Selasa, 12 Oktober 2010

“Cinta pada Gigitan Pertama…Aouuww..!”





“Uhh..! Aaww..!”
Aji Fajri meringis menahan ngilu ketika Aji Rachmat mengurut berulangkali telunjuk kirinya yang mulai membengkak. Sore itu, tak banyak darah yang bisa dikeluarkan. “Bengkaknya lokal saja, kok. Tak menjalar terlalu jauh. Biarkan sistem imun tubuh bekerja. Daya tahan tubuh kamu bagus! ,” ujar Aji sembari sesekali mencelupkan jari telunjuk Fajri dalam segelas air panas untuk menghindari darah membeku. "Aww..aww..!"

Ya, darah Fajri harus dikeluarkan sebanyak mungkin dari sekitar luka. Biarpun hanya “keserempet” taring seekor Naja naja sputatrix kurang dari satu jam sebelumnya, tetap saja tak bisa disepelekan. Selain menimbulkan luka kecil tak jauh di ruas pertama jari telunjuk, dua benjolan nyaris sebesar kelereng tampak menyembul di ruas jari pertama dan kedua telunjuk kiri Fajri. “Kamu harus perbanyak makan makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup,” Aji menambahkan.

Fajri beruntung. Jika saja bisa kobra terinjeksi maksimal ke aliran darahnya maka ceritanya akan lain. Tanpa penanganan yang tepat, gigitan seekor kobra bisa membunuh manusia dewasa tak sampai hitungan jam. Racun bisa seekor kobra menyerang darah dan sistem syaraf korbannya dalam sekali gigit.

**

Cuaca kawasan Situgintung, Ciputat, tangerang, cerah ketika Basic Training Muscle (BTM) Sioux, kembali dihelat untuk yang kedua kalinya tahun ini. “Ini BTM yang ke empat sejak 2008,” ujar Timmi Fibrin mencoba memastikan.

Seperti halnya BTM yang pernah saya ikuti, sekitar enam bulan sebelumnya, materi training dasar tak banyak berubah. Sekitar 17 peserta baru plus belasan muscle yang berniat up grading kemampuan, mendapatkan materi biologi ular, identifikasi ular, teknik handling ular, dan penanganan gigitan ular.

Dibandingkan dengan BTM yang digelar Maret silam, grouping dan rotasi sesi pelatihan terbilang efektif membantu peserta menyerap semua materi pelatihan. Materi Biologi Ular disampaikan Winniarlita Owien dan Ichsya ul Ulum. Dilengkapi Mamih Agil dan Aji Rachmat.

Bang Nandee yang mengisi sesi identifikasi ular, datang dari Bekasi berdua dengan “istri kedua” nya, seekor Raja Kobra (Opphiphagus hannah) yang dibuntel kain sarung. Entah, apakah selama perjalanan menuju Situgintung Si Raja bersin-bersin. Saya dan Rera jadi ikan remora yang memunguti remah-remah pengetahuan yang disebar Nandee. Dosen Bahasa Inggris di sebuah lembaga pendidikan di Jakarta Timur, ini terlihat fasih mengurai klasifikasi beberapa spesies ular berikut jenis dan nama latinnya.

Mengenal klasifikasi ular serta berlatih identifikasi, memang penting. Dimensi ekologis juga masuk di dalamnya. Mulai dari habitat hidup hingga tipe aktifitas. Makanan dan cara berburu mangsa. Identifikasi fisik meliputi bentuk bentuk dan warna kulit hingga bentuk kepala dan tipe gigi (menentukan tingkat bisa).

Konflik-konflik antara manusia dengan ular, selama ini lebih dikarenakan kurangnya pemahaman manusia pada dunia ular dan karakternya. Dengan pemahaman yang memadai, kerugian yang ditimbulkan baik oleh manusia maupun ular akibat 'miskomunikasi', bisa diminimalkan. Ketakutan-ketakutan psikologis dan efek biologis dapat segera ditangani dengan benar.

Sebenarnya, sesi klasifikasi dan identifikasi ular bisa dikemas lebih menarik lagi. Saya punya pengalaman kecil yang bagi saya cukup berkesan terkait hal ini. Bukan ular memang, tapi klasifikasi dan identifikasi tumbuhan (plantae), ketika belajar anatomi tumbuhan di laboratorium biologi semasa kuliah, nun hampir 15 tahun silam.

Kala itu, setiap kelompok mahasiswa bertugas mengklasifikasi dan mengidentifikasi berbagai macam tumbuhan. Mulai dari anatomi fisik, morfologi, hingga perkembangbiakannya. Masing-masing anggota kelompok memegang buku laporan plus alat tulis.

Suatu kesempatan misalnya, dilakukan klasifikasi dan bedah anatomi tanaman singkong (Mannihot uttillisima). Dihadirkan organ-organ tanaman singkong di meja kerja. Preparat segar istilahnya. Berikutnya, masing-masing anggota kelompok menggambar sedetail mungkin anatomi salah satu bagian tanaman singkong itu serta dan diberi nama latinnya, di buku laporan masing-masing. Pada daun misalnya. Digambar mulai dari daun (folium), kemudian anak daun (foliolum), pertulangan, tangkai daun, dan seterusnya. Menyusul kemudian dibahas habitat, tipe perkembangbiakan hingga penyebaran. Perkara apakah umbi singkong nantinya lebih bagus dibikin getuk atau peuyeum, tak ada urusan.

Gambar tak harus bagus, tapi setidaknya mengandung komponen-komponen pokok yang harus diketahui ketika seseorang ingin mengklasifikasi bagian organ tumbuhan. Pengamatan visual, meraba, dan kemudian menggambarnya, niscaya akan mengaktifkan sekaligus motorik halus dan kasar dalam memahami preparat dan merekamnya dalam ingatan. Hasilnya, dengan metode itu, hingga belasan tahun kemudian, saya masih ingat rupa-rupa tumbuhan berikut klasifikasi dan morfologinya.

Mungkin ini bisa dicobakan pada sesi identifikasi dan klasifikasi ular. Anggota kelompok bisa mengamati dan mengambar sendiri fisik ular. Bentuk tubuh, tipe kepala, tipe gigi (dipandu instruktur), tipe dan rumus sisik! Dan seterusnya. Tak soal jika diktat atau buku-buku sudah menyediakan ilustrasi serupa. Ini soal proses. Bicara kendala teknis dari metode ini, bisa jadi soal manajemen waktu. Mengingat proses menggambar jelas lebih memakan waktu dibandingkan presentasi lisan.
Identifikasi ular, sekali lagi, merupakan entry point fase-fase pengenalan ular selajutnya.

Ibarat menaksir calon laki atau bini, pengenalan harus memadai agar tak timbul penyesalan di kemudian hari. “Melihat beberapa karakter ular, carilah suami yang bertipe kobra,” ujar Bang Nandee yakin. Hmm..

Entahlah, ini serius atau seloroh belaka. Kobra memang berbisa tinggi. So, patukannya maut. Dia agresif siang dan malam hari, pantang mengkeret menghadapi musuh.

Ah, mungkin ini soal selera. Masih tetap masuk akal jika tak sedikit perempuan yang lebih memilih laki-laki tipe sapi. Biarpun manut tapi royal mengucurkan susu, eh duit. Atau tipe gajah. Biarpun tambun dan terkesan alon-alon waton mlaku, dan malah disebut-sebut takut tikus, tapi teduh dan ngemong. Tapi jangan minta saya cerita soal belalainya. Bang Nandee mungkin lebih afdhol untuk menjelaskannya…

Lebih dari semua itu, saran saya yang sejak terlahir sudah laki-laki, janganlah memilih laki-laki tipe kutu atau tengu. Selain penakut dan inferior, gunanya apa coba?

**

“…Hari ini aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku... Membahayakan orang lain... Maaf yah buat org2 yang kecewa...”

Pesan itu muncul dari wall facebook Yulia Qim Deebraska, pada malam hari jauh ketika acara BTM tuntas. Hari itu, Qim membantu Nurdin Jabrik yang dikenal sebagai handler andal, dan beberapa instruktur Sioux lainnya, mendapat jatah mengawal sesi handling ular. Ini sesi yang sangat menarik, sekaligus berisiko tinggi. Harus didampingi instruktur berpengalaman. Butuh nyali lebih untuk belajar di sesi ini. Tentu, perlu sadar resikonya.

Pada BTM Maret silam, juga di sesi handling ular, tercatat lebih dari tiga orang yang tergigit ular. Dua atau tiga peserta lagi sengaja minta digigitkan ular untuk keperluan sesi penanganan gigitan ular. Dan semuanya melibatkan ular tak berbisa.

BTM kali ini memang sempat diwarnai insiden yang bikin cemas. Ya, pesan Qim itu salah satu responsnya. Bisa jadi ini ekspresi merasa turut bertanggung jawab, pula niscaya tak satu pun instruktur Sioux yang melakukan hal itu karena sebuah kesengajaan. Ini bisa jadi pelajaran yang sangat berharga.

Salah satu yang tergigit adalah Fajri, seperti diceritakan di awal tulisan ini. Lainnya, sebut saja, Mas Kumis, yang digigit seekor Phyton reticullatus sepanjang 3 meter saat hendak handling. Syukurlah, baik Fajri maupun Mas Kumis dapat ditanangani secara cepat dan tepat. Sehingga tak sampai berakibat fatal. Bisa jadi, gigitan itu mungkin akan menambah cinta pada satwa melata nan ekskotik ini. Cinta pada gigitan pertama.

Ya ampun kak, bukan salah lo kak. Saya yg malah gk enak bgt udah ngerepotin. Makasih bgt ya k...tq buat anak2 sioux..hihi..,” demikian Fajri menanggapi Qim.

Hingga lebih dari tiga jam setelah insiden itu, diam-diam saya terus mengamati Fajri. Selain jari telunjuknya yang masih bengkak, tak ada yang berubah dari penampilan fisik Fajri. Beberapa kali ia memang muntah-muntah ketika, Sioux dan sebagian peserta BTM berkumpul di rumah Nurdin Jabrik untuk evaluasi.. “Masih mual perutnya, “ terang fajri. Dua kaleng susu bear brand volume kecil dia tenggak.

Menjelang pukul delapan malam ketika saya bersiap pamit pulang. Fajri malah terlihat asyik mengganyang tiga tusuk sate ayam.

Jadi? Madjoe teroes!

4 komentar:

  1. Kalau mau di terusin masih panjang tuh pake ceritanya. aku, idur, bang nandi n bintang mengawal aji sampe ke rumah.. sebelum nya masih di temani kak owien, kresno n andry kita semua ngajak aji makan tongseng dulu... bener2 pelajaran berharga buat ku...

    BalasHapus
  2. Kejadian Aji Fajri itu saya lihat dengan jelas. Seperti ada yang mengisyaratkan kalau saya harus ke tempat itu (penanganan ular) karena beberapa hari sebelumnya saya berdialog dengan Aji Rachmat untuk membawakan materi penangan gigitan ular di fakultas kedokteran umum.

    Jantung saya dag dig dug dher! Dengkul dangdutan, bulu kuduk merinding, gigi gemeletuk!
    Betapa tidak? Saya sudah punya firasat sebelumnya bahwa akan terjadi seperti ini. Dengan cepat Aji Rachmat mengeluarkan darah dari setitik luka. Darah terus mengalir pertanda luka itu cukup dalam. Saya berlari mengambil P3K dan dengan gemetar mengeluarkan kassa dan Tieh Ta Yao Gin (antiseptik cina) lalu menuangkannya ke luka Aji. Hanya sebentar kemudian darah mengucur lagi. Aji Rachmat memplester luka, tanpa kassa. Mungkin karena panik juga. Tetapi hal ini yang menyebabkan jarinya Aji Fajri melendung karena plester terlalu kuat dan berlapis-lapis.
    Saat berkumpul terakhir, barulah plester dibuka dan darah dikeluarkan lagi. Lalu saya perban dengan kassa.
    Aji Fajri muntah-muntah karena beberapa hal diantaranya masuk angin karena kurang tidur sebelumnya saking semangatnya untuk ikut BTM dan terakhir karena dia tidak terbiasa minum susu murni.

    Saya sudah konfirmasi kepada Yulia Qim Deebraska dan menyatakan bahwa dia tidak salah. Saya dukung dia untuk terus melanjutkan menjadi pemateri penanganan ular. Saya bilang bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga!

    Saya juga konfirmasi kepada Aji Fajri, kenapa saat dibilang lepas (kobranya) kamu tidak langsung lepas?
    Aji Fajri menjawab, takutnya kalau dilempar sembarangan nanti malah kena orang.
    Jadi saya lihat dia melepas kobra dari tangannya dengan lemah lembut.

    Halaaaaaaaaah......

    nb:
    Prio juga membawakan materi identifikasi ular dengan baik. Saya setuju dengan usulnya.

    BalasHapus
  3. @ Yulia Qim : Satu lagi potret solidaritas dan rasa tanggung jawab tinggi para eksponen Sioux! Ternyata etos tanggungjawab dan setia kawan itu bukan hanya tradisi khas Korps Marinir : pantang meninggalkan kawan yang didera luka di medan tempur. (Sy jadi malu sebab tak ikut mengantar Aji Fajri). SALUTE..!

    @ Mamih AGil : Wow..Tuhan menawarkan ilmu Nya dengan sejuta cara. Makasih banyak share ilmunya, Mih.. Bravo!

    BalasHapus
  4. maafin gw yg gag bisa berbuat apa2...
    yang bisanya cuma mengkritik, ngomelin, dll yg buruk dech...
    but for me, that's just motivation for you'r...
    ambil negatifnya, positipnya buang...
    eh salah... positipnya yg diambil, tapi negatipnya anggep aja daun2 kering yang rontok di tanah n jadi kompos...

    BalasHapus