Senin, 12 Oktober 2009

Ganji Ayu di Matsuri, Apem Terbang di Yaqowiyyu




Ganji yang satu ini sungguh membuat saya kesengsem. Bukan cuma senyum lebar di gurat wajah manisnya yang memesona, tapi kombinasi gerak memukul taiko (gendang) kecil seukuran rebana yang berpadu rancak dengan gerak tubuh dan langkah kakinya juga enak disimak. Ia satu dari empatbelas ganji yang sore itu mendapat jatah membawakan tarian Okinawa Esia, salah satu acara “Jakarta- Japan Matsuri 2009(JJM 2009)” yang berakhir ahad, 11 Oktober lalu.
Di habitatnya, Kota Okinawa, Festival Eisa digelar untuk menandai datangnya musim panas. Festival digelar sejak awal Juni. Lazimnya, tarian dengan instrumen taiko berbagai ukuran itu dibawakan oleh 20-30 penari yang sekaligus berperan sebagai pemukul taiko alias Ganji.
Lah, ganji ayu yang saya lihat dalam formasi penari Okinawa Esia itu pentas di salah satu sisi Lapangan Monas saat Jakarta memasuki musim hujan. Jadi, kebalikan dengan musim pergelaran serupa di Perfektur Okinawa sono. Alhamdulillah, biarpun digelar saat awal musim penghujan, cuaca di Jakarta sepanjang sore itu ndilalah cerah belaka. Entah, berapa pawang hujan yang disiagakan agar “Saudara Tua” bisa maksimal mementaskan fragmen budaya dari negerinya. Sesore itu hidung saya tak menghirup bau kemenyan..


Sayang, pagelaran tari Okinawa Eisa hari itu berlangsung teramat singkat, tak sampai sepuluh menit. Panggung semi terbuka berukuran 12 x 6 meter itu juga terlampau sesak oleh ratusan penonton yang berjubel merubunginya. Saya jadi kesulitan mengambil sudut yang pas untuk memotret Ganji ayu dan kawan-kawannya saat beraksi membawakan tarian Eisa Okinawa. Untuk jarak sedekat itu, saya hanya membawa kamera dengan lensa 200 milimeter. Ditambah lagi, Melly San, istri saya, sudah melayangkan sikutan kecil ke arah rusuk. Pertanda saya harus menjauhi panggung untuk menuju stand-stand lain yang juga dijubeli pengunjung. Gagal sudah rencana saya menuntaskan gairah yang masih meluap untuk mengabadikan lebih banyak lagi aksi mBak ganji…dan kawan-kawan.
Di sudut berbeda, keringat Odajima San terus mengucur dari wajahnya yang bulat. Handukkecil warna hijau yang tersampir di lehernya yang kekar nyaris kuyup. Ia adalah satu dari lebih dari selusin calon pembawa arak-arakan mikoshi. “Ini salah satu bentuk persembahan kepada Tuhan,” papar Odajima San kepada saya melalui percakapan yang diterjemahkan Erizawati, rekan saya, atau tepatnya sohib Melly San. Erizawati dan Melly San satu angkatan saat kuliah pada jurusan Sastra Jepang di Universitas Bung Hatta, Padang, pertengahan 90an.
Sungguh beruntung hari itu kami mengajak serta Erizawati. Kemampuan berbahasa Jepangnya jempolan. Gadis minang bertubuh mungil ini punya sertifikat level 1 ( skala 1-4) atau level tertinggi dalam kemampuan berbahasa Jepang. Erizawati, Melly Chan dan juga beberapa rekannya memanggilnya Iwat, pernah beberapa tahun belajar di Jepang. Makanya Erizawati alias Iwat cukup cas-cis-cus bercakap maupun menulis dalam Hiragana dan Katagana. Pengalaman kerjanya sebagai penerjemah di beberapa perusahaan memungkinkannya bolak-balik ‘melancong’ ke Jepang. Setelah resign dari pekerjaan penerjemah pada sebuah perusahaan di Batam, kini ia bekerja di sebuah perusahaan lain di Cikarang, lagi-lagi sebagai penerjemah. Kata Melly San, gajinya lumayan gede. “Lebih lagi masih single, keponakannya saja dibelikan Mio,” ujar Melly San kepada saya suatu ketika. Hingga tulisan ini selesai diposting, Iwat tampaknya masih senang melajang. Kalau tak ada aral melintang, kami merencanakan untuk menulis (adaptasi) sebuah novel penulis Jepang. Iwat sempat semalam menginap di rumah saya di kawasan Cagaralam, Depok. Tampaknya ia kangen ngobrol dengan Melly San. Masih menurut Melly, Iwat cenderung pendiam jika tak menemukan orang atau topik percakapan yang menurutnya menarik. Tapi, seharian menginap di rumah, saya sesekali mengamati Iwat bercakap dengan Qen Ghifary Wisanggenie (4,5 tahun) putra saya. Padahal, diantara kakak dan para keponakan Qen dikenal suka usil dan biang ribut.
Beberapa jam sebelum kami berangkat menonton JJM 2009 di kawasan Monas, Erizawati masih sempat memberikan saya halaman prolog, serta dua bab dari terjemahan novel yang jadi proyek kami. “Berapa lama kamu menerjemahkan ini,” kata saya sembari membaca paragraf demi paragraf prolog dan dua bab yang terlihat mengalir dan wajar lazimnya bukan hasil terjemahan itu. “Beberapa jam saja, kulakukan sepulang kerja,” ujar Erizawati enteng. Sekilas bisa dilihat novel yang ditulis berdasar kisah nyata itu. Mungil. Kertas tipis halus warna kekuningan, mirip kertas yang dipakai Majalah TIME, dengan size tak lebih dari 15 x 25 sentimeter. Tebalnya kira-kira dua sentimeter dengan aksara Jepang di lembar-lembarnya.
“Ya, di Jepang Mikoshi biasa diadakan pada musim panas,” imbuh Mishima San, rekan Odajima. Mishima San juga tampak berkeringat, kacamata hitamnya kontras dengan warna kulit mukanya yang kuning cerah. Ketika Erizawati, Mishima San dan Odajima Shan bercakap, gesture tubuh mereka beberapa kali terlihat terbungkuk-bungkuk. Batin saya, kalau Erizawati menguasai bahasa etnik India, saat bercakap seperti hari itu, pasti kepalanya yang menggeleng-geleng seperti aktor-aktris Bollywood berdialog. Punggungnya nganggur.
Sekilas, bentuk Mikoshi menyerupai miniatur kuil yang diletakkan pada dua bilah kayu panjang yang berfungsi sebagai tandu. “Kuil” mini itu dominan dengan warna merah dan emas. Di Jepang, tak jarang Mikoshi dilapisi emas dan aneka asesoris. Orang Jepang percaya ada Dewa yang tinggal disitu. “Beratnya satu ton dan 250 kg,” ujar Mishima San sembari menunjuk dua mikoshi itu. Satu ton? Salah duga, saya kira cukup enteng. Ukurannya saja tak lebih tinggi dari 1,5 m dan lebar 1,5 m. Mikoshi satunya lagi malah berukuran hampir separuh dari yang pertama. Sore itu saya melihat keduanya terongok tak jauh dari panggung utama festival. Diberi tali tambang pembatas warna putih dan dijaga setengah lusin petugas keamanan berseragam biru. Banyak juga pengunjung yang menjadikannya latar belakang untuk berfoto. Saya juga memotretnya dari beberapa sudut. Iseng saya amati, rata-rata pengunjung yang berfoto dengan latar belakang mikoshi berpose dengan jari tangan membentuk huruf V, victory. Saya tak yakin, mereka barusan memenangi kuis atau lotre.
Di sisi depan mikoshi ada sebotol sake dan beberapa gelas plastik. “Apakah para pemanggul mikoshi dibiarkan teler dulu sebelum mulai mengaraknya,” Tanya saya iseng. “Ah, tidak, tidak! Mereka tidak boleh mabuk saat memikulnya,” sergah Mishima San. Ooo..

Melihat sebotol sake, bir khas jepang hasil fermentasi beras, membuat saya membayangkan lagak langkah Jacky Chan dalam film kungfu Drunken Master, yang tetap sakti biarpun dalam keadaan teler. Ternyata, mabuk bagi pemikul mikoshi haram hukumnya.
Saya melihat lusinan pemikul Mikoshi sedang bersiap. Macam-macam model pakaian mereka, agak susah mendeskripsikannya di sini. Mereka terdiri dari orang tua hingga anak-anak (umumnya sebagai pengiring). Laki-laki maupun perempuan. Hari itu, cukup mudah membedakan mereka yang “warga” Jepang asli maupun partisipan lokal yang “kejepang-jepangan”. Warna kulit mereka khas. Dan, terus terang ini yang membuat saya cukup bergairah menikmati Matsuri : gadis-gadis Jepang yang rata-rata cantik. Ketika saya mengungkapkan ini dihadapan Melly San dan Erizawati, spontan mereka menjawab bersamaan “Wuooo….”. Wisanggenie yang kecapekan dan saya gendong di punggung memilih diam saja. Dari pengalaman bergaul dengan Wisanggenie selama ini, nampaknya dia tahu maksud kata-kata saya barusan. Tapi, sepertinya hari itu Wisanggenie ada di pihak kaum laki-laki.
Sinar matahari sore itu boleh redup, tapi tidak demikian dengan semangat seorang laki-laki berkewarganegaraan Jepang bertubuh tegap itu. Ia tengah memandu latihan gerak langkah duapuluhan gadis cilik (5 – 12 tahunan) yang akan berperan sebagai pengiring arak-arakan mikoshi. “Satu..! dua..! tiga..! ampat..! Ulangi-ulangi..! Yak, mulai, satu..! dua..! tiga..!,” teriaknya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih. Dasar anak-anak, “Ee, tunggu! Tunggu! Kesini..! Saya kira kamu dibawa kucing garong!” ujarnya mengingatkan bocah-bocah yang memakai dandanan unik yang sering mencelat keluar dari barisan itu. Beberapa pengunjung tertawa melihat polah pemandu yang kocak plus tingkah bocah-bocah cilik dengan dandanan bak dewi-dewi khayangan dengan tongkatnya yang bergemerincing. Beberapa bocah berusia paling muda terlihat paling sering ngeloyor keluar barisan sebelum satu tahapan latihan usai. Mereka menuju emaknya masing-masing yang ikut menyaksikan latihan. Dewi-dewi khayangan mungil ber make up menor dengan bibir bergincu merah menyala itu rupanya kehausan, minta disuapi makanan kecil atau es buah. Maklum, bocah-bocah Indonesia asli, Pelatih San!

Yaaqowwiyuu…
Melihat arak-arakan Mikoshi hari itu mengingatkan saya dengan arak-arakan serupa, yang rutin digelar di salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Bedanya, yang diarak bukannya miniatur kuil layaknya Mikoshi, melainkan gunungan kue apem. Dan entah, berapa ratus kilogram beratnya. Ritual Yaqowwiyu namanya.
Digelar dikawasan Jatinom, sekitar 20 kilometer utara Klaten. Arak-arakan pemanggul gunungan apem, penganan tradisional berbahan tepung beras dan gula merah itu, digelar setiap Bulan Sapar dalam kalender Jawa. Setelah didoakan, tumpukan ribuan potong apem itu disebarkan ke ribuan pengunjung yang menyemut. Mereka percaya apem yang mereka peroleh akan membawa berkah.
Tradisi ini konon digelar menandai kepulangan Kyai Ageng Gribig, seorang ulama penyebar ajaran Islam asal Jatinom seusai berhaji di Mekah. Kabarnya, beliau menenteng oleh-oleh kue apem untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabatnya. Belum jelas benar, apakah apemnya made in Mekah atau racikan sang kyai sendiri. Yang jelas, sang kyai kekurangan stok apem akibat pincangnya supplay and demand. Alhasil, beliau memerintahkan pengikutnya untuk memproduksi lebih banyak apem untuk dibagikan pada hari Jum'at Pon.

Jangan samakan karakter warga Jepang yang biasa disiplin dan tertib dengan masyarakat Indonesia, terlebih di era Kyai Gribig sekian abad silam. Tumpukan kue apem berwarna coklat muda itu harus dibagikan dengan cara dilemparkan melalui panggung yang tinggi. Maklum, budaya antri belum ada.
Anehnya, biarpun sekarang budaya antri sudah mulai terlihat, setidaknya di depan teler bank, supermarket, atau di loket-loket bioskop Kota Klaten dan sekitarnya, panitia tradisi apeman tampaknya menolak keras mengubah metode pembagian apemnya. Tak ada ide, misalnya, pembagian apem melalui sistem kupon, paket pos, atau sekedar membuat barisan antrian. Alhasil, wuss…wuss…wuss.. Ribuan orang berebut kue berdiameter tak lebih dari sepuluh sentimeter berketebalan rata-rata dua sentimeter itu ke manapun ia dilemparkan. Apem terbang.

“Ketidakdisplinan” khas warga Indonesia ini anehnya tak pernah diprotes oleh siapapun. Termasuk Komnas Ham, Komnas Perempuan dan Anak, tak juga Kontras. Bayangkan, laki-perempuan, anak-anak hingga nenek-nenek berebut apem dengan gairah yang sama, tapi dengan tenaga dan daya tangkap apem yang berlainan. Tak terhitung kisah nenek-nenek atau mbakyu-mbakyu yang terinjak-injak hingga semaput, sementara hak-hak mereka sebagai warga negara (Jatinom) untuk mendapatkan barang sebiji apem malah luput. Belum lagi bocah-bocah cilik yang menangis hiteris terjepit massa, bahkan hilang sesaat sebab ditinggalkan orangtua mereka yang berjibaku berebut apem.

Seperti halnya Mikoshi, tradisi Yaqowwiyu alias apeman kental dengan nuansa religius. Seperti dikatakan Odajima San dan sohibnya, Mishima San di atas, Mikoshi adalah sebentuk bakti rakyat Jepang pada Tuhan mereka. Yaqowwiyu? Kalimat yang bermaknai Allah Yang Mahakuat, itu konon diucapkan Kyai Ageng Gribig pada saat membagi kue apem….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar