Minggu, 18 Juli 2010

Waspada! Koempeni dan Kenpeitai Moentjoel Lagi !




“Minggir!..Minggir..! Awas, haik! Bagerooo..!,”

Kenpeitai bermata sipit dengan samurai tersampir di pinggang itu mengibaskan tangan. Menyuruh seorang ibu muda yang menggandeng putri kecilnya itu menepi. Saat menghardik itu loh! Mimiknya serius meyakinkan, mulutnya dimonyong-monyongkan. Seragam hijau lumut bertabur pangkat kemiliteran kekaisaran Jepang di pundak dan dada, kian membuatnya berwibawa. Sesekali Sang Kenpei menaikturunkan kacamata bulatnya. Mendelik-delik ke arah si bocah. Eeh, alih-alih takut, si ibu dan putrinya malah senang dan cekikian. Lah, kok!

****

Woah! Pipiku tau ditampar kempei ping pindo! Pluok!..pluok! Loro tenan! Kempei kui kejam, galak’e ngepol!” (“Wah, pipiku pernah ditampar kenpeitai dua kali. Plok! Plok! Sakit banget. Kenpei itu kejam, galak banget!”) ujar Mbah Darmo (80an), menceritakan pengalamannya ditampar kenpei, lebih dari enampuluh tahun silam. Mbah Darmo yang saya temui di Yogyakarta, awal Juni, adalah satu dari sekian ribu mantan pekerja paksa di masa pendudukan Jepang (romusha). Di luar performa fisik dan pendengaran yang kian menurun, ingatan Mbah Darmo relatif tajam. Suatu ketika misalnya, Mbah Darmo bersama ratusan pemuda lainnya dari kawasan Prambanan, digiring ke lapangan terbuka di kawasan Maguwoharjo. “Nyang Meguwo, awakku kon ngatoske dalan pesawat Jepang. Bayarane beras sak pincukan. Kabeh korengen!,” (Di Maguwo, Saya disuruh mengeraskan landasan pesawat tentara Jepang. Bayarannya beras sepincuk. Semua romusha korengan!) papar Mbah Darmo dengan tatapan menerawang.

Kini, lapangan udara Maguwoharjo yang penggarapannya di masa Dai Nippon berkuasa melibatkan ribuan romusha, itu telah menjadi Bandara Internasional Adi Sutjipto. “Kancaku tau dibaret nganggo bayonet wetenge!,”(temanku pernah digores perutnya menggunakan bayonet) imbuh Mbah Darmo, yang juga adalah paman ayah saya.

***

Untunglah, Kenpei galak yang berlagak di Senayan dan seputaran Jakarta sejak 16 – 18 Juli lalu itu ternyata gadungan alias imitasi. Bilah samurai, pistol jenis Vickers, juga senapan semi otomatis di punggungnya, adalah tiruan belaka. Pula, mana ada kenpei Jepang menyandang nama Sutjipto. “Ya, saya ikut meramaikan saja, Mas!,” terang Kenpei Tjipto mengaku. Ketika saya cegat di “pasar klitikan”, sepanjang balkon kawasan kolam renang Gelora Bung Karno yang hari itu berubah jadi pasar onderdil sepeda bekas dari berbagai daerah, Kenpei Tjipto tengah memilah lampu sepeda bekas.

Ya, Kenpei Tjipto hanyalah satu dari lebih duaribu penghela sepeda onthels yang tengah berpesta dalaam… Kongres Sepeda Indonesiaa!

Rupa-rupa belaka dandanan para onthelis yang saya temui ahad (18/7) lalu. Dari yang berbaju adat daerah, sosok punakawan, koki, hingga (yang cukup banyak) adalah peserta dengan atribut serba djadoel. Tak heran jika bazaar memorabilia dan barang-barang bekas, paling heboh disatroni pengunjung. “Silakan, Mas! Ini kacamata asli loh!,” ujar Munadi, penjual aneka kacamata “tempo doeloe”. Ia membanderol dagangannya dengan kisaran harga belasan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Munadi yang datang dari Subang, Jawa Barat, juga menawarkan radio kuno dan bermacam kaset.

Lain lagi dengan Muntholib (48), yang datang dari Madiun beserta 50an rekan penggemar onthel. Diangkut kereta api barang mereka langsir ke Stasiun pasar Senen. Bersama sepeda onthel kesayangan, ikut terangkut perlengkapan masak dan pernak-pernik yang akan dipamerkan saat arak-arakan keliling Jakarta.

Suasana akrab dan guyup terlihat ketika Muntholib dan sohib penggemar onthel dari berbagai daerah bersua. “Ini nikmatnya ngonthel, Mas! Kita ndak menonjolkan apa yang kita punya, tapi menawarken apa yang kita bisa, hehe”. Siang itu, dari semula hanya karyawan swasta dengan tiga anak, Muntholib moncer jadi Letnan Kolonel Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Lengkap dengan seragam warna khaki, peci warna krem dipasang miring, plus selempang kulit dengan sepucuk pistol di pinggangnya yang gendut.

Aaangkat tangann..! Menyerah ato modiarr!,” ancam Muntholib kepada koleganya yang hari itu jadi tentara KNIL, salah satu korps tentara bentukan militer kolonial Belanda. Ditodong Letkol Muntholib, tentara Kumpeni yang menyandang senapan laras panjang itu pilih angkat tangan dengan raut muka belagak kecut. Fragmen guyon itu pun diakhiri dengan tawa yang pecah.

***

Asyik sekali bersua dan ngobrol dengan para onthelis dari berbagai kota yang mengepung Ibu Kota. Saya memang lebih terbiasa dengan sepeda gunung, dan cukup rutin bersepeda. Saya merasakan bagaimana para onthelis sangat jarang “pamer kekayaan” sepeda. Mereka lebih condong menawarkan kebersahajaan dan solidaritas. Tapi, buang jauh-jauh anggapan bahwa sepeda onthel berikut komponennya murahan belaka. Terlebih yang orisinil dan memang berusia lawas. Di sebuah stand “Gazzelle” misalnya, tampak dipajang sepeda tua seharga Rp 10 juta – Rp 20an juta. Lainnya di kisaran Rp 15 juta. Di kalangan penggemar sepeda gunung, sepeda seharga Rp 30 juta – Rp 100 juta lebih, tidaklah mengherankan.

Lebih dari semua itu, kalangan onthelis itu telah “memamerkan” sesuatu yang sangat bernilai. Etalase toko sepeda manapun tak mungkin memajangnya, karena teramat mahal dan langka : kebersahajaan dan solidaritas. Entah, di mana saya bisa membelinya untuk saya pamerkan setiap kali bersepeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar