Minggu, 25 Oktober 2009

Antara Verry, “Sum” dan Mujinem


Sorot matanya nanar, rasa getun teramat sangat yang lama dipendam. ”…Terminal tiga itu…sarang perampok!” sembur perempuan bertubuh ramping itu dengan bibir agak bergetar. Tata cahaya di panggung minimalis itu meredup perlahan. Beberapa jenak, lantas, byarr! Lampu-lampu kembali berpendar terang. Tepuk tangan terdengar dari bangku penonton.

Malam, 12 Oktober itu, Bernadetta Verry Handayani tengah mementaskan teater dalam monolog “Sum ; Cerita dari Rantau”. “Sum” adalah oleh-oleh hasil riset Verry selama sepekan mengamati fragmen hidup sejumlah TKW di bandara, juga di kampungnya.
Banyak orang mahfum, biarpun dielu-elu sebagai ‘Pahlawan Devisa’, para TKW seringkali diperas setiba di negeri sendiri. Bandara Soekarno Hatta disebu-sebut sebagai salah satu ladang empuk praktik pemerasan para “pahlawan” itu. “Sarang Perampok!”

Dengan naskah ditulis oleh Andri Nur Latif, rekan Verry di Teater Garasi, “Sum” dipentaskan di halaman parkir kantor Komnas HAM sebagai bagian dari kampanye mendorong perlindungan perempuan pekerja migran alias TKW.

“Besok langsung ke Semarang, dipentaskan di sana,” papar Verry kepada saya, beberapa jenak saat mulai memerankan “Sum”. Menjelang pentas, ia tak henti menggerakkan tubuh. Meregangkan otot. Melompat-lompat.

Dibantu Bahrul Ulum, rekan Verry di Teater Garasi, sebuah microphone berukuran mini diselipkan di sisi kaus dekat leher.

Tak banyak properti di panggung 5m x 8 m beralas karpet merah itu. Seperangkat meja kursi kecil. Tape recorder, gentong keramik tanah liat, juga beberapa foto. Satu foto perempuan dipastikan dikenal hampir semua penonton di pentas itu. Marsinah.

Verry harus melupakan semuanya malam itu. Sebab ia akan menjelma “Sum”. Tak mudah.

Ayah Verry, Antonius Sukirno, terbaring lemah di kasur tuanya. Stroke menjadikan ritus geraknya teramat jarang keluar dari radius emperan rumah, kamar mandi, tempat tidur. “Maemnya masih bagus, masih bisa merepons omongan orang. Cuma, Bapak memang harus menenangkan hati, itu yang nggak mudah” ujar Ibunda Verry kepada Saya di rumahnya, sekitar dua pekan sebelum Verry mementaskan “Sum” di Jakarta.

Jika ada tugas ke Yogya, sesekali saya menyempatkan mampir ke rumah Verry. Menengok putri kecilnya, Lantannya Randya Gentari. Obrolan saya dengan Sukirno tak jauh dari perkara cuaca, atau Jogja pasca gempa. Kegiatan sehari-hari. Kadang politik.

Seingat saya, Sukirno simpati pada sebuah partai politik besar yang dikenal memiliki garis politik oposisi dengan pemerintah. Ia antusias ketika diajak bicara. Tak pernah mencoba berjarak. Saya lihat, ia biasa mengoleskan minyak angin atau balsem di sekitar leher dan hidungnya.

"Mbakyu mu memang begitu. Hobby. Mungkin hatinya di situ," Ujar Sukirno sembari membetulkan gagang kacamatanya. Entah, Sukirno menyesal atau mengerti pilihan putri keduanya itu untuk menggeluti teater. "Woo, ya. Mbakyumu sampai ke Jepang juga, kok. Mbuh, mau mentas di mana lagi nanti," imbuh Sukirno. Kulirik air mukanya ketika mengucapkan kata itu. Mata Sukirno agak melebar, ada binar samar di sana.

Kabar terakhir yang saya terima, Sukirno dirawat di sebuah rumah sakit di Yogyakarta.

Lantannya, biasa disapa Tanya. Saat ini belajar di sebuah sekolah alam di Yogya. “Lantanya itu kan nama bunga. Lantana, Lantana camara linnaeus” kata saya kepada Teguh Susilo Adjie. “Lah, Randya Gentari, kuwi artine ora nduwe gentar,” imbuh Adjie dengan mata separuh mendelik dan gigi menyeringai. Sepertinya ia memang tak gentar memberi puterinya nama itu.

Tanya atau Nyanya, tampaknya punya hasrat seni juga. Saya pernah melihatnya meliukkan tubuh mengikuti lantunan akapela dari mulut Bapaknya. Geraknya spontan, tapi tampak tidak ngawur. Persendian di lengan dan jarinya nampak lentur.

Ia juga gemar menggambar. Obyek rumah dengan kupu-kupu, burung, dan jemuran. Sesekali diimbuhi balloon, kotak dialog antar penghuni bidang gambar.

Menari, mungkin ini karena Adjie yang dulunya memang seniman tari. Saya pernah menyaksikan salah satu nomor tarinya di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta Timur. Saya tak ingat apa judul tariannya. Penata tarinya adalah Sutopo Tedjo Baskoro. Ia menari antara lain bersama Flory Fono.

Pernah juga menyaksikannya pentas di Taman Ismail Marzuki. Ia berduet dengan penari asal Jepang, Uki Naka, dalam satu nomor tari dengan koreografer Bagus Budi Indarto. Semua tari kontemporer.

Jika Nyanya terlihat luwes membawakan sebuah tarian, mungkin memang karena pengaruh Adjie. Tapi, saya tak mendapati gelagat apapun dari keluarga Adjie dalam hal tari. Dalam hal menggambar, lukis, mungkin ada. Kakek dan Ayahnya terampil dalam menggambar. Pamannya pelukis dan guru seni rupa.

Bisa jadi, Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo (PSBK) lah yang pertama kali membentuknya menjadi penari.

Saya duduk si tahun akhir sebuah SLTA di Prambanan, ketika Adjie minta agar saya mengambilkan formulir pendaftaran cantrik PSBK. Adjie tak berani pergi ke PSBK di Kasihan, Bantul, sendiri saja. Berikutnya, saya juga yang mengantarkannya untuk mendaftar sebagai cantrik, murid tari. Saat itu, empu tari Bagong Kussudiardjo (BK), masih hidup dan berkarya.

Tapi saya belum pernah menyaksikan Nyanya berakting, secara sadar atau dikondisikan.
Jauh sebelum melakonkan “Sum”, saya menyaksikan aksi teatrikal Verry pertama kali pada 1999. Di Gedung Taman Budaya Yogyakarta (sebelumnya Gedung Societet Militer). Pada awal Desember sepuluh tahun silam itu Ia memerankan tokoh Lucky dalam lakon “Sementara Menunggu Godot” (While Waiting for Godot). Aslinya Waiting for Godot, karya Samuel Beckett.

Disutradarai Retno Ratih Damayanti, semua karakter dimainkan aktor perempuan Teater Garasi. Verry jugalah yang menerjemahkan script karya besar Beckett itu dalam bahasa Indonesia. Saat itu saya masih kuliah semester akhir di sebuah PT di Yogya.
Saya tak pernah benar-benar paham lakon Godot. Tapi pernah membaca polemiknya di beberapa mimbar sastra dan “pasar wacana”, jauh sebelum saya menyaksikan pementasan Godot oleh Garasi.

Seorang rekan yang menyaksikan pementasan itu berpendapat, bahwa jalinan dialog antara Estragon (Gogo), Vladimir (Didi), Pozzo, Boy dan Lucky yang dibawakan aktor-aktor Garasi itu memikat. Lantas ia minta pendapat saya. “Absurd. Lebih dari itu saya kasihan pada Lucky, punggungnya pasti memar sebab membungkuk dari awal hingga akhir pementasan,” jawab saya. Selanjutnya, di sepanjang perjalanan menuju kost, teman saya itu tak bertanya lagi sepatah kata pun menyoal pertunjukan malam itu.
Lamat-lamat saja yang bisa ingat dari pementasa Godot oleh Garasi. Satu hal, saya juga seperti diajak menunggu tak tentu temu oleh biksu cilik Do Nyeom (Kim Tae Jin ?) dalam film Korea, "a Little Monk". Nyeom teramat sukar meraba deskripsi, seperti apa sebenarnya raut muka ibunya. Sedari kecil ia dititipkan di kuil yang dirimbuni pokok-pokok maple dan digurat selarik sungai berair bening itu. Mungkin Nyeom lebih beruntung, sebab ia masih bisa membayangkan rupa sang ibu lewat perempuan-perempuan yang pernah melintas di selasar kuil itu. Gogo, Didi, Pozzo? Mengandaikan eksistensi Godot di ceruk-ceruk kegalauan mereka sendiri.

“...Banyak hal yang kita tunggu tak akan pernah datang. Meski magnolia-magnolia mekar dan rontok, lagi dan lagi. Meski goresan di pohon maple makin tinggi dan tinggi..
“.. yang bukan milik kita tak akan pernah datang pada kita..
” “Do Nyeom, kau beruntung, mempunyai sesuatu yang kau cari..,” hibur Paman Penebang Kayu, sebelum Nyeom memutuskan minggat dari kuil. Menerabas kepekatan hujan salju. Mencari Godot nya sendiri.

Akting Verry bersama Garasi lainnya yang sempat saya simak adalah Repertoar Hujan (Rain Repertoire). Teater yang naskah dan penyutradaraannya dibesut Gunawan Maryanto itu saya saksikan di Gedung Bentara Budaya, di kawasan Palmerah Selatan, sekitar 2001.

Sependek yang saya ingat, Verry bermain, antara lain, dengan Jamaluddin Latif.
Minim dialog, kaya gerak. Di penggal adegan, saya dapati keduanya berduel menggunakan gerakan silat, kuda lumping, tari topeng, dan entah apa lagi. Mengingat kuda-kudanya, sepertinya formasi Bangau Putih. Atau malah ten kutzu dachi, juga hiba dachi, formasi yang pernah saya pelajari bersama Adjie saat kami masih di sekolah menengah.

Gunawan, dibandingkan Repertoar, saya lebih bisa menikmati puisi-puisinya. Juga sejumlah cerpennya. Terakhir, saya baca cerpennya di sebuah harian terbitan Jakarta berjudul “Mugiyono”.

Satu pementasan teater lagi saya lupa judulnya. Digelar di Pusat Kebudayaan Perancis, Yogyakarta.

“’Waktu Batu’, apik banget. Lah kamu, ora nonton,” ujar Verry suatu ketika. Kali ini dengan nada menyayangkan.

Mungkin sekitar dua malam “Waktu Batu” dipentaskan di gedung kesenian yang hanya berjarak sepelemparan batu dari kantor saya di bilangan Cikini. Entah, berapa lusin lagi garapan awak Garasi yang absen saya tonton.

Tapi, dari yang sedikit itu, “Sum” adalah yang paling realis. Saya sempat ingin tanya, apakah lakon ini adalah pesanan sebuah institusi atau sebentuk partisipasi.
Ketika saya mulai duduk di kursi penonton menyaksikan Verry melakoni “Sum”, ingatan saya langsung melayang pada Mujinem.

Paruh baya, sulung dari tiga bersaudara kelahiran Dusun Adiluwih, Pringsewu, Lampung Selatan. Di kawasan eks transmigran asal Pulau Jawa itu, Mujinem tinggal bersama Ibunya, Suci dan kedua adik lelakinya, Mujiman dan Kukuh.

Perkenalan saya dengan Mujinem berlangsung sejak saya kanak-kanak. Gadis sederhana berparas manis, rutin membantu ibu di dapur dan warung kecilnya. Sesekali juga ke kebun. Tipikal gadis-gadis sebaya di kampung itu.

Sang adik, Mujiman, laki-laki tampan bertubuh tinggi, paling sering mengajak saya ke kebun yang cukup luas di belakang rumah. Rambutan, kelapa, pisang, dan vegetasi khas tegalan tumbuh rimbun di sana. Musim rambutan adalah saat paling dinanti, buahnya besar-besar dan nglotok.
Mujiman juga yang paling tahu melebihi siapapun bahwa saya menggemari kenthos. Itu istilah setempat untuk menamai bakal tunas yang menyembul di sisi dalam buah kelapa. Bentuknya membulat dengan warna putih kekuningan. Tekstur kenthos renyah dengan rasa legit yang khas. Berbutir-butir kelapa, umumnya berusia tua, telah dibelah oleh tangan kokoh Mujiman hanya untuk memenuhi hasrat saya mengudap kenthos.
Aksi Mujiman membelah kelapa tua untuk menemukan barang sebutir kenthos hanya bisa dihentikan oleh hardikan Suti, Bu Lik (tante) Mujiman. Hardikan itu melengking, yang anehnya selalu disertai telunjuk dan cemberut muka yang selalu mengarah kepada saya, putranya. Padahal saya hanya bertugas mengunyah kenthos, tak lebih.

Adapun Kukuh, laki-laki kekar tapi tak sejangkung Mujiman, lebih sering bermain dengan Teguh Susilo Adji, keponakannya yang relatif sebaya.
Di malam hari, Kukuh gemar mengeluarkan bunyi-bunyian aneh di samping dekat tempat tidur saya, itu jika saya menginap di rumahnya. Suara itu terdengar jelas, sebab dinding anyaman bambu (gedheg) selalu menyisakan banyak celah. Maka, suatu malam saya akan mendapati suara orong-orong, tokek, burung hantu, atau bahkan cekikik tawa kuntilanak.

Biarpun takut, saya tahu suara-suara itu keluar dari mulut Kukuh.

Kini, Mujiman terbilang sukses sebagai petani kakao. Pringsewu, dan sebagaian Lampung mengalami booming kakao lima tahun terakhir. “Kakao basah harganya Rp 14 ribu sekilo,” papar Mujiman ketika saya mengunjungi rumahnya dua tahun lalu. Sepekan dua kali Mujiman menghunus parang buat memotong buah berbentuk lonjong itu di kebun.
Sekali panen, Mujiman bisa menjemur setidaknya dua kuintal buah bahan baku utama industri coklat itu di emperan rumah. Mula-mula sepotong kayu dihantamkan pada permukaan buah kakao, dicongkel bijinya yang diselubungi lapisan lendir warna putih. Lantas dijemur. “Belum sampai kering saja sudah dibeli pemborong,” ujar Mujiman.
Kakao menjadikan mereka cukup makmur. Padahal, lebih dari dua dekade lalu, keluarga kecil Suci adalah konsumen oyek yang telaten. Oyek, penganan berbahan baku hasil parutan ubi kayu yang dikeringkan itu adalah makanan pokok pengganti beras di kawasan sulit air itu.

Suatu ketika, saya mendapati oyek yang ditanak layaknya beras itu disajikan bersama dadar telur bebek. Biarpun teramat lapar, jangan terlalu kenyang makan oyek. Buang air besar bakal menjadi ritus yang agak merepotkan. Sampai sepuluh tahun silam, jamban atau wc masih berupa kubangan kecil dengan air menggenang. WC cemplung istilah lainnya. Jaraknya dengan rumah tak selalu dalam hitungan langkah. Malahan bisa berada di tengah kebun, seratus atau duaratus meter dari pintu belakang rumah.

Berkat kakao, kini, di depan rumah Mujiman berdiri Warung sembako berukuran 5m x 7m. Setahun lalu, Mujiman bahkan bisa memberangkatkan Ibunya, Suci, ibadah haji di Mekkah.

Biarpun lebih makmur, saya tetap merasa ada yang hilang. Saya tak bisa lagi berharap biarpun hanya sebutir kenthos. Juga rambutan. Tanaman-tanaman yang selalu jadi motivasi utama saya mengunjungi tempat itu kini telah habis dibabat. Berganti dengan ratusan pokok kakao dengan tajuk merimbun. Mujinem, biarpun kini kampungnya lebih makmur berkat kakao, sepertinya belum berniat pulang. Sejak belasan tahun silam Mujinem telah menggantikan peran “Sum” dalam arti sesungguhnya. Jadi TKW di Arab Saudi.

Sepertinya Mujinem kerasan di Arab Saudi. Majikannya baik. “Ora tega ninggalke anakke majikanku suwe-suwe,” ujarnya ketika mampir ke tempat saya tinggal, di Depok, sekitar setahun lalu. Ia tak tega meninggalkan anak-anak majikannya terlalu lama.
Seperti dituturkan Mujinem, ibu-ibu warga Arab Saudi jarang sekali momong anak dengan ketelatenan khas umumnya emak-emak di negeri ini. Dari memandikan, mengganti popok, bikin susu, mengantar sekolah, hingga menidurkan, semua ditangani pembantu. Mujinem tak cerita, ke mana saja enyak-enyak Arab itu pergi begitu mereka tak di rumah.

Bisa jadi, saat di mana pembantu bisa lepas tangan adalah saat majikannya ‘membuat anak’ dan melahirkannya ke muka bumi.

Anak-anak Mujinem, saya mengenal puteranya, Sugeng Prantio. Lulusan Fakultas Kehutanan IPB. Anak yang cerdas dan mandiri. Hingga saat ini ia bekerja di sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam kampanye pemberdayaan masyarakat hutan lestari, The Forest Trust (TFT), di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Jika “Sum” digambarkan sebagai ‘mengenaskan’, saya tak melihat sedikit pun tergambar hal itu di kerut wajah Mujinem. Sayang, saat itu saya tak tanya, apakah ia juga pernah mengalami “perampokan” di terminal tiga, seperti yang pernah dialami “Sum” dan kawan-kawan.

Sekilas, di gurat wajah Mujinem yang mulai menua, memang bisa dilihat raut kepasrahan. Menjadikannya gampang rindu untuk kembali ke rumah majikan di Arab Saudi daripada pulang ke kampung sendiri.
Atau, gemerincing rial tetaplah daya tarik yang sukar ditampik. Tak mudah didapat jika hanya mengandalkan sepetak dua kebun kakao di kampung sulit air. Belasan tahun jelas bukan waktu sekejap. Di tengah humbalang kisah derita TKW yang lazim tersaji di koran-koran.

Berubah modus, perampok seringkali tetaplah perampok. Di terminal berapa saja. Dan Mujinem hanya lebih beruntung daripada “Sum”. Bernadetta Verry Handayani dan garasi kembali menegaskan itu lewat pementasannya. Malam lalu.

3 komentar:

  1. Terus berkarya Saudaraku!Sahabatku! Saya salut dengan tulisannya, layak loh mulain nulis naskah cerita. Terharu jadinya, jadi ingat masa kanak-kanak dulu waktu saya suka ikut berkunjung ke Gisting.By the way Sukses ya Lek Pri....

    BalasHapus
  2. Salut atas tulisannya. Tidak coba buat buku ceritakah? terharu baca cerita ini. Melayang ingatan semasa kanak-kanak, waktu bermain di Gisting. Udara sejuk, makan bakso, minum es campur, lihat orang lalu lalang di Pasar Gisting. Tak terasa ternyata itu sudah lama berlalu, kini kita telah menjadi generasi berikutnya.

    Sukses buat Saudaraku Lek Pri dan Keluarga. Semoga Allah SWT memudahkan kehidupan dan menuntun jalan hidup kita pada jalan yang benar, amin

    BalasHapus
  3. Dear, Sugeng. Masa kanak-kanak kita memang indah, syahdu, biarpun seringkali mengalir tak mudah. Kita akan selalu merindukannya, sepahit apapun gejolak yg pernah kita cerna. Dari mozaik kanak-kanak kala lampau pula kita bisa terus belajar. Terutama Bab Ketekunan dan Kerendahan Hati. Tak lelah mengenang dan mendo'akan Para Tetua yang telah membukakan jalan lapang bagi kita. InsyaAllah. Salam bwt Hamam dan Bundanya yah...

    BalasHapus