhyan cuma mesem sembari menggeser posisi duduknya. Entah, merasa skeptis karena kulitnya merasa sudah mulus, atau malah diam-diam tergiur pingin mencicip darah cobra biar kulit jadi berpendar seperti kunang-kunang di hari gelap.

Saya gamang, apakah saya juga akan memberi tahu Melly Chan, istri saya, terkait khasiat darah kobra itu. Tapi, Melly yang lahir dan besar di Palembang punya versi sendiri. “Mau kulit halus? Makan duren!,” ujarnya singkat sambil ngeloyor ke dapur.

Saya cukup sering ke Palembang untuk berbagai keperluan. Jika diamati, rata-rata kulit gadis-gadisnya memang terang dan bersih.

Di beberapa kawasan penghasil durian di Thailand juga konon begitu. Gadis-gadis Chiangmay contohnya, terkenal berkulit halus dan menarik. Sayang, saya tak punya kenalan khusus awewe Chiangmay untuk sekadar konfirmasi.

“Bisa jadi, justru untuk meningkatkan stamina bukan empedunya, tapi daging kobranya,” sergah Mamih Agil, peserta ToT senior yang berlatar kedokteran Hewan. Mamih tak asal cuap. Yang saya tahu, daging kobra memang kaya protein, jadi relevan juga jika mengaitkannya dengan gizi tinggi.

Oho, kalo Mas Prio kepengin staminanya oke saat kerja keras atau masa pemulihan, asupan protein perlu didongkrak, yah!,” ujar dokter Boyke A. Nugraha dengan gayanya yang khas. Boyke, seksolog beken ini sempat saya temui seusai menjadi pembicara pada sebuah seminar, di Jakarta, Agustus Silam. Merujuk Boyke, Saya pikir Mamih masuk akal juga.

Pesan moralnya, tak perlu menjagal kobra untuk mendapatkan asupan protein ekstra.

**

Menjelang siang, acara yang cukup ditunggu akhirnya dimulai juga : praktek handling ular. Peserta dikenalkan pada teknik-teknik handling beragam jenis ular di alam terbuka. Beberapa ular koleksi Sioux dikeluarkan dari kandangnya. Mulai dari yang tak berbisa macam phyton, ular pelangi, ular tikus, hingga yang berbisa tinggi macam kobra dan king kobra.

Sayang, belum tuntas sesi handling dipraktekkan, kawasan Situgintung keburu dihumbalang angin rebut. Ranting-ranting dan dahan beberapa pohon berderak dan patah. Sejurus kemudian hujan lebat datang. Ular-ular kembali dikandangkan. Peserta dan panitia kembali memasuki wisma dengan hati separuh dongkol. Termasuk Anissa Sarah Ichachebong, yang siang itu baru bisa meraih buntut seekor kobra.

Menghemat waktu, acara disambung dengan simulasi identifikasi ular di hadapan audiens. Saya kebagian mengidentifikasi Phyton reticulatus. Bicara phyton, saya punya “ikatan emosional” dengan mahluk berkulit cantik ini. Cantik, motif “batik” natural nya tak ada yang menyamai. Dijamin tak ditemukan jika anda putar-putar sampai pusing di sentra batik Pasar Klewer, Solo. Ataupun jika anda ngotot memburunya sampai dehidrasi dan semaput di los pasar Beringharjo, Jogja.

Phyton sepanjang tiga meter pernah masuk rumah saya tanpa permisi, lebih dari lima tahun silam. Kepalanya nyungsep ke toilet. Berakhir dengan dijebolnya kloset untuk meringkus phyton yang belum diajari sopan santun itu. Phyton berkalung kloset. Cerita lengkapnya bisa disimak di blog ini juga (“Bermain Api Gosong, Bermain Ular…Sioux!”). Gratis.

Yang terbilang agak menyeramkan adalah tatkala menyimak sesi penanganan gigitan ular. “Jika bagian jempol anda yang tergigit ular berbisa tinggi, segera tekan bagian ini,” Aji mencontohkan. Abdul Basith dijadikan contoh Korban. "Segera balut lengan mulai dari pergelangan hingga mendekati bisep untuk menghidari bisa ular menjalar.,” imbuhnya. “Darah harus segera dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Aji lantas memberi ilustrasi bagaimana mengeluarkan darah itu dengan cara menusuk-nusuk bagian lengan dengan benda tajam, diikuti dengan gerakan mengurut lengan untuk mengeluarkan darah. “Keluarkan darah sebanyak mungkin. Dan untuk menghidanri darah menggumpal, bagian lengan bisa dihangatkan dengan air hangat”.

Saya agak sulit membayangkannya simulasi ini terjadi di kehidupan riil. Ini mengingatkan saya pada adegan John Rambo mengoperasi sendiri pinggangnya yang tertembus ranting pohon . Atau Robert de Niro yang mengoperasi pengeluaran peluru dari tubuhnya sendiri dalam “The Ronin”. Fiktif saja ngeri, apalagi nyata. "Racun" Hollywood saja ngeri, apalagi racun king kobra. Ampuuun…

“Rekan-rekan senior di Yogya yang pernah digigit King Cobra, setelahnya tak mau lagi mengalami untuk yang kedua kali”.

**

“Hebat, baru saja dapat materi pelatihan, langsung praktek,” ujar Ischya ul Ulum, Ketua Sioux sembari mengajak peserta bertepuk tangan. Saya masih ragu pada komentarnya, serius atau guyon. Tapi saya memilih ikut tepuk tangan.
“Insiden” itu terjadi pada sore menjelang acara resmi berakhir. Dimotori oleh Mamih Agil dan Winniarlita Irmawatie atau akrab disapa kak Owien, keduanya mengajak peserta ToT untuk keluar ruangan dan mendatangi aula tempat paguyuban warga Pati se Jabotabek yang tengah menghela goyang dombret. Respons yang gamang. Sejumlah penghuni ruangan memilih berdiam di tempat. Tapi saya dan beberapa rekan memutuskan ikut. Saya ingin melihat cara eksponen Sioux berinteraksi dengan obyek persuasi dan melihat langsung respons audiens. Insidental sekalipun.

“Bapak-bapak, Ibu, dan adik-adik, ada yang pernah menemukan ular?,” tanya Owien di atas panggung.
“Beloom!,” suara dari bibir mungil bocah-bocah di barisan terdepan menggema dominan. Beberapa peserta pelatihan ToT ikut maju, praktek presentasi identifikasi ular.

“Ini namanya ular Lanang Sapi,” terang Krisno sembari mengangkat seekor Elaphe radiata yang dominan dengan warna kuning muda pada bagian depan dan perut. Empat garis longitudinal warna hitam menghiasi depan tubuhnya. “Ini tak berbisa…” imbuh Krisno mencoba tersenyum.

Wah, ono ulo sing jenenge sapi, tho?,” suara berbisik saya tangkap dari mulut seorang bapak persis di samping kiri saya. Bapak ini gumun, ada ular yang namanya sapi. “Macan juga ada, Pak. Malah bandot(an)pula,” saya menyergah. Tentu dalam hati. Saya ingin memberi tahu dia bahwa ada ular bernama lokal bandotan macan.

Berturut kemudian Abdul Basith, Adjie, Bintang, dan Denny Rudini mengenalkan dagangan, eh, ular koleksi Sioux yang mereka bawa.

Sauasana sedikit mencekam ketika Yulia Qim Deebraska mulai mengeluarkan kantung berisi King Kobra. Sepertinya Qim berencana mempraktekkan “death kissing” dengan mencium kepala King Kobra, meskipun belakangan urung dilakukan. Ichsya mengawasi adegan itu dari jarak beberapa langkah sebelum akhirnya memutuskan menghandling Sang Raja dengan tangan kosong. Memasukkannya ke dalam kantung. Millani Imenk pilih asyik menjepretkan kamera.

Bergantian, Mamih Agil dan Owien bertutur tentang Sioux. Presentasi dadakan tak lebih dari limabelas menit itu diakhiri dengan semboyan maut Sioux, “waspadai, tapi jangan bunuh ular.!.” Tepuk tangan terdengar ketika personel Sioux meninggalkan panggung.

**

Di akhir acara, sejumlah peserta ToT mendapat sertifikat. Hati kecil ini agak gamang juga. Ibarat menerima raport yang tak semua mata pelajarannya dikuasai. “Ini sebagai stimulus agar kita mau terus belajar,” papar Idur Rahadian.

**

Acara ini memang masih menyisakan celah untuk bisa disebut komprehensif. Tak ada evaluasi kegiatan secara menyeluruh, tempat semua yang hadir bisa mengutarakan kesan dan pendapat. Kritik dan otokritik.

Benar saja, setiba di rumah, hingga menjelang tengah malam, beberapa diskusi “ekstraparlementer” bersliweran di kolom chatting facebook saya.

Salah satu topik diskusi adalah terkait pemberian sertifikat. “Bagusnya up grading dilakukan bertahap, diuji kemampuannya terus menerus dan tak langsung diberi sertifikat,” ujar seorang rekan yang namanya enggan dikutip di blog ini. “Materi training yang diberikan perlu ditetapkan kriteriumnya dan level penguasaannya, ini untuk membantu mengukur penguasaan materi tiap-tiap muscle peserta ToT ,” ujar seorang muscle lainnya. Benar juga, batin saya.

Hari itu saya memang tak sempat melakukan simulasi secara resiprokal dengan rekan peserta. Tentang bagaimana cara membuat balutan di area gigitan ular yang benar, simulasi pembedahan darurat jaringan tubuh dan mengurut keluar darah korban yang terkontaminasi bisa ular berbisa. Atau sekadar praktek mencuci luka gigitan ular tak berbisa dengan air bersih dan antiseptik.

Praktek-praktek kecil macam itu niscaya menghadirkan trial and error yang bakal mempengaruhi sikap mental peserta jika berhadapan dengan kasus empirik di lapangan. Saya sungguh merasa kosong.

**

Ya, sesi training hari kedua itu memang agak dominan dengan persuasi dan “monolog” Aji Rachmat. Biarpun dalam beberapa hal bobot materinya saya anggap memiliki kelebihan dibandingkan ketika saya mendapatkan materi yang identik pada BTM beberapa bulan silam. Beberapa informasi di luar materi training juga terbilang menarik.

**

Hmm, terus terang saya pribadi masih jauh dari memadai untuk jadi seorang trainer. Tapi saya mencoba berfikir positif dan tak lantas pongah. Bagaimanapun, kemampuan riil dan fakta pengalaman interaksi di lapangan (dengan ular dan habitatnya) lah yang kelak akan menabalkan kemampuan sejati masing-masing muscle Sioux.

Siapapun yang berniat dan berhasrat melakukan advokasi publik terkait penanganan ular, ketika menghadapi kasus di lapangan, pertama-tama pastilah tak dengan menyorongkan sertifikat sebagai trainer. Partisipasi aktif dan kemampuan riilnya dalam mengatasi persoalan terkait ular, jauh lebih substantif.

Pula, tak itu bandotan macan, kadut, maupun kobra dan teman-temannya, tak menggigit orang dengan pertimbangan kepemilikan sertifikat.

Saya salut dengan rekan-rekan Sioux yang sudah lama berkiprah tanpa pamrih. Mengadvokasi publik pada bahaya laten kesalahkaprahan sebagian besar masyarakat kita dalam menangani ular. Etos ini layak dipertahankan, sekaligus diingatkan jika mulai menyeleweng dari misi awalnya. Kultur egalitarian dan sikap terbuka layak terus ditumbuhkan. Ee, siapa tahu figur-figur sekaliber Romulus Whitaker bisa lahir dari kepompong Sioux.

Juga, sembari berharap untuk bisa berbuat agar sosok-sosok macam Mbok Mintorogo mendapatkan alternatif sumber ekonomi yang lebih manusiawi sekaligus “ularwi”.

Dengan segala keterbatasannya, komentar-komentar terkait ToT yang masuk dalam inbox facebook saya dari sebagian muscle Sioux, anggaplah sebagai sebuah kegairahan. Kecintaan. Betapa mereka sayang dan berhasrat merawat komunitas yang sudah susah payah didirikan bertahun lamanya. Cukup memiliki nama dan diakui perannya. Tak ada ular yang tak retak, eh tak menggigit. Ibarat empedu ular, kritik itu pahit, tapi (konon) bikin “greng”.

Waktu yang terbatas, cuaca tak bersahabat, serta mayoritas peserta dan panitia yang kelelahan sehabis bergiat hingga dini hari sehari sebelumnya, mungkin juga mempengaruhi konsistensi panitia dalam menggarap ToT yang baru dihela untuk pertama kali. Wajar jika terlihat kurang komprehensif. Saya masih lebih enak, sebab baru datang ke Situgintung di hari kedua dengan kondisi fisik yang lebih bugar. Bisa jadi saya sedang bersemangat. Maklum lah, saya ini ular baru, eh.. muscle baru...

2 komentar:

  1. wah... seru kan?
    kok gak diceritakan ada yang bawa anak kucing?
    bwaaaahahahahaha.....

    Betul tuh mas, saya menggagas turun langsung ke lapangan mempraktikkan materi yang sudah diberikan. Awalnya Aji Rachmat kurang antusias karena beranggapan, itu kan acara pribadi mereka (Paguyuban Tani PATI) Tetapi saya bersikeras untuk HARUS!
    You know what the mamih wanted? DO IT OR NOT! Percuma memberikan materi kalau tidak diuji langsung. Kebetulan hadirin di acara sebelah itu bervariasi dalam hal usia dan gender. Jadi? Ini kesempatan baik!
    Akhirnya Aji Rachmat mulai sedikit bergerak dari notebooknya dengan meminta persetujuan dari Idur sebagai ketua diklat.
    Saya senang karena keinginan saya tidak ditentang oleh pendiri dan pengurus SIOUX.
    Mungkin katanya dalam hati: iya deh, daripada benjol....
    bwaaaaahahahahahaha........

    BalasHapus
  2. dear mamih agil...
    you're my inspiration!
    maturnuwun..

    BalasHapus